Radikal-Radikul
By Tere Liye*
Sejak isu radikal-radikul gencar sekali dibahas, baik di dunia nyata, lebih-lebih di dunia maya, maka ada kecenderungan, orang-orang yg rajin ngoceh soal radikal-radikul punya kans besar jadi pejabat.
Rektor misalnya.
Siapa sih yang milih rektor kampus negeri? Pemerintah. Meski proses seleksi ada, tapi 'final' masih di pemerintah. Ada yg punya 35% suara pemerintah, ada yg 100% suara pemerintah.
Pemerintah sangat berkepentingan jika rektor-rektor ini bisa membawa maju kampus tsb, pun, ssst, bisa 'mengendalikan' mahasiswa-mahsiswa, dosen-dosen, suara-suara di kampus tsb. Apakah ini nyata dan fakta? Ngaku sajalah, sejak jaman Soeharto sudah begitu. Rektor yg dipilih itu memang kepanjangan tangan pemerintah. Dan itu sah-sah saja. Boleh.
Sama kayak komisaris BUMN, dipilih dari pendukung, tim hore. Dipilih yg sepemahaman. Bisa diatur, dll. Semua juga begitu. Termasuk Jakarta saat bikin TGUPP. Kocak kalau kamu sok bilang nggak begitu. Oh di kelompok kamu tdk begitu, tapi kelompok orang lain yang begitu? Iya deh.
Nah, jika pemerintah memang 'memasukkan' syarat bahwa rektor harus bisa ngoceh soal radikal-radikul, juga sah-sah saja. Boleh. Baguslah.
Tapi mbok ya, jangan lupa: tidak korup juga dimasukkan!
Karena sesungguhnya, radikal-radikul sejati itu adalah saat seseorang korup. Ngoceh di mimbar, ceramah soal paham radikal, eh, kamu sendiri korup. Dan kamu, jangan nyamar sok paling tidak radikal, eh padahal super korupnya. Merusak semuanya dgn tabiat radikal kamu.
Begitulah. Seseorang yang memang kualitas rendah. Hanya soal waktu busuknya akan terlihat. Sehebat apapun dia membuat tameng, berwajah banyak. Sehebat apapun dia membuat jaringan, koneksi, jika dia busuk, akan tercium juga bau busuknya.
Tidak di dunia, kelak di akherat akan ketahuan.
Tapi kebanyakan sih, di dunia sudah dikasih DP duluan azabnya. 🙂
*fb (21/08/2022)