Agustinus: Antara Kasus Yayasan ACT & Yayasan Bisnis PCR Yang Menyeret Nama Erick dan Luhut

Oleh: Agustinus Edy Kristianto

Pada akhirnya orang ramai bicara tentang pentingnya tata kelola yang baik perihal pengelolaan dana publik, menyusul liputan Majalah TEMPO tentang Yayasan ACT. Beberapa kenalan menanyakan pendapat saya tentang heboh liputan itu.

Tidak ada yang berubah dari sikap saya berkaitan dengan prinsip tata kelola yang baik dan penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap siapapun. Bagi saya, perkara ACT adalah sama dengan serangkaian perkara lain yang sering saya tulis, yang pada intinya berkisar tentang Governance dan Keadilan. 

Kasus ACT tidak bisa dikaitkan dengan identitas atau keyakinan religius tertentu (yayasan dibentuk bukan atas kepentingan berbasis SARA tapi merupakan kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan sosial dan kemanusiaan). Jangan sampai pula dibesarkan karena ada motif menghantam lawan politik. 

Kembali ke inti tadi tentang tata kelola dan akuntabilitas, yang secara teknis yuridis berkaitan dengan pemeriksaan terhadap organ Yayasan sesuai peraturan perundang-undangan.

Saya baca Kompendium Hukum Yayasan yang diterbitkan Badan Pembinaan Hukum Nasional/BPHN (2012). Di situ dijelaskan mengenai aspek pidana berkaitan dengan pengelolaan yayasan. Mengenai kontraprestasi berupa gaji, upah, dan honor diatur bahwa itu diperbolehkan sepanjang pengelola bukan pendiri, bukan pihak terafiliasi, dan ia melakukan kepengurusan secara penuh. Hal itu bisa diatur dalam anggaran dasar, yang besarnya sesuai kondisi kekayaan yayasan, dan bukan merupakan bagian yang dibagikan secara langsung dan penuh.

Pemeriksaan terhadap yayasan diajukan terhadap yayasan yang diduga melakukan perbuatan yang kurang atau tidak baik, yaitu organnya (pembina, pengawas, pengurus), melakukan perbuatan melanggar hukum, lalai dalam menjalankan tugasnya, perbuatannya merugikan yayasan atau pihak ketiga, atau melakukan perbuatan yang merugikan negara. 

Pemeriksaan dilakukan berdasarkan Penetapan pengadilan. Ia mirip dengan pemeriksaan terhadap korporasi untuk mengungkap tabir atau cadar perseroan (piercing corporate veil) khususnya terhadap manajemen/pengelola suatu entitas hukum. Pihak ketiga yang mewakili kepentingan umum dapat mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan untuk penetapan pemeriksaan terhadap yayasan. 

Jadi, diskusi produktif seharusnya mengarah ke sana: bagaimana aturan hukum ditegakkan oleh penegak hukum secara adil dan transparan. Berlaku terhadap siapapun juga. 

Dengan demikian, heboh ACT ini menjadi momentum penting untuk bersih-bersih sekaligus etalase bagi Negara/Pemerintah untuk menunjukkan kewibawaan penegakan hukum yang setara dan adil. 

Saya contohkan apa yang saya permasalahkan dahulu mengenai yayasan-yayasan yang menjadi pemegang saham PT GSI dan menjalankan usaha bisnis PCR. 

Waktu itu saya persoalkan posisi Menteri BUMN Erick Thohir (Ketua Pelaksana Komite Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) dan Menko Marives Luhut Binsar Pandjaitan (Wakil Ketua). Sebab, dalam jabatannya, keduanya mengetahui, berwenang, dan memiliki akses, serta terlibat dalam pembentukan kebijakan Covid-19 dan PEN, termasuk kebijakan tentang PCR.

Yayasan Adaro—-bersama Yayasan Indika dan Yayasan Northstar—-adalah pemegang saham PT GSI. Begitu juga PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) yang 10% sahamnya digenggam LBP, mengendalikan PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtra yang merupakan pemegang saham PT GSI.

Masalahnya adalah ET merupakan adik Boy Thohir, pemilik Adaro, yang juga pemilik PT GSI.

Perlu dilakukan pemeriksaan juga terhadap yang bersangkutan berkaitan dengan konflik kepentingan dan kemungkinan keadaan bahwa hal itu menguntungkan orang/korporasi tertentu. Hitungan rupiah potensi keuntungannya sudah pernah saya beberkan.

Kira-kira begitu gambaran perlakuan sama di muka hukumnya. Jangan hanya karena barang itu milik penguasa maka pemeriksaan tak perlu dilakukan dan hanya cukup dengan siaran pers bahwa itu bukan bisnis melainkan kewirausahaan sosial.

Dengan begitu, kita mengajarkan dua hal penting kepada generasi masa depan: 

(1) siapa saja yang mengelola dana publik jangan melakukan moral hazard melainkan harus menerapkan tata kelola yang baik dan akuntabel; 

(2) jangan hanya karena Anda kebetulan sedang berkuasa maka hukum bisa dikangkangi dan diterabas. Penguasa tidak kebal hukum!

Saya setuju dan mendorong siapa saja anggota masyarakat yang berkepentingan untuk menjadi PIHAK KETIGA yang mewakili kepentingan umum untuk mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan untuk pemeriksaan yayasan-yayasan dimaksud: ACT, Adaro dan sebagainya.

Datangi advokat atau Lembaga Bantuan Hukum untuk berkonsultasi tentang langkah hukum tersebut.

Itu jauh lebih baik ketimbang melayani debat tentang agama/keyakinan dan dukungan politik tertentu di balik suatu isu tentang Governance.

Fokus, fokus, fokus pada esensi masalah… 

Jangan mau diadu domba. 

Salam.

06/07/2022

(fb penulis)


Baca juga :