By Ari Dharma – Independent writer, Lecturer, Business, Coach and Consultant.
Beberapa bulan terakhir, jagad sosial media diramaikkan oleh perang opini antara buzzer pendukung pemerintah dan oposisi terkait Islamofobia. Pertempuran yang mengasikkan untuk ditonton, namun mengakibatkan perhatian tersedot oleh silih serang yang terjadi. Identifikasi kemunculan perilaku Islamofobia pun terkesampingkan.
Untuk dapat melakukan identifikasi kemunculan perilaku Islamofobia, perlu disamakan terlebih dahulu pendefinisian Islamofobia. PBB mendefinisikan Islamophobia sebagai perilaku permusuhan dan ketakutan yang tidak rasional terhadap Muslim. Perilaku yang dipicu oleh fikiran tidak rasional, mengakibatkan subjektif dan sulit diajak berdiskusi untuk mengidentifikasi perilaku Islamofobia.
Oleh karena itu, identifikasi perilaku Islamophobia harus dilakukan secara rasional, terlindungi dari subjektifitas dan opini. Seorang peneliti dari University of Leeds, S. Sayyid, menulis sebuah artikel berjudul “A Measure of Islamophobia” yang diterbitkan oleh Islamophobia Research and Documentation Project, Center for Race and Gender, University of California, 2014.
Dalam artikel nya, S. Sayyid melakukan pengukuran berdasarkan hasil pengamatan terhadap rangkaian tindakan dan perilaku Islamofobia yang paling umum terjadi, lalu mengelompokkan perilku tersebut dalam enam kelompok.
Kelompok pertama berupa perundungan atau serangan fisik di area public yang terkadang mematikan, dilakukan oleh individual maupun oleh kelompok yang terorganisir.
Kelompok kedua berupa perusakan fisik terhadap bangunan yang berkaitan dengan Islam seperti Mesjid, Mushalla, kuburan atau properti yang terkait dengan Muslim.
Kelompok ketiga berupa tindakan intimidasi terhadap individu atau kelompok Muslim dalam bentuk persekusi yang umum nya dilakukan oleh massa dengan jumlah yang besar.
Kelompok keempat berupa perlakuan diskriminatif, label radikal, tudingan prasangka gender, kebijakan pakaian kerja yang menyulitkan Muslim dan lain lain yang terjadi dalam organisasi.
Kelompok kelima berupa upaya sistimatis untuk merendahkan Islam atau Muslim dalam bentuk asumsi yang belum teruji atau opini yang dipublikasikan di internet, media konvensional maupun online serta sosial media.
Kelompok keenam terjadi ditatanan negara dilakukan pejabat atau aparat negara, dapat terjadi secara pasif, secara terselubung melalui pembiaran terhadap perilaku islamofobia yang muncul di masarakat.
Secara aktif adalah pejabat atau aparat negara secara transparan dalam bentuk tindakan represif, memata matai populasi muslim, perlakuan hukum yang berbeda terhadap warga muslim, pembatasan penerapan ajaran Islam seperti busana, tempat ataupun ritual keagamaan.
Walaupun pengamatan dan pengelompokan Sayyid dilakukan di negara Eropa dimana umat Islam merupakan minoritas, karena dalam definisi PBB variabel komposisi populasi tidak tercantum sebagai pemicu Islamofobia, pengelompokan ini tetap relevan untuk diterapkan di Indonesia.
Dengan menerapkan pengelompokan Sayyid, rangkaian serangan terhaadap ustad serta rangkaian perusakan terhadap masjid merupakan perilaku Islamofobia kelompok pertama dan kedua. Intimidasi dan persekusi sekelompok warga terhadap Ustad Tengku Zulkarnain serta Ustad Abdul Somad merupakan perilaku Islamofobia kelompok ketiga.
Penggiringan opini yang dilakukan buzzer di media sosial dengan mengaitkan Islam pada terorisme, kriminalisasi terhadap simbol agama Islam atau ujaran kebencian terhadap agama Islam merupakan perilaku Islamofobia kelompok kelima.
