Mengusut Investasi Rp 6,3 Triliun Telkomsel-GOTO
Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Hingga status ini diunggah, saya belum melihat berita respons pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun aparat penegak hukum seperti KPK, Kejagung, atau kepolisian yang berinisiatif mengusut perkara investasi Telkomsel di GOTO senilai Rp6,3 triliun.
Tapi, kita tak perlu heran. Bila menyangkut dugaan keterlibatan pejabat atas sekelas Menteri BUMN---apalagi ia adalah Ketua Tim Kampanye Jokowi---hambatan politis tentu ada.
Belum lagi masih melekat kuat kesan yang intinya jika orang berada mengambil sesuatu dari orang biasa, itu namanya bisnis; jika orang biasa menggugatnya balik dari orang berada, itu dinamakan pemberontakan/gangguan stabilitas, iri bin sakit hati.
Tapi saya akan terus mengajukan bukti atas klaim saya terhadap investasi 'bau amis' itu. Memberikan paparan yang menunjukkan cara saya membangun teori kasus. Misalnya, korupsi.
Saya ambil pendapat Chandra Hamzah---mantan Komisioner KPK yang juga Co-Founder Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP)---mengenai tindak pidana korupsi. Menurutnya, ada 3 kelompok yang menjadi konstruksi tipikor (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor): perbuatan, sarana, dan akibat.
"Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi" masuk kelompok perbuatan. "Secara melawan hukum" masuk kelompok sarana. "Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" masuk kelompok akibat.
Begini pendapatnya: "Secara tata urutan memang unsur 'secara melawan hukum' terletak di depan. Tapi bukan berarti itu yang mesti dicari terlebih dahulu,. Memulai dari unsur melawan hukum itu KELIRU BESAR, tapi MULAI dari perbuatan yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi."
Agaknya pendapat bagus dari Chandra Hamzah itu bisa menjadi acuan Komisaris Telkom yang juga Ketua Komite Audit Telkom Bono Daru Adji. Sebab, bagaimanapun juga, Telkom adalah pengendali Telkomsel, yang melakukan investasi Rp6,3 triliun di GOTO. Apalagi, Bono adalah Managing Partner Kantor Hukum AHP.
👉Berpekan-pekan, sudah berbusa-busa kita menyuarakan betapa telanjang hubungan afiliasi dan potensi benturan kepentingan dalam kasus ini.
Hubungan afiliasi pertama berdasarkan hubungan kekeluargaan antara Menteri BUMN Erick Thohir dan Garibaldi (Boy) Thohir, kakaknya, sebagai Komisaris Utama dan pemegang saham GOTO.
Hubungan afiliasi kedua adalah kesamaan posisi anggota dewan komisaris, dalam hal ini Wishnutama Kusubandio, sebagai Komisaris Utama Telkomsel sekaligus Komisaris GOTO.
Sementara itu benturan kepentingan dibuktikan dengan dugaan kuat adanya pihak-pihak yang diuntungkan/memperoleh manfaat dari Rp6,3 triliun itu, yakni para pemegang saham lama GOTO yang mendapat pembayaran atas buyback saham sebesar Rp1,7 triliun.
👉Kini kita bisa menukik lebih dalam lagi. Apakah keuntungan/manfaat yang didapat oleh Boy Thohir?
Apakah masyarakat bisa percaya begitu saja narasi tetangga sebelah yang seenaknya berkata tidak ada kaitan antara transaksi itu dengan Boy Thohir?
Apa sebodoh itu kita menelan mentah-mentah bahwasannya Boy Thohir tidak memperoleh manfaat apapun?
Sebagai Komisaris Utama, posisi Boy strategis sekali karena berkaitan dengan pengawasan direksi dan persetujuan aksi korporasi perusahaan.
Banyak perusahaan melakukan IPO tapi tidak semuanya kita soroti. Kasus GOTO layak disorot karena ia berkaitan dengan aspek governance dan melibatkan penyelenggara negara (Menteri BUMN).
👉Saya bantah dulu alasan yang mengatakan bahwa Menteri BUMN tidak selalu mewakili negara sebagai pemegang saham NKRI di BUMN Telkom. Bisa jadi juga Menteri Keuangan!
Tidak. Catatan Biro Administrasi Efek BEI terbaru per 10 April 2022 menunjukkan pemegang saham pengendali Telkom adalah Negara Republik Indonesia dengan kepemilikan 51,6 miliar lembar saham atau setara 52,091%. Negara Republik Indonesia beralamat di KEMENTERIAN BUMN, Jl. Medan Merdeka Selatan No. 13, Jakarta 10110. Dalam Risalah RUPS Telkom tanggal 27 Mei 2022, tercatat keterangan bahwa hadir dalam RUPS melalui video telekonferensi adalah pemegang/kuasa pemegang saham Seri A Dwiwarna (Negara Republik Indonesia). RUPS 27 Mei 2022 itu salah satu agendanya adalah pengesahan laporan keuangan Telkom tahun 2021, yang mana kita tahu semua bahwa di dalamnya terdapat transaksi Rp6,3 triliun tersebut.
