Gerindra dan Lanskap Islam Politik
Oleh: Fahrul Muzaqqi*
Deklarasi koalisi Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Sabtu, 13 Agustus 2022, secara tidak langsung menggambarkan munculnya pergeseran lanskap politik nasional yang telah mengakar setidaknya dalam dua pemilihan umum sebelumnya. Sebagaimana fatsun politik yang berlaku, koalisi kepartaian di Indonesia mengharuskan komposisi platform ideologi nasionalis dan agamis (Islam). Yang menarik untuk dicermati adalah polarisasi ideologi partai-partai politik dan organisasi kemasyarakatan keislaman belakangan ini.
Gerindra dalam setidaknya sepuluh tahun terakhir sudah telanjur dikonstruksi untuk bersenyawa dengan partai politik maupun organisasi massa keislaman yang berhaluan "kanan". Terminologi "kanan" di sini merujuk pada karakter ideologi keislaman formal, yang berupaya menerapkan ajaran-ajaran Islam dalam regulasi formal beserta atribut keislaman di ruang publik, dengan pendekatan gerakan yang agresif atau tidak segan menghukum praktik kehidupan bermasyarakat secara tegas dan bahkan kerap terkesan menyerang kelompok lain yang berbeda pandangan.
Senyawa ideologis di antara Gerindra dan Islam kanan tersebut memaksa sejumlah partai dan organisasi massa yang berbeda haluan ideologi keislaman untuk mendekat kepada gerbong koalisi nasionalis-agamis yang lain. Islam "tengah" yang berkarakter ideologi keislaman kultural dan moderat, misalnya. Mereka kemudian bersenyawa dengan gerbong koalisi partai besar nasionalis yang lain, seperti PDIP atau Golkar.
Merapatnya Gerindra dan PKB secara implisit juga mengisyaratkan arah orientasi geopolitik Gerindra yang berubah. Ketika Gerindra masih bermesraan dengan partai dan organisasi massa Islam kanan, basis massa yang sangat menopang senyawa itu umumnya berasal dari Jawa Barat dan sebagian besar Sumatera. Namun, kekuatan politik dari dua teritori itu ternyata tidak kunjung membawa Gerindra, berikut Prabowo Subianto sebagai ketua umumnya, menjadi partai "pemerintah", yakni partai pemenang pemilihan umum yang menempati posisi kekuasaan utama. Bisa dipahami manakala menyongsong Pemilihan Umum 2024 Gerindra berpikir ulang untuk melanjutkan koalisi ideologis dengan partai dan organisasi massa Islam kanan.
Kini, ketika kemudi Gerindra berbelok koalisi dengan PKB, basis massa penopang juga dengan sendirinya turut bergeser. Dari sudut ideologi keislaman, PKB merupakan representasi partai Islam tengah. Sebagai anak kandung ideologis dari Nahdlatul Ulama (NU), PKB memiliki basis umat terbesar di Jawa Timur. Dari sini kabut politik semakin tampak. Langkah Gerindra selanjutnya, setelah berkoalisi dengan PKB, agaknya adalah mendekati induk ideologinya, yakni NU. Di samping itu, agenda tak kalah penting yang lain adalah merekonstruksi citra partai, dari yang sudah telanjur eksklusif mengakomodasi ideologi Islam kanan menjadi lebih terbuka kepada ideologi Islam mana pun, khususnya Islam tengah.
Meskipun manuver koalisi dua partai tersebut cukup prospektif dan menjanjikan, tapi bukan berarti tanpa risiko. Baik Gerindra maupun PKB tentu akan berupaya memelihara dan mempertahankan basis massa yang selama ini menopangnya. Masalahnya, di tataran elite maupun akar rumput, pendukung Islam kanan kerap bersitegang dengan Islam tengah. Di titik inilah tantangan krusial yang harus didekati secara hati-hati dan memerlukan strategi yang canggih. Alih-alih meluaskan spektrum ideologi keislaman, jangan sampai yang terjadi kemudian malah ditinggalkan oleh basis massa pendukung sebelumnya hanya karena strategi dan pendekatan yang kurang hati-hati dan serampangan, baik bagi tataran elite, kelas menengah, maupun akar rumput.
Koalisi Gerindra dan PKB rupanya tidak serta-merta menghasilkan koalisi calon presiden dan wakil presiden. Walaupun sebagian spekulasi politik boleh saja mengkombinasikan Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar sebagai pasangan kandidat, hal itu tidak menutup kemungkinan lain. Berangkat dari analisis geopolitik dan perkembangan data elektabilitas ketokohan yang terus bergerak, Gerindra tentu akan lebih berhati-hati dalam meneropong siapa tokoh yang akan mendampingi ketua umumnya dalam perhelatan pemilihan presiden 2024.
Hal ini sangat beralasan, mengingat pengalaman dan eksperimentasi pada dua pemilihan umum sebelumnya, sosok calon RI-2 merupakan variabel yang tak kalah menentukan dibanding calon RI-1 itu sendiri. Sebagai bahan komparasi, pemilihan presiden 2014 memposisikan Jusuf Kalla sebagai kandidat wakil presiden terfavorit, sementara pada 2019 menempatkan KH Ma'ruf Amin sebagai pemecah suara di kalangan Islam kanan.
Apakah dengan demikian sosok Muhaimin Iskandar kurang kompatibel disandingkan dengan Prabowo Subianto? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Dua sosok itu mungkin disandingkan apabila koalisi Gerindra dan PKB relatif tidak lagi membuka ruang negosiasi bagi partai politik lain untuk bergabung. Kalaupun terdapat partai lain yang bergabung, nilai tawarnya menjadi kecil, yakni hanya sebagai "penggembira".
Di samping itu, sudah menjadi hukum tidak tertulis dalam penentuan komposisi pasangan calon presiden-wakil presiden bahwa komposisi ideal pasangan calon adalah sosok yang memiliki daya liabilitas (prospek grafik elektabilitas yang terus menaik) yang tinggi. Di sinilah pertimbangan utama Gerindra untuk menentukan pendamping bagi ketua umumnya. Sosok pendamping itu, selain didasarkan pada perkembangan data elektabilitas dari sejumlah tokoh nasional yang telah mengemuka di bursa survei, juga pada pertimbangan geopolitik Islam dan basis massa ketokohan. Tidak lagi cukup hanya mendasarkan pada kesamaan visi-misi, kemampuan sumber daya (resources), apalagi semata hanya kecocokan kepentingan elitisme. Maka, pertimbangan geopolitik Jawa Timur, yang menjadi sasaran teropong Gerindra untuk mencari pendamping, kini lebih menyempit dan lambat laun menemukan titik terang.
Walaupun demikian, politik merupakan proses yang sangat dinamis. Tidak menutup kemungkinan terjadinya blunder, kecerobohan, ataupun manuver-manuver produktif yang mengejutkan.
*Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
(Sumber: TEMPO)