Menengok Bayaran Roy Citayem

Menengok Bayaran Roy Citayem

Oleh: Wahyudi Akmaliah*

Tidak sedikit yang kecewa ketika Roy menolak beasiswa dari Menteri Pariwisata Sandiaga Uno. 

Menurut mereka (pihak yang kecewa itu), sangat disayangkan beasiswa untuk lanjut sekolah itu diabaikan. Ini karena dunia pendidikan merupakan langkah dan lompatan Roy untuk perbaikan ekonominya di masa depan. 

Tentu saja jawaban ini sangat klise dan melanggengkan kelas berpendidikan yang sebenarnya soal urusan honor kerja-kerja intelektual yang dilakukan oleh akademisi, misalnya, cenderung ngaco. 

Mangkanya, ane dukung sih Roy untuk terus ngonten, mumpung lagi laku. Kalau enggak laku yah ngamen atau jadi tukang parkir. Enggak apa-apa, yang penting ada duitnya.

Setiap konten yang bersama Roy, ia dibayar minimal 400 ribu sampai 1 juta. Kalau sehari lebih dari 5 kali, kita bisa menghitung pendapatan Roy ini. Secara kasar, ia bisa mendapatkan kurang lebih ya sehari Rp. 5 juta. 

Jumlah itu tentu saja lebih banyak dari gaji bulanan awal ASN, apalagi dosen honorer. Jumlah itu juga jauh lebih banyak dari bayaran honor jadi pembicara yang seringkali dikasih 5 M-E; Makasih Mbanyak Mbanget Mase/Mbae Mantabs Eui. Sementara kalau ditagih, saat honor belum turun, intelektual seringkali engga enakan. Ketika nagih malah dituduh mata duitan. Enggak ditagih ya butuh juga untuk keperluan penting sehari-hari. Padahal, nomor rekening ini udah diminta juga (Ayo siapa yang mengalami?, buka suara aja di sini).

Loe boleh aja ngomong, "Itu kan sekadar trend, nanti juga hilang. sementara dunia akademisi/intelektual merupakan jalan panjang". Heh, malih, sini gue bilangin. Itu akademisi/intelektual investasinya ngisi otak biar keren kalau ngomong sekaligus bergizi semuanya juga diisi pakai asupan duit, duit, dan duit sebagai pelumas untuk beli lain-lain. Jadi kalau loe kagak hargain mereka, minimal ngasih honor yang pantas, enggak usahlah undang-undang atas nama probono dan demi kemajuan, progresivitas, dan kehebatan kemanusiaan Indonesia maju dan lain-lain.

Ya, tapi kan enggak semua bisa dinilai dengan uang wahai intelektual. Iya itu bagi beberapa orang. Bagi intelektual/akademisi yang masih berhemat dengan token listrik dan isi pulsa internet untuk bisa eksis di dunia maya, honor itu, seberapa besar banyaknya, bukan seberapa sedikitnya, itu tetap penting untuk mereka. Hal beginian dan remeh temeh seringkali kita abaikan. Akhirnya kita mematikan sendiri dunia intelektual/akademisi yang kita hidupi. Tentu saja, hal ini enggak berlaku buat mereka yang jadi pejabat ya. Karena emang kerjanya buat isi pembuka sana dan sini serta ngasih petuah ini dan itu di forum-forum akademik. Mereka juga mendapatkan fasilitas untuk melakukan itu.

Loe bisa aja komentar, "Lah kalau gitu, ikut ngonten aja seperti Roy, untuk cari peruntungan. Enggak usah ngamuk soal dunia intelektual, yang memang jalannya banyak probono atas nama kemanusiaan, kemajuan, dan pencerahan". Ya, dunianya emang beda. Enggak semua orang bisa ngonten lalu terkenal juga kayak Roy. Yang terpenting di sini adalah soal ketimpangan, betapa kerja-kerja industri hiburan itu ada level apresiasi, sementara dalam dunia intelektuak/akademisi, apresiasi kayak pepesan kosong; indah bener didengar, tapi nyesek banget saat lihat transferan rekening.

Karena kondisi gini, tidak sedikit intelektual/akademisi cabut dan fokus kerja di dunia industri yang isinya cuma; duit, duit, dan duit. Sementara dari segi karya, intelektual, dan kritis, orang-orang ini pastilah keren. Namun, hidup di dunia yang apa-apa harus ngisi dompet digital, keren secara intelektual aja enggak penting-penting amat. Yang terpenting, apakah mereka bisa hidup dari dunia yang digeluti. Nah, nafas panjang sekaligus rejeki yang mereka dapatkan dengan cara membangun lingkaran positif dengan mengupah mereka dalam dunia intelektual itu penting.

Mangkanye, sekadar saran aja. Kalo mau ngadain diskusi/seminar/bedah buku dan lain-lainnya, ya tutup panci aja langsung, enggak usah enggak enak ngomongnya. "Maaf mas Yudi, ini acara enggak ada duitnya. Kalau berkenan, silahkan, enggak enggak ya enggak apa-apa". Nah di sini jadi enak sama enak. Yang nawarin jadi pembicara juga enggak sungkan karena enggak punya duit. Pembicara yang ditawarin juga ngeh posisinya bisa menerima dan menolak. Jangan sekadar minta nomor rekening doang, tapi dikirim kapan kagak tahu. Apalagi saling curhat dengan sesama pembicara lain karena honor enggak kunjung dikirim di salah satu institusi pendidikan.

Kalau loe pada masih menghadapi situasi dilematis, tirulah sikap Kurma saat ditawarin untuk foto bareng dengan salah satu influencer instagram dengan banyak followers, "Maaf mbak, ini saya mau ngonten dulu", jawab kurma kalem. Mungkin di dalam hati mbak influencer itu bilang, "njir, gue segini banyaknya followers dan udah endorse sana sini ditolak oleh selebriti kurma kemarin sore". Ya, gimana ya, emang Kurma lagi naik daun sih. Wajar kalee doi nolak. Sebab, kalau kata Jeje, meskipun kita engga ngerti maksudnya tapi enak aja didengar, " Slebeww". 

(fb)

Baca juga :