[PORTAL-ISLAM.ID] JOGJA – Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Budhi Masturi menuturkan hasil investigasi timnya atas kasus jilbab di SMAN 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Sosok siswi tersebut menunjukkan tanda-tanda depresi pada 19 Juli 2022. Kejadian ini terulang kembali pada 26 Juli 2022 atau sepekan kemudian.
Budhi menuturkan ada program sekolah yang berlangsung setiap pagi. Berupa kegiatan tadarusan yang wajib diikuti para siswa. Dari kegiatan ini diketahui bahwa siswi tersebut belum bisa membaca Qur’an.
“Itu yang kemudian dari situ diketahui kalau si anak belum bisa (baca) kitab suci sehingga kemudian disiapkan ekskul (ekstra kurikuler). Tapi memang menurut penjelasan mereka tidak ada paksaan. Hanya setiap pagi,” jelasnya ditemui di Kantor ORI Perwakilan DIJ, Rabu (3/8/2022).
Budhi menuturkan program ini tidak masuk dalam kurikulum. Hanya saja masuk sebagai visi misi sekolah. Khususnya dalam pengembangan iman dan taqwa.
Pihaknya juga tidak bisa menentukan secara pasti penyebab depresi. Ini karena ORI tidak dalam posisi untuk mengetahui atau menjelaskan penyebab depresi. Namun lebih fokus kepada penyimpangan regulasi yang berlaku dalam sekolah.
“Tapi bahwa kemudian ketidaknyamanan itu mulai terjadi ketika si siswi menemukan kok beda ya sekolah negeri dibanding ketika dia SMP,” katanya.
Lebih detil Budhi menuturkan rasa ketidaknyamanan siswi saat adanya kewajiban seragam beridentitas agama. Menjadi lengkap dengan adanya kewajiban melakukan tadarusan setiap paginya. Terjadi perbedaan kultur, meski siswi juga sempat sekolah di SMP berstatus Negeri.
Siswi, lanjutnya, juga dipakaikan jilbab oleh guru koordinator BK. Tepatnya berlangsung 20 Juli 2022 di ruang BK. Jarak sepekan, tepatnya 26 Juli 2022, siswi mengurung diri di toilet sekolah.
“Dari situ kemudian memulai akumulasi sampai puncaknya di tanggal 26 (Juli) itu dia mengurung diri di toilet sekolah yang itu masih ada misteri juga. Itu sebabnya apa karena setelah kita konfirmasi dari guru BK ternyata bukan setelah dipakaikan kerudung,” ujarnya.
Budhi juga terus berkomunikasi dengan pendamping siswi. Hasilnya, didapati alasan pemanggilan ke ruang BK. Akibat dari siswi belum bisa mengaji dan tidak menggunakan seragam dengan identitas agama.
“Dengan demikian dianggap beda sendiri. Kalau perilaku siswi ini penyendiri di kelas. Mulai seperti itu karena merasa ada perbedaan agak kaget ada perbedaan di sekolah negeri dan SMP Negeri yang dia dulu pernah bersekolah,” katanya.
Walau begitu, ORI belum bisa memutuskan adanya pemaksaan. Ini karena sekolah memiliki perspektif tersendiri dengan adanya visi misi iman dan taqwa. Sehingga berdalih tidak ada pemaksaan pemasangan jilbab.
Disatu sisi pihaknya juga akan melibatkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Jogja. Guna melakukan pendekatan secara psikologis. Tentunya untuk mengetahui adanya unsur paksaan yang dirasakan oleh siswi.
“Kami belum pada kesimpulan ada atau tidak adanya pemaksaan, belum pada kesimpulan ada atau tidak adanya bullying. Baru mengumpulkan fakta-fakta penjelasan, keterangan dan dokumen-dokumen yang ada,” ujarnya.
(Sumber: RadarJogja)