[PORTAL-ISLAM.ID] Persoalan kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang awalnya heboh soal besarnya gaji para petingginya lalu sekarang ke terorisme termasuk tudingan mentransfer uang ke beberapa organisasi teroris mendapat tanggapan sejumlah pihak.
“Soal gaji petinggi ACT dengan cepat berubah menjadi terorisme adalah alasan khas rezim Islamophobia,” kata pemerhati politik dan budaya Rizal Fadillah kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (11/7/2022).
Bahwa terjadi penyimpangan oleh oknum personal pimpinan memang harus diusut dan diselesaikan, akan tetapi tidak dapat diterima apabila cara penanganan dilakukan secara berlebihan, diskriminatif, dan tendensius.
“Patut diduga ada motif politik untuk menghancurkan lembaga filantropis keumatan,” ungkapnya.
Kata Rizal, penilaian gampangan bahwa tindakan yang diambil penguasa terhadap ACT adalah melanggar etika dan hukum.
Melanggar etika karena sebagaimana dikemukakan oleh banyak fihak bahwa memburu satu tikus di lumbung ternyata dilakukan dengan cara membakar habis lumbung.
Dua kemungkinan untuk ini yaitu kebodohan luar biasa atau memang sejak semula niatnya bukan akan memburu tikus tetapi membakar lumbung. Kebetulan ada tikus masuk jebakan yang dipasang di lumbung.
“Melanggar hukum karena perbuatan yang dilakukan itu sewenang-wenang. Cara kerja hukum adalah pembuktian melalui proses peradilan. Bagaimana suatu perbuatan dinyatakan salah tanpa proses penetapan dari lembaga yang berhak untuk menetapkan. Tidak bisa main cabut izin tanpa perintah hukum atau sekurang-kurangnya melalui pemeriksaan yang seksama,” paparnya.
Rizal mengatakan, publik terpaksa menonton perilaku otoritarian dan sok kuasa. Publik dapat memahami jika mungkin terjadi kesalahan manajemen termasuk pola penggajian.
“Meskipun yang terakhir ini relatif sekali jika dibandingkan dengan gaji anggota DPR, pengelola BPJS atau Komisaris BUMN yang cuma titip nama tanpa kerja atau kompetensi. Kesalahan manajemen dapat dikoreksi dan dibenahi,” jelasnya.
Rizal mengatakan pola rezim terhadap kasus ACT ini menambah catatan hitam.
“Rangkaiannya dimulai dari pembubaran tanpa proses peradilan organisasi HTI dan FPI, penahanan HRS dan Munarman, pembunuhan 6 anggota Laskar FPI, penangkapan Farid Okbah, Zain An Najah dan Anung Al Hamat, serta kini pencabutan izin ACT beserta pemblokiran rekeningnya. Pelibatan BNPT dan Densus 88 menjadi bagian dari politik stigmatisasi umat. ACT berbahaya,” ungkapnya.
(Sumber: SuaraNasional)