Lambat nya tindak lanjut aparat negara terhadap laporan persekusi yang dialami UAS, laporan warga Tasikmalaya atas ujaran kebencian Denny Siregar, dua laporan penistaan agama yang dilakukan Abu Janda merupakan indikasi perilaku Islamofobia pasif dalam bentuk pembiaran aparat negara terhadap perilaku Islamofobia yang dilakukan para buzzer tersebut.
Pada sisi lain, bila dibandingkan dengan kecepatan dan ketegasan aparat negara saat menangani laporan ujaran kebencian yang dituduhkan pada Ustad Maher, Ustad Baequni, Gus Nur, Ustad Alfian Tanjung dan Habib Bahar bin Smith, perbedaan perlakuan hukum terhadap tokoh Islam menjadi indikasi perilaku Islamofobia aktif dilakukan oleh aparat negara.
Kebijakan pimpinan TNI, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama yang melarang anggota TNI dan ASN untuk mengenakan Jilbab, cadar, celana cingkrang dan menumbuhkan jenggot menjadi indikasi perilaku Islamofobia aktif pejabat negara dalam membatasi kebebasan berekspresi warga muslim.
Pernyataan Direktur Pencegahan Densus 88 mengenai kebangkitan Taliban dapat menginspirasi kelompok teroris di Indonesia, Pernyataan Mentri Agama radikalisme masuk melalui anak good looking sampai penghafal Alquran, menjadi pemicu timbulnya opini yang mengaitkan Islam dengan terorisme.
Terlepas dari unsur ketidak sengajaan, secara kontekstual fenomena ini menjadi indikasi perilaku Islamofobia aktif yang dilakukan pejabat negara yang mengakibatkan terfasilitasinya penggiringan opini oleh fihak tertentu yang mengaitkan Islam dengan terorisme.
Dari pengelompokan diatas, ada kemunculan perilaku Islamofobia yang ditampilkan oleh individu warga negara, perilaku yang dapat dilakukan oleh penganut agama yang satu terhadap penganut agama lain nya. Selaras dengan pernyataan Menkopolhukam, tak hanya Islamofobia, perilaku Kristenfobia atau Hindufobia dapat pula terjadi.
Dalam tingkatan yang lebih tinggi, indikasi perilaku Islamofobia dilakukan oleh negara, melalui pejabat atau aparat negara merupakan fakta yang menakutkan. Yang lebih menakutkan lagi, pejabat negara setingkat Menkopolhukam gagal menenggarai kemunculan perilaku ini.
Sebagai negara dengan bermacam agama, dengan komposi penduduk Islam yang lebih dari 80%, perilaku Islamofobia yang terindikasi dilakukan oleh negara akan semakin memicu intensitas konflik horizontal yang telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir.
Islamofobia laksana raksasa yang saat ini tersembunyi dalam selimut pertempuran kubu pendukung pemerintah dan oposisi, kubu Cebong dan Kadrun. Rasa permusuhan antara kedua kubu akan menjadi asupan gizi yang dibutuhkan rasaka yang tersembunyi ini untuk tumbuh dan berkembang.
Semakin intens nya permusuhan kubu Cebong dan Kadrun menjelang pilpres 2024 akan semakin membakar permusuhan kedua kubu, maka semakin banyak pula asupan gizi yang didapat oleh raksasa Islamofobia. Cepat atau lambat, raksasa yang tersembunyi tumbuh sedemikian besar sehingga kita tak lagi mampu mencegah nya mengoyak ngoyak persatuan dan kesatuan bangsa ini.
Presiden sebagai pimpinan tertinggi negeri, menjadi satu satu nya harapan, otoritas yang beliau miliki dapat mencegah keberulangan indikasi perilaku Islamofobia yang dilakukan pejabat dan aparat negara. Pilihan ada ditangan beliau, tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin bangsa yang berhasil mengkerdilkan raksasa Islamofobia, atau tercatat sebagai pemimimpin bangsa yang membiarkan raksasa itu membesar tak terkendali.
Independent writer, Lecturer, Business, Coach & Consultant,