Tawaran Koalisi untuk Hapus Polarisasi
Jokowi menginginkan pasangan calon presiden yang bisa mengurangi polarisasi masyarakat. Usulan mengawinkan sejumlah nama kandidat bermunculan. Komitmen elite politik dan partai politik diragukan bisa menyetop politik identitas.
Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya mengurangi polarisasi dalam penentuan koalisi partai politik menuju Pemilihan Umum 2024. Menurut dia, polarisasi imbas persaingan Pemilu 2014 dan 2019 masih dirasakan masyarakat.
“Tadinya saya kira akan selesai setelah saya memasukkan Pak Prabowo dan Pak Sandi ke dalam pemerintahan,” kata Jokowi ketika berbincang dengan para pemimpin media massa di bakal lokasi Istana Kepresidenan, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu, 22 Juni 2022.
Kemarin, ketika ditanya ihwal cara untuk mengurangi polarisasi, Jokowi menjawabnya, antara lain, dengan mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Saya menerima usulan untuk memasangkan Mbak Puan dan Pak Anies. Tapi apakah bisa benar mengurangi polarisasi?” kata Jokowi. “Saya juga menerima usulan Pak Anies dipasangkan dengan Pak Ganjar sebagai bentuk rekonsiliasi. Ada juga yang usul Pak Prabowo dengan Pak Muhaimin.”
Jokowi terkekeh ketika menyebutkan formasi pasangan yang terakhir.
Pengurus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) belakangan memang terus menggaungkan ketua umum mereka, Muhaimin Iskandar. PKB dan Gerindra dikabarkan telah bersepakat membangun koalisi setelah Muhaimin bertemu dengan Prabowo, Sabtu, 18 Juni lalu. Sejauh ini, hasil survei elektabilitas sejumlah lembaga riset menempatkan Muhaimin jauh di bawah tiga tokoh dengan tingkat keterpilihan tertinggi, seperti Prabowo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Adapun Puan Maharani, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, kemarin juga hadir di lokasi proyek ibu kota negara. Mengenakan setelan hitam, Puan terus mendampingi Jokowi sejak meninggalkan Jakarta.
Menurut Jokowi, Puan diundang dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR. Tapi dia tak mengelak jika ajakan itu dianggap sebagai usaha untuk meningkatkan popularitas putri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tersebut. “Kalau dianggap untuk meningkatkan popularitas, ya, bener juga,” kata Jokowi.
Puan sesekali menimpali omongan Jokowi yang duduk di sebelahnya. “Jadi, saya tidak harus pindah segera, kan?” ujar Puan. Sesaat sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono baru saja memaparkan tentang urutan waktu pembangunan gedung lembaga negara di ibu kota baru.
Jokowi kemudian menjawabnya, “Silakan Mbak Puan ditanya, mau pindah gedung DPR atau Istana.” Matanya mengerjap sambil tertawa-tawa.
Ketika jurnalis menanyakan apakah ia harus menjadi calon presiden, bukan wakil presiden, Puan menyahut, “Harus, dong. Kami partai terbesar, harus percaya diri.”
Ketua Bidang Pemerintahan, Pertahanan, dan Keamanan Dewan Pimpinan Pusat PDIP ini juga sepakat bahwa pemilu seharusnya menjadi ajang untuk mempersatukan, bukan memecah belah bangsa.
Komitmen Elite Politik Diragukan
Selain koalisi partai politik, menurut Jokowi, upaya menekan terjadinya polarisasi bisa dilakukan lewat Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Penyelenggara pemilu dapat membuat peraturan berisi sanksi, jika perlu berupa ancaman diskualifikasi, bagi kandidat dan pendukungnya yang berkampanye menggunakan isu berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Aturan itu juga perlu dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas.
Jokowi mengakui kampanye SARA bisa dilakukan siapa saja, tidak melulu oleh tim resmi.
“Karena itu, calon tidak boleh mendiamkan. Apalagi mendorong terjadinya polarisasi,” kata Jokowi.
Namun inilah yang dipandang oleh pengamat politik, Hurriyah, sebagai akar permasalahan tingginya polarisasi politik di tengah masyarakat.
Menurut dia, kegagalan elite politik membangun kampanye programatik telah menyuburkan politik identitas dalam pemilu.
“Politikus dan partai politik justru mengandalkan politik identitas untuk meraup dukungan serta menjaga sentimen dan loyalitas pemilih,” kata Hurriyah yang juga Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia itu.
Menurut Hurriyah, kesepakatan politik mengenai ambang batas pencalonan presiden, yang disahkan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum, merupakan kondisi yang memungkinkan bagi menguatnya politik identitas.
“Karena ruang kompetisi dipersempit,” ujarnya. “Selama regulasi tak diubah, perilaku partai politik dan politikus tidak berubah, politisasi identitas tetap berpotensi digunakan kembali.”
Hurriyah ragu elit politik benar-benar punya niat untuk meredam polarisasi di tengah pemilu.
“Sekarang saja isu radikalisme mulai dimainkan lagi oleh buzzer di media sosial,” kata dia.
Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, juga ragu campur-tangan Jokowi dalam penentuan bakal calon pasangan presiden dan wakil presiden bakal mampu menghilangkan polarisasi pemilih dalam Pemilu 2024. Selain karena ketatnya kompetisi antarcalon dalam pemilu mendatang, polarisasi sulit diredam lantaran perkubuan pada dua pemilu sebelumnya telah membekas kuat di tengah masyarakat.
Gara-gara itu, langkah Presiden Joko Widodo memasukkan Prabowo ke dalam kabinetnya sampai hari ini juga tak berdampak signifikan mencegah polarisasi. “Di satu sisi upaya itu justru dianggap strategi Presiden untuk memperkuat posisinya,” kata Arya, Head of the Department of Politics and Social Change CSIS.
Senada dengan Hurriyah, Arya menilai banyaknya kepentingan dalam pemilu juga bisa semakin membelah masyarakat. “Ada tim sukses, buzzer juga bekerja,” ujarnya.
Arya memandang ikhtiar menyandingkan calon yang berbeda basis massa bisa saja menjadi upaya untuk mengurangi potensi munculnya polarisasi di tingkat pemilih yang dipicu oleh preferensi agama. Namun, dia mengingatkan, “Medium penyebaran politik identitas amat luas saat ini dan sulit dikontrol. Jadi, yang dibutuhkan adalah komitmen politik calon presiden dan partai pendukungnya," kata Arya.
Sulitnya mencegah munculnya polarisasi pemilih dalam Pemilu 2024 menjadi perhatian Kepolisian RI. Bekerja sama dengan KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum, Polri berencana membentuk Satuan Tugas Nusantara untuk mencegah politik identitas, berita bohong, dan ujaran kebencian yang marak dalam Pemilu 2019.
(Sumber: Koran TEMPO, Kamis 23-06-2022)