Dari 10 sahabat yang "dijamin masuk surga" salah satunya Thalhah bin Ubaidillah ra.
Beliau menikah dengan Ummu Kultsum binti Abu Bakar Shiddiq (Saudari Aisyah), yg artinya Thalhah merupakan menantu dari Abu Bakar.
"Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi sesudah mengalami kematiannya, lihatlah Thalhah!”
Itu adalah ucapan Rasulullah saat perang Uhud terjadi. Saat itu pasukan Muslim telah terpecah pelah sehingga hanya tersisa beberapa orang di antara mereka termasuk Thalhah bin Ubaidillah. Kemudian Rasulullah dan kamum muslimin yg naik ke bukit dihadang oleh musuh.
“Siapa yg berani melawan mereka dia akan menjadi temanku kelak di surga,” seru Rasulullah.
“Saya, wahai Rasulullah,” jawab Thalhah.
“Tidak, jangan engkau! Engkau harus tetap di tempatmu.”
“Saya, wahai Rasulullah,” kata seorang prajurit Anshar.
“Ya, majulah,” kata Rasulullah.
Prajurit Anshar itu maju melawan prajurit kafir yg ingin membunuh Rasulullah hingga menemui kesyahidannya. Rasulullah meneruskan perjalanan, tetapi dihadang kembali oleh tentara musyrikin.
“Siapa yg berani melawan mereka ini?” seru Rasulullah lagi.
“Saya, wahai Rasulullah,” kata Thalhah mendahului yg lain.
“Jangan, engkau tetaplah di tempatmu!”
“Lalu seorang prajurit Anshar menggantikannya. Begitu terus hingga 11 orang prajurit muslim menemui syahid. Tinggal Thalhah sendiri bersama Rasulullah. Hingga kemudian Rasululah memerintahkan kepada Thalhah, “Sekarang engkau, wahai Thalhah!”
Tanpa menunggu lagi, Thalhah pun maju menghadang musuh dan menghalau mereka agar tak bisa mendekati Rasulullah. Thalhah kembali ke dekat Rasulullah dan menaikkannya sedikit ke bukit. Disandarkannya tubuh Rasulullah yg mulia, gigi taringnya patah, kening dan bibirnya sobek, darah mengucur dari muka beliau.
Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah (keduanya juga dijamin surga), menemui Rasulullah, tapi Rasulullah menyuruh mereka membantu Thalhah.
(Kelak Abu Bakar wafat karena sakit, adapun Ubaidah bin Jarrah wafat sebab wabah Thaum ketika dia mejabat menjadi gurbenur Syam dimasa Khalifah Umar).
Lanjut ....
Thalhah ditemukan dalam keadaan pingsan, tak kurang dari 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan lembing, dan lemparan panah memenuhi tubuhnya. Pergelangan tangannya putus sebelah. Darah segar mengucur dari tubuhnya. Semua orang mengira Thalhah sudah syahid karena luka para yg dideritanya, tapi ternyata ia masih hidup sehingga akhirnya Thalhah mendapat julukan “asy-syahidul al-hayyu” (syahid yang masih hidup).
Sejak saat itu, jika ada yg membicarakan perang Uhud di depan Abu Bakar, Abu Bakar selalu menyahut, “Perang hari itu adalah peperangan milik Thalhah seluruhnya.”
Seakan ingin menebus ketidakhadirannya pada perang Badar, Thalhah mempertaruhkan semuanya di perang Uhud. Sebab saat perang Badar terjadi dia dan Sa’id bin Zaid tengah diutus menjadi mata-mata di luar kota oleh Rasulullah. Meski demikian, Thalhah tetap mendapat ghanimah Badar.
Keislamannya berawal ketika ia tengah berjalan ke Syam dan bertemu dengan pendeta yg mengabarkan kedatangan Nabi terakhir, Muhammad. Ia bercerita kepada Abu Bakar yg kemudian mengantarkannya menemui Nabi Muhammad. Rasulullah menjelaskan apa itu Islam kepada Thalhah, dan dengan ringan Thalhah pun mengucap dua kalimat syahadat. Peristiwa keislaman Thalhah menjadi berita yg amat mengejutkan, terutama untuk keluarganya. Berbagai bujuk rayu dari keluarga dan kaumnya tak lagi dihiraukannya, pendirian Thalhah tak dapat digoyahkan.
Thalhah dikenal sebagai orang yg jujur dan teguh pendirian. Sejak awal keislamannya, ia juga tak pernah ingkar janji dan dermawan. Pernah dia membawa pulang keuntungan dagang sebesar 700.000 dirham (280 juta). Entah kenapa malamnya Thalhah gelisah, risau dan merasa tidak tenang. Istrinya sampai kebingungan melihatnya.
“Mengapa engkau gelisah, apa aku telah melakukan kesalahan padamu?”
“Tidak. Engkau tak melakukan kesalahan apapun, tapi memang ada yg mengganggu pikiranku. Pikiran seorang hamba yg tak tenang ingin memejamkan mata sedang ada harta bertumpuk di rumahnya.”
