Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
MUSRA Indonesia atau Musyawarah Rakyat Indonesia, konon, diinisiasi oleh belasan gugus relawan Jokowi (Presiden Joko Widodo) segera dihelat di 34 provinsi, dalam rentang waktu mulai 27 Agustus 2022 hingga Maret 2023. Sikap sinis sebagian netizen langsung muncul semua itu gagasan Presiden bersama Oligarki.
Musra Indonesia, dipastikan atas restu, bahkan dugaan kuat, ide juga datang dari Presiden, sekalipun kepada publik dibungkus bahwa kegiatan tersebut diinisiasi oleh relawan Jokowi.
Beberapa hari lalu Presiden telah mengundang beberapa perwakilan dari relawannya ke Istana. Dikemudian hari langsung muncul ada rencana Musyawarah Rakyat Indonesia (Musra Indonesia). Lengkap dengan susunan Panitia Dewan Pakar dan Ketua Pelaksana.
Panitia Musyawarah Rakyat Indonesia (Musra) yang telah digagas sejumlah kelompok relawan Presiden Jokowi merilis daftar nama tokoh-tokoh yang terlibat sebagai panitia gelaran tersebut.
Salinan daftar kepanitiaan tersebut telah tersebar luas di media sosial. Ketua Pelaksana Musra Panel Barus, Kamis (4/8). Salinan itu menyebutkan Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi sebagai Penanggung Jawab Musra.
Kemudian, tokoh buruh Andi Gani Nena Wea ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pengarah. Ia membawahi 16 anggota dewan pengarah, termasuk mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Rudiantara.
Selain itu, ada Bendahara Umum Projo Panel Barus yang menjadi Ketua Pelaksana Musra. Ia memiliki delapan orang wakil. Musra juga melibatkan 14 tokoh dari kalangan militer dan akademik yang menjadi dewan pakar. Salah satunya adalah mantan Staf Ahli Bidang Ideologi dan Politik Badan Intelijen Negara (BIN) Soedarmo.
Hebat betul relawan Jokowi bisa menyusun Gelaran Musra Indonesia dengan melibatkan pejabat setingkat menteri dan mantan pejabat tinggi negara.
Tampaknya mereka juga sudah mencoba menerobos masuk ke Perguruan Tinggi. Tiba-tiba menyeruak informasi melalui medsos, sejumlah akademisi menolak undangan dari Relawan Jokowi untuk menjadi Dewan Pakar Musra Indonesia. Pertama datang dari Rektor Universitas Indonesia (UI) Arie Kuncoro. Arie beralasan dirinya sibuk memimpin UI.
Kemudian, peneliti komunikasi politik yang juga mantan Guru Besar UI Effendi Gazali menyampaikan hal serupa. Penolakan juga datang dari Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria. Arif dengan tegas menolak undangan itu. “Yang pasti rektor harus menjaga independensi dan tidak boleh berpolitik praktis,” ucap Arif melalui pesan singkat, Jumat (5/8).
Musra untuk menjaring aspirasi rakyat di 34 provinsi. Salah satu agenda salam musyawarah itu adalah menjaring usulan nama Calon Presiden.
Kalau itu tujuannya kenapa Presiden tidak mengundang Koalisi Parpolnya (kalau masih utuh dan kompak) sebagai bentuk yang sah mewakili rakyat dan didukung dengan aturan tentang Presidential Threshold (PT) 20 % yang secara konstitusional akan menentukan Calon Presiden.
Sebagian rakyat spontan memunculkan memorinya rangkaian kejadian sebelumnya yang masih hidup sampai saat ini munculnya isu perpanjangan jabatan dan rekayasa jabatan Presiden 3 periode. Sekalipun Presiden juga berkali kali menolaknya. Gempuran kepada MK sangat keras dan masif, yang tetap menolak Gugatan PT Nol (O)%.
Setiap ada agenda apakah Kongres, Munas, Musyawarah Nasional atau apapun namanya semua agendanya lazim sudah dipersiapkan sebelumnya, forum tidak lebih hanya sebagai legalisasi.
Musra Rakyat Indonesia itu (tidak salah) hanya tidak lazim dilakukan oleh Presiden Jokowi sekalipun terselubung inisiasi oleh relawan dan menafikan keberadaan Parpol yang justru telah memiliki legalitas konstitusional untuk menentukan Capres. Presiden terbaca akan tetap memaksakan keinginannya untuk tetap berkuasa.
Dugaan kuat ada kegelisahan Oligargi yang sedang galau dan resah setelah rentetan gagasan perpanjangan dan/atau penambahan jabatan Presiden 3 periode, otomatis harus ada amandemen UUD 1945, dan rezim yang tetap mem-back up PT tetap 20 % mendapatkan perlawanan yang sangat keras dari rakyat dan bahkan datang dari beberapa pimpinan parpol.
Anomali politik sangat sering dilakukan oleh Presiden, apa yang dikatakan bisa ditebak akan ada kejadian sebaliknya.
Dugaan kuat Presiden dalam tekanan oligarki. Seharusnya dengan jabatan yang tinggal beberapa bulan ini, Presiden mengambil langkah bagaimana menurunkan harga-harga kebutuhan rakyat dan menghadapi krisis ekonomi yang sudah didepan mata.
Beban hutang negara yang sangat besar dengan resiko kesulitan membayar hutang akan beresiko ke semua aspek kehidupan ekonomi, eksistensi dan harga diri bangsa dan negara sedang dipertaruhkan.
Keadaan negara bisa berubah dengan cepat, mengarah pada stabilitas dan keutuhan negara. Wajah demokrasi yang mengarah ke pola otoriter, korupsi dan kerusakan moral aparatur negara yang semakin tak terkendali. Semua membutuhkan konsentrasi di ahir masa jabatannya yang tinggal beberapa bulan.
Musra Indonesia bisa jadi hanya test the water. Dampaknya hanya akan menimbulkan ketegangan politik baru yang semestinya dihindari oleh Presiden.
Alangkah bijaknya Presiden berjiwa negarawan dan berpikir mandiri mengikuti proses konstitusi yang sudah baku menjaga diri dan sekuat tenaga dan pikiran menghilangkan stigma masyarakat bahwa Presiden telah menjadi boneka oligarki dan hanya larut pada kepentingan kelangsungan kuasa dan kekuasan oligarki di negara ini yang mulai goyah dan telah menjadi musuh bersama rakyat. (*)