GADUH SE-INDONESIA
Oleh: Mila Machmudah Djamhari
Kebiasaan yang baik di masyarakat dan dilakukan berulang-ulang disepakati bersama akan menjadi satu aturan yang disebut hukum kebiasaan. Menggunakan jilbab bagi siswi muslim yang sudah berlangsung lama bisa jadi hukum kebiasaan di sekolah tersebut. Selama ini berlangsung baik-baik diikuti seluruh siswa dan guru serta didukung oleh wali murid.
Begitu juga jam pelajaran ekstra yang diisi dengan tadarus dan doa pagi untuk agama lain pun berlangsung secara terus menerus dan menjadi "keharusan" di sekolah tersebut.
Berhijab dan baca tadarus adalah sesuatu yang baik di dalam menumbuhkan iman dan takwa peserta didik di tengah derasnya informasi global yang menawarkan kemaksiatan. Hal ini sebenarnya tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang ada bila peserta didik dan orang tua menerima.
Pendidikan itu semestinya kerjasama antara pihak sekolah dan pihak keluarga. Saat kita mendaftarkan sekolah anak mestinya sudah mengetahui kebiasaan dari sekolah tersebut, anak disiapkan untuk mematuhi kebiasaan tersebut. Bila ternyata anak belum atau tidak siap lalu depresi mestinya yang perlu dipertanyakan adalah orang tuanya. Sekolah punya misi dan orang tua juga punya misi mau dibawa kemana pendidikan anak ini. Kalau misinya berbeda yang terjadi akhirnya gaduh se-Indonesia.
Kebiasaan sekolah tersebut siswi muslim hendaknya berhijab lalu ada satu orang tidak mau berhijab sedang dia muslim justru akan menjadikan dia makhluk yang berbeda di lingkungan sekolah. Ketika semuanya sudah bisa mengaji dan dia belum bisa sedangkan setiap pagi ada wajib mengaji ini juga akan menjadi hal yang tidak nyaman bagi si anak. Wajar kok bila si anak kemudian depresi karena orang tuanya lalai untuk menyiapkan anak masuk ke lingkungan dengan kebiasaan baru.
Dulu saya sempat ikut kakak saya dimana kebiasaan di sana seminggu sekali ada acara kumpulan mengaji dimana kebiasaannya adalah baca Alquran bergiliran dan cara baca mereka cepat sekali dan saya tidak bisa baca Alquran secepat itu. Saat itu ada perasaan tidak nyaman karena tidak percaya diri. Jadi saya sangat memahami kasus di Bantul tersebut bahwa anaknya merasa tidak nyaman di lingkungan baru yang dia tidak mampu mengikutinya.
Salah siapa???? Ya jelas salah orang tua. Seyogyanya saat memilih sekolah untuk anaknya dipelajari lebih dahulu kebiasaan sekolah tersebut apakah si anak mampu mengikuti atau tidak. Memaksakan diri untuk tidak berhijab karena tidak mau berhijab di lingkungan besar yang berhijab semua pasti akan muncul ketidaknyamanan. Guru sudah berusaha mengkondisikan agar anak berkenan berhijab tapi sayangnya tidak didukung penguatan orang tuanya jadilah seolah terjadi pemaksaan. Tidak dikondisikan berhijab dia akan jadi makhluk yang aneh, dikondisikan untuk berkenan berhijab diperkarakan sebagai paksaan.
Kritik buat LSM, media, dan stakeholder terkait penanganan kasus anak seyogyanya penanganan kasus anak dilakukan dalam senyap. Prioritaskan kepentingan si anak bukan sekedar heboh, sensasional, dan bombastis. Jangan hanya fokus penghakiman pada pelanggaran aturan yang sebenarnya juga harus memahami kearifan lokal masing-masing sekolah (Sekolah di sini maknanya adalah Guru, Murid, dan Wali murid) tetapi juga harus prioritaskan psikis anak-anak.
Saat ini yang jadi korban bukan hanya satu anak tetapi juga anak-anak yang lain menjadi tidak nyaman karena setiap hari mereka terganggu kehadiran orang-orang dinas dan media.
Anak yang depresi pun akhirnya tidak tertangani secara profesional untuk pemulihan kesehatan mentalnya. Dengan menjadi bahasan satu Indonesia sebenarnya akan menjadi situasi yang tidak menyenangkan bagi anak saat dia sekolah di tempat baru. Guru dan murid akan berhati-hati berhubungan dengan dia, bisa jadi mereka akan menjaga jarak karena takut bila salah omong dan sikap berdampak depresi dan diperkarakan oleh orang tuanya.
(fb penulis)