[PORTAL-ISLAM.ID] Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) tak masuk dalam Daftar Terduga Terorisme atau Organisasi Terorisme (DTTOT).
Sehingga pemerintah dan aparat penegak hukum perlu melakukan serangkaian kajian dan pengumpulan bukti-bukti yang kuat untuk dapat memproses lembaga itu atas dugaan tindak pidana terorisme.
"Data yang disampaikan PPATK kepada BNPT dan Densus 88 tentang kasus ACT merupakan data intelijen terkait transaksi yang mencurigakan sehingga memerlukan kajian dan pendalaman lebih lanjut untuk memastikan keterkaitan dengan pendanaan terorisme," kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Ahmad Nurwakhid kepada wartawan, Selasa (5/7/2022), dilansir dari CNNIndonesia.
Menurutnya, BNPT dan Densus 88 Antiteror Polri bekerja dengan didasari pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Sehingga, kata dia, jika aktivitas keuangan yang terendus itu berkaitan langsung dengan terorisme maka aparat penegak hukum akan mengambil tindakan.
"Jika tidak, maka dikoordinasikan aparat penegak hukum terkait tindak pidana lainnya," jelasnya.
Oleh sebab itu, BNPT meminta agar masyarakat lebih berhati-hati ketika akan memberikan sumbangan kemanusiaan.
Ia menyarankan agar masyarakat memilih kanal-kanal resmi yang disediakan oleh pemerintah. Sehingga penyaluran bantuan dapat sesuai dengan apa yang ditujukan.
"Belajar dari kasus ACT ini, BNPT menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk untuk menyalurkan donasi, infaq dan sedekah kepada lembaga yang resmi dan kredibel yang telah direkomendasikan oleh pemerintah," ucap dia.
PPATK sebelumnya mengklaim menemukan indikasi adanya transaksi yang diduga berkaitan dengan aktivitas terorisme oleh lembaga ACT. PPATK telah menyerahkan hasil pemeriksaan transaksi ACT ke beberapa lembaga aparat penegak hukum, seperti Densus 88 Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk dilakukan pendalaman lebih lanjut.
Presiden ACT Ibnu Khajar lantas membantah bahwa pihaknya terlibat dalam pendanaan terorisme sebagaimana disampaikan PPATK. Ia mengaku heran mengenai tuduhan tersebut. Menurutnya, ACT selama ini sering mengundang beberapa kementerian dan lembaga dalam pelaksanaan sejumlah program filantropinya.
“Kami sebetulnya bingung, kami diundang, kami datang. Di tiap program kami selalu mengundang entitas seperti gubernur, menteri juga selalu datang. Terakhir itu distribusi bantuan pangan dilakukan di depan Mabes TNI, kami kerja sama dengan Pangdam Jaya,” kata Presiden ACT Ibnu Khajar dalam konferensi pers di Kantor ACT, Menara 165, Jakarta Selatan, pada Senin, 4 Juli 2022.
Ibnu mengakui memang ada bantuan yang dikirimkan ke Suriah, namun bantuan itu dikirimkan untuk korban perang di sana.
“Bantuan ke Suriah itu kan ditanya, apakah ACT mengirimkan untuk pemerintah yang Syiah atau pemberontak yang ISIS? Kami sampaikan, untuk kemanusiaan itu tidak boleh bertanya kepada siapa yang kami bantu? Agamanya apa enggak penting. Kami berikan bantuan, mereka (pengungsi) Syiah atau ISIS, karena mereka korban perang. Jadi kalau dibawa kemana-mana, kami jadi bingung. Dana yang disebut untuk teroris itu dana yang mana? Kami tidak pernah berurusan dengan teroris,” ujarnya.
Sementara, pengamat internasional Pizaro Gozali mengatakan kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) memasuki babak baru dengan dibelokkan pada kasus terorisme oleh para pendukung Bashar Al Assad. Indikasinya adalah mulai ramai cuitan twitter yang mengaitkan lembaga bantuan kemanusiaan ini mendukung perang di Suriah.
“Masyarakat harus waspada isu ACT ini dibelokkan para pendukung Bashar Assad untuk menutupi pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Suriah kepada warganya. Indikasinya terlihat jelas bagaimana pendukung Bashar Assad memanfaatkan isu ini di media sosial,“ ujar dosen hubungan internasional Universitas Al-Azhar Jakarta ini kepada hidayatullah.com, Senin (4/7/2022).
Padahal menurutnya, bantuan kemanusiaan ke Suriah itu sudah menjadi isu global. Bahkan UNICEF dan WHO juga ikut memberikan bantuan kemanusiaan karena buruknya situasi kemanusiaan di Suriah akibat perang.
“Meski kasus kekerasan terhadap warga sipil Suriah masih terus dilakukan rezim Bashar Assad, namun fakta-fakta ini enggan diungkap mereka untuk menutupi wajah kebengisan rezim Bashar al Assad. Secara tidak sadar kita digiring untuk tutup mata atas tindakan yang dikakukan Assad,” kata alumni S2 Universitas Paramadina dengan judul tesis ‘Negosiasi Konflik Turki-Rusia dalam Menyelesaikan Krisis Suriah: Studi Kasus Zona De-eskalasi di Idlib’ ini.
[Video - ACT Bantah PPATK: Kita Tak Pernah Ada Bantuan ke Teroris]
ACT Bantah PPATK: Kita Tak Pernah Ada Bantuan ke Teroris https://t.co/JVWXDAuLJQ pic.twitter.com/00Q8X6j4YW
— Boss (@BosTemlen) July 5, 2022