[PORTAL-ISLAM.ID] Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang selalu menolak gugatan masyarakat hingga partai politik terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) semakin menunjukkan bahwa MK tidak paham filosofi konstitusi.
Begitu tegas pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Rocky Gerung dalam Dialog Kebangsaan DPR RI bertajuk "Peran DPD RI dalam Percaturan Pemimpin Bangsa" di Lobby Gedung DPD RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/7).
“Kalau DPD ditolak, saya sudah dua kali maju ditolak, anggota DPD Fahira ditolak juga tuh, partai politik udah pernah ditolak, dengan alasan yang sama, ‘kalian tidak punya legal standing’. Sekarang saya tanya, legal standing MK untuk menolak legal standing kami apa? Apa legal standing MK?” tanyanya.
Rocky menjelaskan, sekitar tahun 1596 ditulislah satu traktat yang namanya Franco-Gallia yang ditulis oleh Francois Hotman orang Prancis yang bermukim di Italia. Dalam naskah Franco-Gallia itulah pertama kali kata “konstitusi” dipakai.
Naskah itu menegaskan bahwa konstitusi adalah hak untuk membunuh raja.
“Kenapa? Karena raja mengklaim dapat hak untuk memerintah dari wahyu ilahi,” urainya.
Setelah 200 tahun berikutnya, urai Rocky, dibuktikanlah secara jelas bahwa klaim raja itu omong kosong. Sekitar bulan Juli 1789 silam di alun-alun Kota Paris ada rakyat yang menenteng kepala Raja Louis XIV, raja yang mengklaim bahwa mahkotanya tidak mungkin lepas karena dipasangkan langsung oleh tuhan.
“Terus kata rakyat, ini buktinya nih, bahkan kepalamu pun saya bisa lepaskan dari tubuhmu (Raja Louis XIV) dengan pisau guillotine,” tutur Rocky.
“Dari situ kita paham yang disebut kedaulatan rakyat. Hak untuk membunuh raja,” imbuhnya menegaskan.
Sementara itu, peradaban modern kemudian menganggap bahwa hal tersebut berbahaya. Sehingga, jika rakyat kecewa dan kesal dengan raja, maka sang pemimpin tidak lagi dibunuh, melainkan datang ke Mahkamah Konstitusi dan melakukan gugatan.
“Jadi kalau MK masih menganggap bahwa kalian rakyat tidak punya legal standing, baca sejarah konstitusi!” tegasnya.
“Justru legal standing itu yang berdarah-darah dalam revolusi Prancis itu!” imbuhnya lagi.
Tak hanya itu, Rocky juga menyebut dalam sejarah masyarakat Jawa pun sudah diterangkan mengenai konstitusi dan JR. Kalau rakyat terhina oleh kebijakan, dia berhak untuk jemur diri di depan alun-alun istana.
“Lalu rajanya keluar bertanya ada apa, kenapa ribut-ribut, lalu golongan pujangga itu bilang mereka protes tuan raja. Raja bilang oke, kalau begitu kita ganti,” ujarnya bercerita.
Pada waktu itu memang tidak dikenal dengan judicial review (JR). Tapi itu adalah JR juga karena rakyat ingin memberitahu bahwa ada kebijakan yang tidak bagus disampaikan ke raja lewat JR.
“Jadi ada tradisi local wisdom untuk mendengar suara rakyat,” simpunya.
Atas dasar itu, Rocky menyebut MK ahistoris ketika menutup diri dari gugatan rakyat, termasuk soal presidential threshold 20 persen yang dinilai bertentangan dengan demokrasi. Bahkan, Rocky menyebut MK adalah akronim dari Mahkamah Kedunguan (MK) karena tidak pernah mendengarkan suara rakyat.
“Sekarang MK menutup hak kita bahkan untuk berbicara. Kita cuma minta beri kami kesempatan untuk kami mendalilkan kami di dalam mahkamah, belum sempat udah. anda gak punya hak, anda gak punya legal standing, lho saya mau memilih? kata Rocky.
“Bahwa MK buta huruf tentang filosofi dari konstitusi,” sambungnya.
Ditambahkan Rocky, sebetulnya MK pun diberi semacam diskresi moral untuk “mengintip” potensi penyalahgunaan kekuasaan, itu namanya Judicial Activism. Di seluruh dunia, Mahakamah Konstitusi itu membuka mata, hati, dan otaknya untuk mendeteksi itu.
Ditegaskan Rocky, Judicial Review itu hak rakyat untuk minta review. Judicial Activism itu hak MK untuk nguping problem-problem yang membahayakan konstitusi, itu dasarnya,” urainya.
“Jadi di mana otak MK kalau dia gak faham bahwa dia justru menjadi mulia karena dia diberikan hak untuk memantau menguping keadaan rakyat. Ini dia gak mau nguping bahkan, lah rakyat bicara aja bahkan dia gak mau didenger apalagi mau nguping,” katanya.
“Jadi itu kedunguan dari Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Kedunguan (MK). Saya mau dalilkan ini, saya mau bertengkar dengan semua hakim yang di situ tuh, buka forum, kita debat habis-habisan, dari sejarah intelektual konstitusi sampai konsekuensi dari mahkamah yang berubah jadi Mahkamah Konstipasi (MK) ngeden aja!” pungkasnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menolak gugatan DPD RI terkait Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan atau Presidential Threshold (PT) dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022. MK menilai DPD RI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut. [rmol]