KEMERDEKAAN HAKIKI
Oleh: Felix Siauw
Sejarah mencatat keberadaan Imperium Persia yang punya luasan jutaan kilometer persegi, negeri yang dianggap merdeka oleh penguasanya tapi dzalim pada rakyatnya.
Di penghujung masanya, berbagai pajak dimunculkan sampai tahap mencekik, sementara pejabatnya hidup mewah, hukum tak ditegakkan dan kejahatan merajalela.
Walau menganggap dirinya merdeka, Persia menganggap Arab adalah negeri jajahan mereka, dan merasa terganggu dengan kekuatan baru yang muncul, yaitu Islam.
Mereka pun membuat front dengan Madinah yang saat itu dipimpin oleh pengganti Rasulullah Muhammad, Khalifah Umar dan singa-singa Allah disekelilingnya.
Dalam peperangan Qadisiyah, salah satu komandan Muslim, Rib'i bin Amir, pernah diundang oleh Rustum panglima Persia, yang ingin mengetahui motif kaum Muslim.
Maka inilah jawaban Rib'i bin Amir yang sangat tersohor:
"Allah telah mengutus kami untuk membebaskan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada penghambaan kepada Allah, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dari kedzaliman agama-agama kepada keadilan Islam."
Inilah makna kemerdekaan yang sesungguhnya, yang dipegang oleh pasukan Muslim di kala itu, dari panglima tertingginya Saad bin Abi Waqqash hingga Rib'i bin Amir.
Sebab selama seseorang masih tunduk pada selain Allah, masih sibuk dengan maksiat pada Allah, sejatinya dia sedang terbelenggu nafsu dan jauh dari merdeka.
Sebab nafsu punya banyak wajah, bisa jadi ia terwujud dalam penjajahan fisik, bisa jadi pula dalam bentuk penjajahan pikiran, penjajahan ekonomi atau bahkan budaya.
Semua penjajahan apapun bentuknya, pada ujungnya pasti menyebabkan ketundukan pada sesama manusia, bukan pada Allah, ini yang sangat ditentang oleh Islam.
Maka inilah kemerdekaan hakiki yang terus kita perjuangkan, sambil mensyukuri kemerdekaan fisik yang Allah beri kepada kita, yaitu mengajak manusia taat Allah.
Maka saat kita teriak "Merdeka!", jangan lupa syahadat, shalat, zakat, puasa, haji, dan segala bentuk ketaatan yang lain. Sebab bila masih maksiat, sejatinya kita masih terjajah.
(*)