Peninggalan Hindu itu bernama Pesantren
Oleh: Oky_Rachmatullah
Ada satu "peninggalan" agama Hindu yg sampai saat ini dipakai dan dikembangkan justru oleh orang Islam. Saya sendiri tidak tahu, apakah orang hindu masih mengengembangkannya atau tidak. Tapi di Islam Indonesia, hal ini sangat membantu sekali. Sekali lagi, ini adalah peninggalan hindu...
Hal yg saya maksufkan bukanlah tahlilan atau selamatan kematian. Tapi yg justru saya maksud adalah PESANTREN. Iya, pesantren adalah peninggalan agama Hindu. Pesantren adalah tempat berkumpulnya para SANTRI, maka disebutlah itu PESANTREN. Santri sendirii artinya orang yg memahami kitab suci dalam agama Hindu. Dulu memang sebelum kedatangan wali songo, umat hindu membentuk lembaga pendidikan pesantren sebagai lembaga pengkaderan "ulama" mereka...
Maka itu KH Hasan Abd Sahal pernah berkata bahwa Pesantren ini tidak akan kita temukan di belahan dunia manapun, di madinah, di mesir, di pakistan, tidak akan kita temukan pesantren kecuali di Indonesia. Karena ini memang produk khas bangsa ini. Akulturasi budaya hindu yg kemudian di Islamkan. Maka tidak ada pas untuk pesantren ini. Kata "ma'had" yg selama ini kita kenal sebagai bahas arabnya pesantren, ternyata lebih pas kalau kita terjemahkan Boarding School, bukan pesantren.
Pesantren itu unik, sebuah lembaga pendidikan yg menjadikan Masjid sebagai Central Aktifitasnya, dan Kyai sebagai central Figurnya. Boarding School adalah konsep sekolah berasrama, tapi bisa jadi tidak menjadikan Kyai sebagai sentral Figur dan masjid sebagai central aktifitas. Asal mulanya juga beda. Kalau pesantren di mulai dari Kyai, mendirikan masjid lalu santri datang, lalau mendirikan asrama atas inisitaif santri sendiri dan atas seizin Kyainya, sedangkan boardinh school bisa jadi bangun gedung dulu, bangun fasilitas dulu, baru kemudian cari murid....
Maka tidak ada bahasa Arabnya juga "santri" itu. Kata "Thalibun" yg biasanya dipakai untuk mengganti kata santri dalam bahasa arab kebih tepat merujuk kepada kata "murid" dalam bahasa Indonesia. Padahal sekolah umum juga memanggil siswanya dengan murid, dan bukan santri. Karena santri adalah penuntut ilmu dengan mental pencari tahu. Dia datang kepada Kyai untuk diajar. Dan kalau tidak sesuai, maka dia dipersilahkan meninggalkan pesantren. Jadi tidak ada istilahnya ada santri demo kyai. Lha masa ada tamu kok demo tuan rumah...ndak cocok ga tinggal pergi saja...
“LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM BERASRAMA, DIMANA MASJID MENJADI PUSAT KEGIATANNYA DAN KYAI SEBAGAI SENTRAL VIGURNYA” itulah asal mula pesantren....
Sederhana bukan?? Barangkali ada yang menganggap pengertian diatas terlalu mengkultuskan figur kyai. Tapi memang begitulah adanya. Coba simak baik-baik asal usul pesantren berikut ini :
“Pada mulanya ada seorang kyai yang mendirikan masjid disebuh tempat. Lalu beberapa orang datang menemui sang kyai untuk MINTA diajar, menuntut ilmu. Lama kelamaan, semakin banyak orang yang datang kepada kyai sehingga rumah kyai tidak mencukupi lagi untuk menampung mereka. Sehingga atas inisiatif para santri sendiri, mereka mendirikan pemondokan disekitar rumah kyai untuk fasilitas pendidikan mereka sendiri.”
Jadi jelas, sejak awal filosofi pesantren mengajarkan pesantren adalah medan perjuangan, medan pelatihan dan pencetak generasi pejuang. Kyai tidak pernah memungut uang pendidikan, bahkan awalnya kyailah yang “mengidupi” para santri. Maka pendirian bangunan, dan fasilitas lain adalah inisiatif santri sendiri. Yang mereka upayakn sendiri, dan mereka jaga sendiri.
Jadi Kyai tidak pernah “memanggil” santrinya untuk datang, tidak pernah pasang iklan, tidak pernah koar-koar kesana kemari tentang faslitas pesantren ini itu dan sebagainya. Karena filosofi pesantren adalah perjuangan. Bukan kenikmatan, apalagi fasilitas duniawi. Maka Kyai tidak akan pernah memikirkan dunia. Ini filosofi. Lalu apa kyai tidak boleh kaya?? Tentu boleh, tapi dengan syarat pesantren yang dikelola lebih “kaya” lagi untuk memajukan umat.
Sebab fungsi pesantrean adalah lembaga “mundzirul Qaum” (pemberi perinagatn kepada kaumnya) sebagaiman firman Allah dalam surat at-taubah 122.
