TOLERANSI NGAWUR...
Oleh: Azwar Siregar
Baru kemarin (dan masih berlangsung sampai sekarang) di Akun Twitter saya, terjadi perdebatan panjang, antara saya dan banyak kawan-kawan yang lain.
Ada sosok Akun Twitter bernama Radixwp. Mengaku Islam KTP. Dekat dengan NU. Meng-klaim mayoritas Umat Islam di Surabaya juga seperti dia. Islam Abangan alias Islam KTP.
Si Radixwp yang mengaku Islam KTP ini, entah mengapa sangat benci dengan Islam. Merasa Islam adalah ancaman bagi perdamaian. Semakin religius Islamnya, maka semakin berbahaya.
Lucunya, entah mengapa dia belum murtad juga.
Miris, karena dia merasa dekat dengan NU. Apa yang dia lakukan menurutnya disetujui NU. Ulama favoritnya adalah Gus Yaqut, KH Yahya Cholil Staquf, Prof Quraish Shihab.
Saya sih tidak terlalu yakin kalau si Radixwp ini benar-benar seorang Muslim. Tetapi saya juga mengenal seseorang kawan yang dulunya seorang muslim, yang kemudian sekarang memilih atheis.
KTP-nya masih Islam, tapi sangat anti dengan Islam.
Kita sebut saja nama kawan saya itu HTS. Namanya sangat Islami. Tetapi setelah mendapatkan "pencerahan", istrinya dilarang berjilbab. Anaknya dilarang mengaji.
HTS ini jago debat. Baik di Dunia Maya, maupun di Dunia Nyata. Cuma dia akan jauh lebih pintar kalau berdebat di Dunia Maya. Karena bisa copas Google.
Beberapa kali berdebat di Dunia Nyata, dia harus berhenti karena terpaksa mencari rujukan lewat Handphone-nya.
Kalau orang yang sudah lama berteman dengan Akun saya, pasti kenal dengan HTS ini. Dia seorang Jokower Garis Keras. Dan titik dia mulai jadi atheis, setelah bergabung dengan team relawan Pak Jokowi di tahun 2014. Bukan rahasia, rata-rata Relawan garis keras Pak Jokowi khususnya di Kota Medan memang Non Muslim.
Saya juga sudah pernah sampaikan. Si HTS ini merasa sangat dekat dengan NU. Dia menganggap keatheisannya direstui oleh NU. Dia bahkan siap memeluk "agama" NU, tetapi tidak mau bahkan sangat benci dengan Islam. Dia terang-terangan mengaku sebagai Gusdurian Sejati.
Kadang saya berpikir "Apa ada yang salah dengan NU sekarang?"
Sekarang muncul lagi berita Pemudi Fatayat NU di Labuan Bajo, ikut pawai-arakan Bunda Maria Assumpta Nusantara. Mereka berjalan ikut arakan sambil bernyanyi. Saya tidak tahu yang mereka nyanyikan Lagu Gereja atau Shalawat Nabi.
Media Kompas pun langsung menurunkan berita dengan judul "Potret Toleransi", Buseett..
Sepertinya bangsa kita semakin gagal dan semakin gagap memaknai Toleransi. Seringkali Toleransi jadi sikap campur-aduk ibadah dan dimaknai dengan simbol-simbol belaka. Azan atau shalawatan di Gereja. Ikut Pawai Bunda Maria. Atau membuat Terowongan yang menghubungkan Gereja Katedral dengan Masjid Istiqlal. Ngawur!
Toleransi itu seharusnya adalah sikap saling menghormati dan saling menjaga. Ketika Umat Kristen Natalan, yang non Kristen menghormati. Ikut jaga keamanan Gereja saya kira sangat bagus juga. Giliran Umat Hindu Nyepi, yang Non Hindu sebisa mungkin ikut menyepi. Bila perlu suara Azan seharian itu tidak perlu diperdengarkan khusus di Pulau Dewata atau daerah yang banyak Umat Hindunya.
Giliran Umat Islam berpuasa di Bulan Ramadhan, yang Non Muslim jangan makan dan minum terang-terangan di muka umum.
Sangat gampang kan bertoleransi itu?
Tetapi kalau memaksakan shalawatan di Gereja. Atau pura-pura memakai sorban padahal belum sunat datang ke Masjid. Ini bukan Toleransi. Justru mencampur-adukkan ibadah. Tinggal menunggu kedepan Ibadah Jumatan dan Mingguan yang di-Sabtukan. Tinggal menunggu Sate Kambing-Sapi dan Babi dihidang bersama dan saling cicip sedikit demi dianggap bertoleransi!
Tetapi ya sudahlah. Walaupun saya sebelumnya berharap, memaknai Toleransi itu adalah misalnya Pemuda-Pemudi Muslim ikut menjaga keamanan, ketertiban dan kebersihan sepanjang acara Pawai di Labuan Bajo tersebut, misalnya ikut bersih-bersih di sepanjang jalan sebelum dan setelah acara, alih-alih malah ikut arak-arakan. Sekali lagi biarlah menjadi kesepakatan mereka dan tanggung jawab para Pemimpin NU sebagai Organisasi.
Hanya saja saya berkeberatan kalau arti Toleransi dijerumuskan dengan sikap saling mencampur-baurkan ritual ibadah. Saya berkeberatan kalau toleransi itu diartikan pernikahan beda agama. Saya berkeberatan kalau demi dianggap bertoleransi harus melanggar syariat atau aturan Agamanya.
Kompas sebagai salah satu Media Terbesar di Negeri ini jangan sampai merusak makna toleransi yang sejati.
Bagi saya Toleransi tidak boleh memasuki ruang ibadah.
Justru tidak boleh ada toleransi di dalam ritual ibadah. Khususnya dalam ibadah Umat Islam. Misalnya kamu sholat. Terus kentut. Ya, tanggung, tinggal satu rakaat. Terus kamu mau lanjutkan sholatnya? Ya Batal! Tidak ada toleransi dalam Ibadah. Begitu memasuki ibadah, maka yang tersisa adalah aturan.
Kalau di aturan ibadah saja tidak boleh ada toleransi, bagaimana lagi dengan sikap saling mencampur-adukkan ritual ibadah berbeda agama.
Silahkan saja kalau misalnya ada yang mau menuduh saya seorang Intoleran. Tetapi mari kita berkenalan. Saya Pengusaha kecil-kecilan juga. Kepala Cabang Perusahaan saya seorang Non Muslim. Supervisor Marketing di Perusahaan saya dan sudah saya anggap kerabat yang sangat dekat adalah seorang Non Muslim. Kepala Gudang dan berarti orang yang sangat saya percayai adalah seorang Katholik asal NTT yang bekerja sambil kuliah. Pemuda Gereja yang sangat taat dan aktif dikegiatan kerohanian.
Pernah sekali dia mengajukan bantuan dana untuk kegiatan Pemuda Gereja mereka. Kondisi Keuangan Perusahaan saya masih susah. Tetapi tetap saya bantu atas nama Perusahaan. Memang bukan atas nama pribadi. Tetapi Perusahaannya adalah milik saya pribadi.
Jadi tidak perlu mengajari saya makna Toleransi.
(fb)