PENJELASAN PENTING KENAPA REZIM SANGAT MENGANAKEMASKAN POLISI
Oleh: Tarli Nugroho*
Kasus Sambo beserta sejumlah bola liar yang mengitarinya saat ini sebenarnya bisa digunakan sebagai momentum oleh publik untuk mendorong terjadinya pembenahan institusi kepolisian.
Namun, dari perkembangan terbaru, sepertinya yang akan diselesaikan hanyalah kasus pembunuhan Brigadir J saja. Sementara masalah-masalah lainnya akan didiamkan menguap.
Indikasi ke arah sana cukup jelas. Sejauh ini hanya ada satu pernyataan yang berani melangkah jauh terhadap persoalan di lembaga kepolisian. Pernyataan itu berasal Arsul Sani, politisi PPP, yang berani melontarkan usulan revisi terbatas UU Polri. Pernyataan serupa tidak dilontarkan oleh fraksi-fraksi lain. Karena PPP hanyalah partai kecil, usulan semacam itu bisa dipastikan tidak akan bergulir lebih jauh.
Faktor lain yang akan menghambat agenda pembenahan kelembagaan Polri tentu saja pemerintahan dan partai politik yang kini berkuasa. Sudah bukan rahasia lagi jika penganakemasan Polri memang terjadi di bawah rezim saat ini. Salah satu indikatornya adalah anggaran.
Pada saat awal Jokowi naik, tahun 2014, anggaran Polri masih sebesar Rp44 triliun. Dalam RAPBN 2023, anggaaran Polri diusulkan menjadi Rp107,7 triliun. Artinya, kenaikan anggaran Polri dalam 9 tahun terakhir mencapai hampir 2,5 kali lipat.
Sebagai perbandingan, anggaran Kementerian Pertahanan pada 2014 adalah Rp86,2 triliun, dan dalam RAPBN 2023 diusulkan naik menjadi Rp131,9 triliun. Artinya, kenaikannya dalam 9 tahun terakhir hanya setengah kali lipat saja. Tentu saja ini perbandingan yang sangat jomplang.
Jika kita bandingkan selisih anggaran antara Polri dengan Kementerian Pertahanan, jumlah selisihnya juga semakin mengecil. Pada 2014, anggaran Polri hanya setara 51 persen anggaran Kementerian Pertahanan. Sementara, mengacu kepada RAPBN 2023, anggaran Polri saat ini sudah mencapai 82 persen anggaran Kementerian Pertahanan.
Sebagai catatan, selain digunakan untuk belanja modernisasi alutsista dan Minimum Essential Forces (MEF), anggaran Kementerian Pertahanan dipergunakan oleh lima matra berbeda, yaitu (1) dapur Kementerian Pertahanan itu sendiri, (2) Mabes TNI, (3) TNI AD, (4) TNI AL, dan (5) TNI AU.
Sampai di sini mungkin muncul pertanyaan, kenapa rezim Jokowi dan PDI-P begitu menganakemaskan polisi?
Saya kira ada satu faktor sejarah yang telah melatarbelakangi hal itu. Hubungan antara keluarga Bung Karno dengan tentara sepertinya memang sulit untuk akur. Di mata anak-anaknya, jatuhnya Bung Karno dari kursi kekuasaannya dulu adalah karena faktor “dua hijau”, yaitu “tentara” dan “Islam”. Latar itu telah mempengaruhi cara mereka dalam melihat dan bersikap terhadap dua kekuataan politik tersebut.
Karena sejak awal telah memiliki “kecurigaan sejarah” terhadap tentara dan kelompok Islam, maka untuk mengamankan kekuasaannya mereka kemudian menggandeng polisi. Inilah salah satu penjelasan kenapa di bawah rezim Jokowi dan PDI-P, kekuasaan polisi jadi semakin menggurita. Hampir semua lembaga strategis, mulai dari lembaga intelijen, KPK, Bulog, hingga PSSI, kini semuanya dipimpin oleh polisi.
Jadi, apakah mimpi masyarakat sipil mengenai agenda reformasi lanjutan Polri akan mandek? Mari sama-sama kita lihat.
*dari fb penulis