Bukankah Raja Mesir (al-Aziz al-Misr) paham kecurangan istrinya pada pelayan mereka, Yusuf?
Namun nyatanya, ia memilih ikut skenario mengorbankan pelayannya (dengan memenjarakan Yusuf). Ketimbang menjerumuskan istri ke bui, yang akan balik ke dia juga aib-aib itu.
Suami, istri, bermufakat jahat pada orang tak bersalah. Mereka bermufakat meski keduanya belum tentu (masih) saling menyayangi. Tapi ini ada ancaman eksistensi dan martabat keduanya. Paling mudah: korbankan si alit.
Sekian abad kemudian, posisi lancung itu dari si lelaki. Sampai akhirnya semua kedok makarnya mengorbankan "pelayan" terbongkar. Walau belum tentu sayang, apalagi cinta si lelaki mendua dengan di luar pagar sana, istri tetap pilih menjaga harkatnya. Memilih menghinakan si "pelayan" yang tak terlibat di urusan pelecehan padanya. Istrinya mau dikorbankan namanya asalkan nama baik suami aman.
Al-Aziz al-Misr dan istrinya sesungguhnya tak punya rekam jejak membuat makar. Sampai sang istri terjerembap di kasus fitnah ke pelayannya.
Lain dengan yang di sini. Berkali-kali ia lihai mengelabui publik. Dan publik harus percaya dengan bualannya. Baru di kasus terakhir, kecerdikannya mengalami mentok: menabrak cadas superkuat.
(Yusuf Maulana)