“Mengapa engkau sampai risau seperti itu. bukankah banyak yg membutuhkan pertolonganmu. Besok pagi engkau bagikan saja uang itu kepada orang yg membutuhkan."
“Semoga Allah merahmatimu. Sungguh engkau wanita yg mendapat taufik Allah,“ sahut Thalhah bahagia.
Keesokan harinya, ketika acara pembagian harta kepada kaum Muhajirin dan Anshar hampir selesai, Ummu Kutsum binti Abu Bakar Ash Shiddiq mendatangi suaminya, mengingatkan sang suami agar menahan beberapa uang untuk keperluan dirinya sendiri dan keluarganya.
Ternyata, Thalhah hampir saja melupakan bagian untuk istri dan anaknya. Akhirnya ia memberikan harta yg tersisa pada istrinya. Ummu Kutsum binti Abu Bakar Ash Shiddiq bercerita, “Ternyata yg tersisa adalah sebuah kantung yg berisi uang sekitar 1000 dirham" (400ribu). Pantas jika Rasulullah memberinya gelar Thalhah Al Fayyadh (Thalhah yg dermawan).
Thalhah syahid pada usia 64 tahun (usia riwayat yg masyhur) dalam peristiwa Perang Jamal karena luka yg cukup dalam di kakinya (Terkena panah di bekas luka yg blm sembuh).
Perang Jamal (perang saudara sebab fitnah Abdulah bin Saba) terjadi di Bashrah (Iraq) pada hari Jumat tanggal 10 Jumadits Tsaniyah tahun 36 H.
Di sanalah Thalhah terbunuh ketika berusaha "melerai" pertempuran antara pasukan Ali ra dan pihak Sayyidah Aisyah ra, ia terkena oleh panah yg tidak diketahui asalnya dan membunuhnya.
Ibnu Katsir ber-pendapat, “Ada pun Thalhah, dalam pertempuran itu ia terkena oleh panah yg tidak diketahui asalnya, perang terjadi selepas dhur sampai menjelang matahari tenggelam".
Setelah perang usai, Ali berjalan mengitari para korban yg tergeletak di medan tempur. Ia mendoakan rahmat Allah bagi orang² shalih yg dikenalnya, dia juga menshalatkan korban dari kedua belah pihak, dan ia berharap telah wafat dua puluh tahun sebelum hari itu hingga tidak perlu menyaksikan tumpahnya darah kaum muslimin.
Amirul Mukminin Ali sangat terpukul ketika melihat Thalhah dan putranya Muhammad As-Sajjad (ahli ibadah) tewas, dan itu sangat berat baginya. Ia hanya bisa mengadukan kedudukannya kepada Allah, tangis tak henti hentinya mengalir dari kedua matanya, lalu ia memberikan kabar gembira berupa neraka kepada pembunuh Thalhah.
Diriwayatkan oleh imam Ath-Thabrani, al Hakim, dan Ibnu Asakir, dari Thalhah bin Musharrif, bahwasanya Ali sampai di tempat Thalhah setelah ia terbunuh, maka ia turun dari tunggangannya dan mendudukkan nya. Ia mengusap debu dari wajahnya dan jenggotnya, dengan mendoakan rahmat Allah untuknya, dan ia berkata:
"Andai saja aku telah meninggal dua puluh tahun sebelum terjadinya hari ini.”
Ketika Thalhah wafat, orang² menguburkannya di tepi Khalla’ (adalah tempat dimana kapal² berlabuh, yaitu tepian sungai, yg dikenal dengan nama dermaga).
Sa’id bin Amir Adh-Dhuba’I meriwayatkan dari Al Mutsanna bin Sa’id berkata: "Seseorang mendatangi Aisyah binti Thalhah (anak Thalhah) dan berkata, “Aku bermimpi bertemu dengan Thalhah dan ia berkata, “Katakanlah kepada Aisyah agar ia memindahkanku dari tempat ini, sesungguhnya rembesan lumpurnya menggangguku.”
Maka Aisyah segera berangkat dengan para pembantunya, mereka membuatkan tempat baru untuknya, dan kemudian mengeluarkannya (dari tempat awal dikubur). Ia berkata, “Tidak ada yg berubah darinya selain beberapa helai rambut dari salah satu sisi jenggotnya, atau ia mengatakan, “Kepalanya.” Dan itu terjadi setelah lebih dari tiga puluh tahun dikubur!”
من سره أن ينظر إلى رجل يمْشي على الارض وقد قضٰى نحبه فلينظر الى طلحة
“Barangsiapa ingin melihat kepada soerang lelaki yg masih berjalan di bumi sedang mati syahidnya sungguh telah ditentukan, maka hendaklah dia melihat kepada Thalhah.”
(Hr Ibnu Majjah, At Turmudzi).
Hadits ini mengisyaratkan apa yg telah difirmankan Allah dalam al Ahzab ayat 23 :
“Di antara orang² mukmin itu ada orang² yg menepati apa yg telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yg gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yg menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya)."
Sumber: Ibnu Katsir, Bidayah wan Nihayah
(Musa Muhammad)