Jadi memang harus ada muslim yang menjadi pengusaha sukses, politikus unggul, pengacara handal, tentara yang perkasa, pedagang yang kaya raya…harus ada…harus ada…tapi tugas pesantrena memang bukan untuk itu semua, tugas pesantren memang sebagai Pemberi peringatan” apabila para Ekonomom, Politikus, dan pengusaha Muslim itu “kembali” kepada mereka selepas berjuang.
Maka kalau memang bercita-cita membangun pesantren, ya jangan bercita-cita untuk kaya dari pesantren. Peribahasanya : “Hidup-hidupilah Pesantren, Jangan mencari hidup dari pesantren”. Pahit memang, tapi justru itulah yang membuat pesantren masih eksis sampai sekarang.
Tidak ada demo murid yang memprotes fasilitas pesantren yang “apa adanya”, karena memang mereka tidak pernah diundang dan dijanjikan macam-macam tentang fasilitas oleh kyainya. Mereka datang sendiri, meminta kyai ntuk mengajarkan ilmu, kok aneh jadinya kalau mendemo kyai. Kalau tidak cocok di medan kaderisasi pejuang ini ya silahkan keluar.
Nasehat Kyai saya yang senantiasa saya ingat adalah :
“Berjuang dulu, beramal, ikhlas…Sebab amal yang ikhlas anak menciptakan aktifitas, aktifitas yang istiqomah akan menimbulkan mobilitas, mobilitas yang terarah akan menciptakan kreatifitas, dan kreatifitas yang baik akan menelorkan kualitas, sedangkan kualitas yang terjaga tentu akan membentuk kuantitas, setelah kuantitas terbentuk, baru bicara FASILITAS..!!!”
Jadi Faslitas diberikan setelah adanya kuantitas yang berkualitas. Bukan sebaliknya, fasilitas diadakan duru, sambil “berharap” akan mendulang kuantitas yang berkualitas. Ini sudah keliru secara filosofis. Dan justru ini yang banyak terjadi di “pesantren2” abad 20. Masuk pesantren, yang pertama hadir di benak adalah “saya akan mendapat fasilitas apa” dan bukan “Saya bisa beramal apa?” Padahal pertanyaan kedua inilah yang justru akan sangat mendukung keberadaan dan kelangsungan hidup pesantren.
Sebab dengan pertanyaan itu, maka pesantrean boleh punya unit usaha ekonomi, pesantren harus punya koperasi, harus punya perkebunan, harus punya basis-basis ekonomi, tapi bukan sebagai Fasilitas pribadi kyai atau Gurunya, tapi adalah untuk mendukung kemandirian pesantren, agar para santri bisa belajar optimal dengan biaya minimal.
Apakah ini berarti pesantren hanya mengajarkan Agama saja? Tidak dengan ilmu yang lain? Ah, tentu tidak. Lagian siapa yang mengajarkan adanya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum?? Kami dulu selalu diajari bahwa kalau ditanya, berapa prosentasi perbandingan antara ilmu agama dan ilmu umu yang diajarkan di pesantren kami?? Maka jawabannya adalah : 100% AGAMA dan 100% UMUM !!
Tidak ada perbedaan itu. Fikih adalah ilmu umum, karena dengan itu kita seharusnya bermuammalah, matematika adalah juga ilmu agama, karena dengan itu kita tahu perhitungan tahun untuk penentuan waktu ibadah kita. Bukankah ulama ulama kita jaman dulu adalah bukan sekedar para Faqih dan Mufti hebat, tapi juga ahli astronomi dan ekonomi yang dahsyat?? Bukankah Imam Syafi’I adalah juga seorang matematikawan?? Bukankah Abu yusuf adalah qadi syariaah Khalifah Abasiyah sekaligus penasehat ekonominya?? Bukankah ibnu sina adalah seorang Faqih yang juga ahli kedokteran??
Maka nasehat pertama dari Kyai saya ketika malam perpisahan dengan santri akhir adalah:
“Jangan pernah menjadikan Pegawai sebagai orientasi belajarmu!! Saya tidak anti pegawai, tapi mentalitas pegawai yang hanya mengharapkan menunggu gaji tanggal sekian, lalu bekerja seenaknya, sehingga dakwahnya terlupakan, tidak pernah membaca lagi, tidak pernah khutbah lagi, tidak pernah mengajar mengaji lagi, tidak pernah mau ceramah lagi, gengsi jika berdakwah, gengsi jika berceramah, mental-mental seperti inilah yang saya tidak pernah setuju ada pada diri anak-anaku sekalian.
Percayalah kepada kasih sayang Allah, percayalah kepada ke-Maha Kuasa-an Allah. Bahkan cacingpun di jamin rezekinya oleh Allah. Bergerak, berbuat, berjuanglah untuk agama Allah, maka Allah akan menolong kehiduapn kalian…!!”
Itulah pesantren, ini layak diperhitungkan oleh para Kyai. Karena sekarang justru banyak sekolah menyebut dirinya Pondok Pesantren, tapi ternyata isinya tidak lebih hanya sekedar Boarding School...Sekolah Berasrama.. .
(*)