SAAT masih duduk di bangku sekolah dasar tentu mengarang menjadi salah satu materi dalam pelajaran bahasa Indonesia. Setiap anak diminta untuk berfantasi dengan alam pikirannya untuk kemudian diceritakan di depan teman-temannya, baik tertulis maupun verbal.
Adapun definisi mengarang yang paling umum diketahui publik adalah keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang untuk mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami. (Widyamartaya dan Sudiati, 1997:77).
Mengarang kembali menjadi topik hangat di masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Seiring kematian Brigadir J di kediaman mantan Kadiv Propam Irjen Sambo. Peristiwa “politisi tembak polisi” tersebut sempat diwarnai dengan karangan adanya pelecehan seksual terhadap istri Irjen Sambo, Putri Candrawathi.
Kisah asal diceritakan bahwa Brigadir J nyelonong masuk ke kamar Sambo. Di dalam kamar ada Putri Candrawathi sedang sendirian. Lalu Brigadir J melakukan pelecehan seksual. Kegaduhan itu terdengar oleh Bharada E yang kemudian naik dan menegur Brigadir J. Singkatnya, terjadi tembak-menembak antara J dan E hingga membuat J meninggal dunia.
Putri Candrawathi bahkan sempat membuat laporan pelecehan seksual tersebut ke Polres Metro Jakarta Selatan.
Namun cerita tentang pelecehan seksual dan tembak-menembak polisi ini ternyata hanya sebuah karangan. Setidaknya hal itu sebagaimana diungkap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam jumpa pers yang digelar pada Selasa (8/8). Materi yang disampaikan Jenderal Sigit berdasarkan hasil penyelidikan Tim Khusus Polri.
Setidaknya Jenderal Sigit membantah dua hal. Pertama tidak ada tembak-menembak antara Brigadir J dan Bharada E. Yang ada Bharada E atas perintah Ferdy Sambo menembak J. Kemudian, Sambo mengambil senjata J dan menembakkan senjata itu ke dinding. Tujuannya agar seolah telah terjadi insiden tembak menembak.
Kedua, Jenderal Sigit memastikan kasus ini adalah pembunuhan berencana, bukan pelecehan seksual sebagaimana disangka di awal.
Karangan saat Pilpres 2019
Bukan kali ini saja karangan dari seseorang “menipu” seluruh persada Indonesia. Pada Pilpres 2019 lalu, publik juga sempat diramaikan dengan karangan kisah pemukulan seorang aktivis.
Peristiwa itu terjadi pada awal 2 Oktober 2018. Tepatnya saat aktivis Ratna Sarumpaet mengaku dipukuli oleh orang tidak dikenal di Bandung hingga membuat wajahnya tampak lebam-lebam.
Cerita itu dia sampaikan kepada sejumlah pimpinan politik dan aktivis. Bahkan ke Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang sedang bertarung melawan Presiden Joko Widodo dalam gelaran pilpres, sehingga membuat gempar republik.
Karangan ini terbukti mujarab. Setidaknya sejumlah tokoh bersautan melemparkan kecaman. Puluhan aktivis lintas generasi bahkan sempat mengadakan pertemuan di Menteng untuk menyatukan sikap.
Sambo bersama Bharada E atau Richard Eliezer, Brigadir Ricky Rizal atau RR, serta seorang berinisial KM kini dijerat dengan pasal 340 subsider 338 juncto Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman maksimalnya adalah hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun.
Setidaknya, Sambo masih merasa beruntung karena tidak dijerat Pasal 14 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE sebagaimana yang dikenakan kepada Ratna Sarumpaet.[rmol]
Namun begitu, polisi bergerak sangat cepat. Sejumlah rekaman CCTV diunggah ke media sosial memperlihatkan bahwa Ratna Sarumpaet tidak dipukuli.
Hanya sehari berselang, Ratna Sarumpaet menggelar jumpa pers di kediamannya. Dia mengakui bahwa semua itu hanya karangan. Cerita aslinya, wajahnya lebam karena baru saja melakukan operasi plastik.
Ratna kemudian divonis hukuman penjara 2 tahun atas karangan ceritanya itu. Dia dijerat dengan Pasal 14 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana karena diduga dengan sengaja menimbulkan keonaran dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Beda Sambo, Beda Ratna
Ratna Sarumpaet secara ksatria mengakui kesalahan yang dibuatnya. Dia sadar bahwa karangannya bisa mengakibatkan negeri menjadi tidak baik. Sehingga hanya butuh waktu sehari untuk menggelar jumpa pers dan mengakui kesalahan. Ibu dari artis Atiqah Hasiholan tersebut juga pasrah saat divonis 2 tahun atas kesalahannya. Sekalipun tidak ada korban jiwa yang jatuh akibat karangannya.
Berbeda dengan kasus Irjen Sambo. Karangan yang dibuat seolah sistematis, hingga Kompolnas dan Komnas HAM, sempat seirama menjabarkan kronologi kematian J. Bahkan puluhan pejabat polisi diperiksa karena terseret dalam pengkondisian karangan tersebut. Tidak sedikit yang turut diduga menghilangkan barang bukti.
Karangan ini baru bisa dibongkar setelah sebulan Brigadir J dibunuh. Tepatnya setelah Kapolri Jenderal Sigit dengan tegas membentuk tim khusus. Jenderal Sigit juga yang mengumumkan tidak ada tembak-menembak saat kejadian alias J mati dibunuh.
Sambo sendiri belum tampak ke publik usai ditangkap pada 6 Agustus lalu. Belum juga mengakui mahakarya karangannnya yang merenggut nyawa anak buahnya sendiri.