Perlawanan Preman Hijrah
(Kisah Nyata)
Pak Franky, demikian kami memanggilnya. Orangnya berkulit putih dan kalau bicara ceplas-ceplos, tanpa tedheng aling-aling, maklum orang Batak tulen. Dari informasi pak Franky, yang ketemunya tidak sengaja, saya akhirnya mendapatkan kontrakan rumah di awal pernikahan. Setelah itu sayapun jadi tetangga, selisih 6 rumah, dengan pak Franky yang ternyata seorang pendeta Protestan dari sebuah denominasi kecil yang belum punya gereja di daerah Jaten.
Saya tidak tahu persis berapa anggota jema’atnya, tapi sepertinya masih bisa dihitung dengan jari. Sebab di awal-awal saya tinggal di perumahan tersebut, kata para tetangga, pak Franky kalau kebaktian di kampung sebelah, di rumah salah seorang jema’at gerejanya. Oh ya, perumahan tempat saya tinggal itu juga belum punya masjid, dan letaknya cukup terisolir, karena masih dikelilingi sawah, dan kalau Jum’atan ikut di masjid Al Hadi, milik juragan batik kenamaan Danar Hadi. Sehingga aktifitas sholat lima waktu lebih banyak dilakukan di rumah masing-masing. Sebulan sekali, warga kampung mengadakan pengajian bergiliran dari rumah ke rumah.
Pada awalnya, tidak ada masalah sama sekali, antara pak Franky dengan warga yang hampir semuanya Islam. Dari sekitar 60 rumah, hanya ada 4 keluarga Kristen. Permasalahan terjadi ketika kemudian pak Franky menjadikan rumahnya sebagai tempat untuk kebaktian. Bukan pada masalah pengadaan kebaktiannya, tetapi waktu dan cara kebaktiannya.
Banyak warga yang mengeluhkan waktu pelaksanaan kebaktian, yang berlangsung menjelang maghrib sampai habis Isya'. Apalagi, cara kebaktian ala pendeta Franky ini dengan cara genjrengan gitar dan menyanyi keras (audionya juga mungkin murahan, jadi cempreng dan terdengar sampai jauh), selain itu dalam berdo'a juga ada sesi nangis-nangisnya.
Keumuman warga muslim, hanya bisa nggrundel. Keributan terbuka mulai muncul, ketika keluarga yang tinggal depan rumah pak Franky, sebut saja pak Gatot menyampaikan keberatan. Hanya saja, keberatan itu diabaikan. Karena kebaktian tetap berjalan sebagaimana biasa. Pak Gatot, yang merasa diabaikan keberatannya, akhirnya membeli seperangkat audio besar, seperti yang sering digunakan untuk hajatan orang kampung.
Perang audiopun terjadi setiap minggu sore, sehabis ashar. Kalau dari rumah pak Franky bergema lagu-lagu rohani dan khotbah, maka dari halaman rumah pak Gatot, bergema aneka sholawat, mulai Hadad Alwi sampai Opick bahkan sesekali yang berirama koplo. Sehingga, tetangga jauh macam saya mendengarnya seperti lagu dengan tema pluralisme, lagu rohani Kristen berpadu lantunan sholawat. 😁
Mungkin dalam logika pak Gatot, mendhingan sholat diiringi sholawatan daripada diiringi lagu Kristen 😁
Demikian, hal ini berlangsung sampai sebulan lebih.
Sampai suatu ketika, teman ronda, dari gang sebelah, yang juga berdarah Batak, kalau tidak salah, namanya pak Ginting, dengan nada emosional bilang ke saya supaya bisa menasehati pak Gatot. Bila tidak, maka dengan terpaksa ia akan kerahkan pasukan Bataknya untuk membikin kapok.
Wah, bakalan rame ini, batin saya, karena saya juga tahu persis bagaimana sumbu pendeknya pak Gatot. Ia adalah mantan preman yang lagi khusyuk-khusyuknya berhijrah. Jaringannya kuat di Palur dan sekitarnya, jadi meski berhadapan dengan Batak, dia nggak bakalan takut buat nelen.
Sebagai warga baru, yang kebetulan oleh warga muslim saya agak dituakan, saya tanya ke pak Ginting. “Kalau di Kristen, ada nggak aturan soal jam kebaktian?” tanya saya. Dia jawab “Sepertinya nggak ada.” “Nah bagaimana kalau saya usul, supaya kebaktiannya diubah jamnya saja, jangan saat maghrib. Karena waktu maghrib itu sangat pendek, cuma dari dari jam 6 sampai 7 malam. Dan tradisinya, diantara waktu itu digunakan untuk tadarus Al-Qur’an. Mungkin pak Gatot juga sikapnya akan lain kalau kebaktiannya dilaksanakan setelah asar sampai jelang maghrib.”
Dan saya juga tidak tahu, apakah usul saya ini juga disampaikan ke pak Franky, yang jelas, setelah itu, rumah pak Franky tidak lagi digunakan untuk kebaktian. Dan perlahan, tetangga berhadapan rumah itu mulai akur.
(dari fb Arif Wibowo)