Saat ini berarti kita bisa berpegang pada fakta Menteri BUMN adalah sebagai pemegang saham Negara Republik Indonesia di Telkom (Persero) sampai ada yang menyatakan secara resmi bahwa Menteri Keuangan atau pihak lain yang mewakili Negara Republik Indonesia.
👉Berarti sangat masuk akal dan beralasan bagi masyarakat untuk mempersoalkan transaksi Rp6,3 triliun itu mengingat posisi afiliasi Menteri BUMN dan kakaknya di GOTO.
Bagi saya, Boy Thohir jelas memperoleh manfaat/keuntungan. Ada pihak lain yang memperkaya dia melalui transaksi tersebut atau setidak-tidaknya berhubungan erat dengan peristiwa investasi Rp6,3 triliun oleh Telkomsel di GOTO.
Bisa dilihat pada perubahan Akta GOTO No. 71 tanggal 15 September 2021, yang menyebutkan: "Pemegang saham telah menyetujui, antara lain, MENGAKUI dan MENYETUJUI pengalihan 3.961 Saham Seri D yang merupakan bagian dari saham treasuri kepada Garibaldi Thohir... "
Fakta itu mengubah status Boy Thohir di GOTO yang sebelumnya hanya sebagai Presiden Komisaris lantas berubah menjadi Presiden Komisaris sekaligus pemegang saham GOTO. Selanjutnya setelah dilakukan stock split, jumlah lembar saham milik Boy Thohir itu berubah menjadi sebanyak 1.054.287.487 lembar (hingga saat ini).
Akta itu dibuat hanya 3 bulan setelah Akta No. 82 tanggal 21 Mei 2021, yang menerangkan adanya penerbitan sejumlah 89.125 Saham Seri P baru yang diambil bagian oleh Telkomsel, yang kita tahu bahwa duit Rp6,3 triliun telah dikeluarkan untuk itu.
Saham adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan. Ia memiliki nilai uang/material. Saham treasuri adalah saham yang diperoleh perusahaan dari hasil pembelian kembali (buyback).
Pertanyaannya, atas dasar apa Boy Thohir mendapatkan 'rezeki' berupa pengalihan saham treasuri itu?
Apa 'prestasi' pribadinya (mengingat yang disebutkan mendapatkan pengalihan saham hanya Boy seorang, bukan dewan komisaris seluruhnya)?
Mengapa ia, tidak seperti Telkomsel/investor lain yang "mengambil bagian' dari saham, dalam arti sederhana mengeluarkan uang untuk memperoleh jumlah saham tertentu?
Pengalihan saham treasuri untuk pengurus perseroan adalah hal wajar. Misalnya yang terjadi di BTPN Syariah pada Januari 2021, ketika pengalihan 2,5 juta saham dilakukan untuk direksi dalam rangka remunerasi. Saham yang dialihkan itu adalah saham treasuri dari hasil buyback sejak 2019.
👉Tapi untuk Boy Thohir kasusnya berbeda. Sangat bisa ditelusuri oleh otoritas atau penegak hukum sebagai pintu masuk terjadinya peristiwa pidana. Sebab, bisa jadi, pengalihan saham itu adalah 'hadiah' atas kontribusi yang bersangkutan mengegolkan investasi Rp6,3 triliun Telkomsel, yang merupakan perusahaan terkendali Telkom yang saat ini diwakili oleh adiknya selaku Menteri BUMN sebagai pemegang saham Negara Republik Indonesia. Sementara itu duit Rp6,3 triliun dari Telkomsel---yang jumlahnya melebihi setoran modal tunai disetor seluruh investor GOTO yang cuma Rp1,14 triliun tetapi hanya dihargai 3% saham---itu sangat signifikan bagi buku dan operasional GOTO.
Sesimpel itu masalahnya, tapi mengapa penegak hukum dan otoritas diam saja? Masuk angin atau takut?
Secara politik dan birokrasi, tak ada alasan juga bagi Presiden Jokowi untuk cuek terhadap dugaan skandal yang berhubungan erat dengan pembantunya, Menteri BUMN Erick Thohir. Apalagi---seperti biasa, Presiden yang satu ini falsafahnya adalah jarkoni (iso ujar ra iso ngelakoni)---ucapannya manis sekali ketika peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni lalu. "Presiden mengingatkan para pemimpin di berbagai sektor dan tingkatan agar MENJADI TELADAN dalam mengaktualisasi nilai Pancasila. Sebab Pancasila adalah BINTANG PENUNTUN." (Kompas, 2 Juni 2022).
Maksudnya teladan korupsi, kolusi, dan nepotisme?
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)
*fb penulis 2/6/2022