Oleh: Widi Astuti (Aktivis Mualaf Center Salatiga)
Kenangan masa SMA di Papua begitu membekas. Saat awal masuk sekolah, saya belum berjilbab. Rambut cepak ala Demi Moore, pake rok SMA selutut. Baju lengan pendek agak gedombrangan. Maklumlah saya mungil.
Tas slempang warna ungu dan sepatu Eagle hitam membersamaiku melangkahkan kaki menuju gerbang SMA 5 Sorong. Letaknya di seberang Kantor Pajak. Juga di dekat kali Remu.
Halaman sekolah sangat luas dengan pohon yang rimbun. Lapangan basket berwarna hijau, tampak dari gerbang. Dulu, sekolah ini termasuk favorit karena kedisiplinannya.
Saya memasuki gerbang sekolah dengan perasaan asing. Saya baru datang dari Jawa. Tak memiliki seorang temanpun disini. Semuanya tampak berbeda.
Memasuki koridor menuju kelas 1 E, pemandangan serba baru terlihat. Teman-teman baru, bahasa baru, sekolah baru. Bahasa baru? Iya, bahasa Indonesia logat Papua membuatku bingung. Mereka bercakap-cakap dengan sangat cepat. Membuatku bingung mengartikan.
Begitu sampai kelas, aku segera duduk di bangku nomer 3 dari depan. Aku sengaja memilih di tengah agar bisa tersamarkan dan tidak mencolok. Aku duduk diam memperhatikan teman-teman baru.
Logat bicara mereka benar-benar membuatku bingung. Ada beberapa kosakata yang tak kumengerti. Tak berapa lama kemudian lonceng berbunyi. Terlihat seorang Pak guru memasuki kelas. Beliau mengajar penataran P4 untuk siswa baru. Kalau tidak salah namanya Pak Aritonang. Pria paruh baya dari Batak.
Aku menyimak pelajarannya dengan tenang. Dan bisa mengikutinya dengan baik. Karena dulu aku pernah juara cerdas cermat P4. Jadi aku tidak kesulitan mengikuti pelajarannya. Bahkan bisa menjawab seluruh pertanyaannya.
Aku memang anak baru dan pendiam. Tapi selama masa penataran P4 itu teman-teman kelas jadi mengenalku. Karena aku rajin mengacungkan tangan menjawab pertanyaan. Menjawab dengan logat Jawa ngapak super medok.
Karena logatku agak aneh, terkadang ada beberapa teman kelas yang menirukan. Tapi aku tidak marah. Aku berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru.
Teman sekelasku terdiri dari beberapa suku. Ada suku Papua asli, Ambon, Manado, Jawa, Bugis, Padang dll. Meskipun terdiri dari beberapa suku tapi logatnya sama, yaitu logat Papua. Hanya aku yang belum fasih menggunakan logat tersebut. Tapi karena aku rajin menjawab pertanyaan, maka aku mulai dikenal oleh guru ataupun teman sekelas. Ini semua sangat membantuku untuk beradaptasi.
Setelah penataran P4 selama seminggu, pelajaran segera dimulai. Saat itu Bu Rifka Roteng (dari suku Toraja) wali kelas kami mengatur bangku. Aku kebagian duduk di bangku paling depan bareng Christophel Mandessy (suku Ambon). Memang aturan duduknya laki-perempuan. Jadi semua anak duduknya begitu.
Christophel ini anaknya juga mungil. Wajar banget jika ditaruh di bangku paling depan bareng saya, sesama mungil. Dia juga bukan tipe anak yang rajin belajar. Jadi kalau ada ulangan biasanya saya kasih contekan 😀. Kasihan kalau ngga dikasih contekan biasanya nilainya ancur.😀
Salah satu trik saya agar diterima oleh teman-teman memang sering ngasih contekan kalau ulangan. Apalagi kalau ulangan Bahasa Inggris. Lembar jawaban saya muter di kelas. Sampai guru Bahasa Inggris menyuruh saya keluar duluan.
Mom Tjitjih Soniarsih (suku Sunda) paham betul kelakuan saya yg usil. Kalau ulangan Bahasa Inggris, dia justru memantau saya. Jika saya sudah selesai mengerjakan, maka lembar jawaban diambil dan saya disuruh keluar duluan. Biar lembar jawaban tidak muter di kelas 😀.
Saya memang tidak pelit dengan lembar jawaban ulangan. Entah ulangan harian ataupun ulangan semester. Sebuah cara untuk mengambil hati teman-teman sekelas. Karena saya paham bahwa saya pendatang baru dan logatnya aneh.
Alhamdulillah saat itu teman-teman kelas bisa menerima saya. Jika ada kesulitan memahami pelajaran, biasanya mereka mendatangi meja saya. Dan dengan senang hati saya akan menjelaskan.
Saya ingat benar ada anak Papua asli, namanya Rosiana. Suatu ketika dia membawakan mangga hasil kebunnya. Mangganya kecil tapi sangat manis. Entah mangga jenis apa. Dia memberikan mangga saat istirahat. Ucapan terima kasih karena telah diajari PR matematika.
Teman-teman kelas saya terdiri dari berbagai suku. Dan disana saya memahami tentang logat-logat yang berbeda. Ada logat Bugis yang selalu diakhiri dengan kata mi. Logat Papua yang sering banget pake akhiran kah. Juga logat Batak yang sering ada kosakata Bah. Biasanya saya diam di kelas memperhatikan mereka berbicara. Dan termenung mempelajarinya.
(fb, 21/7/2022)