Kemarin lalu berada di antrian motor di SPBU untuk membeli bensin pertalite sampai hampir 1/2 jam dan melihat kesah-keluh orang-orang membuat saya memikirkan tentang strategi ekonomi pemerintahan Pak Joko. Anggaran subsidi terus dipangkas. Di sisi lain, ada anggaran baru yang bagi sebagian pihak timingnya dianggap tak tepat, seperti proyek kereta cepat dan tentu saja: pindah ibu kota.
Tapi Pak Rhenald Kasali yang membela kebijakan Pak Joko bilang begini: Kalau menunggu siap (untuk pindah ibu kota), kapan siapnya?
Ah itu namanya meletakan kecerdasan ahli strategi pembangunan dalam kotak Pak. Tak dipakai, hanya demi (seperti dikatakan sebagian orang) ambisi Pak Joko yang ingin meninggalkan sesuatu yang dikenang. Demi menara mercusuar. Atau istilah halusnya legacy.
Cara nekad begini ibarat keluarga yang justru secara ekonomi sedang tak baik, justru nekad membeli mobil, pakai cicilan atau gadai-gadai pula. Alasannya: Kalau menunggu siap, kapan siapnya! Iya sih mobil pasti terbeli. Ibu kota dan kereta cepat mungkin saja terbeli. Bisa gagah-gagahan berbangga diri kita punya mobil akhirnya. Tapi pasti ada konsekwensinya: bisa anggaran makan jadi sederhana (bahkan anak-anak bisa kurang gizi), Pendidikan dikurangi dsb.
Begitu pula: ibu kota baru bisa saja jadi. Kereta cepat bisa saja wujud. Kita bisa berbangga dengan itu, tapi karena strategi dan waktunya tak tepat, maka konsekwensinya ya bisa banyak. Dan itu sudah kita rasakan sekarang, bahkan sebelum ibu kota baru dan kereta cepat jadi. Anggaran buat kereta cepat ditambah. Subsidi BBM tak disebandingkan alias dikurangi.
(Ibnu Zaini Atmasan)