RENDANG BABI: SOAL ADAB ATAU IDENTITAS?
Oleh: Tarli Nugraha
Di Indonesia, mereka yang sering dicap sebagai kelompok “intoleran”, serta mereka yang sering mendaku dirinya sebagai golongan “toleran”, sebenarnya sama-sama gampang marah.
Bedanya, yang pertama marahnya adalah terhadap hal-hal yang menyinggung identitas.
Sementara, mereka yang merasa dirinya toleran, gampang sekali marah jika kelompok pertama sedang marah-marah, tanpa sedikitpun berusaha memahami kenapa kelompok pertama itu bisa terpancing amarahnya.
Jadi, pada banyak titik, keduanya sebenarnya bisa disebut sama-sama pemarah.
Saya bukan orang Minang, atau orang Padang, sehingga tidak memiliki ketersinggungan sebagaimana yang mereka miliki terkait viralnya warung makan Padang non-halal di Jakarta Utara itu. Namun, meskipun demikian, saya bisa memahami kenapa mereka cukup tersinggung dengan adanya isu itu.
Ada dua saya kira sumber ketersinggungan masyarakat Minang terhadap usaha warung makan Padang non-halal yang viral itu.
Pertama, soal identitas.
Saya sepakat, (bahan) makanan memang tidak punya agama. Tetapi ketika ada orang menggunakan label “warung Minang non-halal”, atau “warung Padang non-halal”, urusannya pertama-tama bukanlah soal makanan, melainkan soal identitas yang sudah punya pakem dan tidak bisa didekonstruksi begitu saja.
Secara historis, sosiologis, dan antropologis, tidak perlu diperdebatkan lagi jika orang dan budaya Minang sangat identik dengan Islam.
“Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” sudah menjadi diktum masyarakat Minangkabau.
Sehingga, jika ada orang yang tiba-tiba nyelonong begitu saja menggunakan label Minang dan melekatkannya pada hal-hal non-halal, sekali lagi ini bukan soal “makanan tidak punya agama”, melainkan menyangkut isu identitas yang sensitif.
Kedua, soal adab bermasyarakat.
Kalau kita bicara kultur Indonesia secara umum, yang bersifat pluri baik secara etnik maupun agama, penjualan produk daging non-halal sebenarnya memang tidak pernah vulgar. Baik di restoran bonafid, maupun di warung kelas kaki lima, penjualan produk olahan daging-daging non-halal selalu disamarkan, atau menggunakan kode-kode atau istilah khusus.
Contohnya, daging babi disebut sebagai “B2”, dan daging anjing disebut “B1”. Ini bukan hanya terjadi di wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya muslim, tapi juga di wilayah yang secara demografis mayoritas penduduknya non-muslim. Di Minahasa dan Manado, misalnya, daging anjing biasanya disebut “RW”, singkatan dari “rintek wuuk”, bahasa Manado yang berarti “bulu halus”. Kata “B1” sendiri, ada yang menyebut berasal dari kata “biang”, yang dalam bahasa Batak berarti anjing.
Jadi, entah sejak kapan, yang jelas masyarakat kita sejak lama telah menjunjung adab untuk selalu menggunakan “eufimisme”, atau penyamaran, terhadap makanan-makanan yang tidak bisa diterima oleh semua kalangan sebagai bentuk sopan santun.
Itu sebabnya di beberapa kota di Jawa, seperti Solo atau Yogya, misalnya, orang menyebut sate daging anjing dengan sebutan “sate jamu”, atau menyebut tongseng daging anjing dengan nama “sengsu”, singkatan dari “tongseng asu”, yang dalam bahasa Jawa berarti tongseng anjing.
Sehingga, jika ada yang berani melabrak fatsoen tersebut, tanpa melibatkan isu agama atau identitas sekalipun, ada persoalan etika yang terlanggar di dalamnya.
Jadi, sebelum marah-marah kepada orang Minang yang tersinggung, sebaiknya kita belajar memahami kenapa mereka merasa tersinggung.
Bukankah kalau ada tetangga sedang bersengketa, kita seharusnya mengajak mereka berdialog, dan bukannya ikut marah-marah?!
(fb)