Kontroversi Film The Lady of Heaven
Film The Lady of Heaven menceritakan Fatimah, putri Nabi Muhammad, sebagai korban terorisme di masa awal perkembangan Islam. Dianggap sebagai bentuk penistaan agama.
Hanya empat hari film The Lady of Heaven hadir di Cineworld, jaringan bioskop besar di Inggris. Selasa pekan lalu, pengelola menarik penayangan gambar hidup berdurasi 2 jam 21 menit tersebut.
Musababnya, gelombang protes mengalir deras di depan bioskop-bioskop Cineworld di Bradford, Bolton, Birmingham, dan Sheffield. Pengunjuk rasa menuding The Lady of Heaven menghina Islam, tepatnya anak perempuan Nabi Muhammad, Fatimah.
Film yang berbiaya 12 juta pound sterling atau sekitar Rp 216 miliar itu dianggap melekatkan Islam dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
The Lady of Heaven dibuka dengan invasi ISIS di Irak, lengkap dengan gambaran kekejian serdadu membantai orang-orang yang tak sejalan dengan mereka. Kepada anak yang menjadi yatim piatu akibat serangan ISIS tersebut diceritakan soal terorisme. Korban terorisme Islam pertama, menurut film itu, adalah Fatimah putri Nabi Muhammad.
Sepanjang film, wajah Fatimah tak ditampakkan. Wajah pemerannya, Albane Courtois, aktris sekaligus model Inggris berusia 30 tahun, selalu ditutup cadar hitam.
Para pedemo menyebut The Lady of Heaven menyakiti umat Islam. Sebab, film tersebut tak menceritakan kisah sesuai dengan sejarah Islam. Ada juga dugaan kesengajaan mengaitkan Islam dengan kekerasan dan terorisme.
Para pedemo menuding film tersebut menjelekkan istri Nabi Muhammad, Aisyah. Abu Bakar dan Umar bin Khattab, sahabat terdekat Nabi sekaligus dua khalifah awal Islam, digambarkan sebagai penipu dan orang yang licik. Gelombang penolakan menjalar ke luar Inggris, termasuk Maroko, Mesir, Pakistan, Iran, dan Irak--meski The Lady of Heaven belum sampai ke negara-negara tersebut.
Selain tuduhan penistaan agama, sejumlah media Inggris menyebut The Lady of Heaven bisa menghasut untuk menimbulkan kebencian antara Sunni dan Syiah, dua aliran besar di Islam.
Film ini ditulis oleh cendekiawan Syiah yang berbasis di London, Syekh Yasser Al Habib.
Al Habib adalah tokoh kontroversial. Pria kelahiran Al Mirqab, Kuwait, pada 1979 itu pernah menyebut Aisyah sebagai musuh Tuhan. Dia juga pernah dipenjara di Kuwait pada 2003 dan dicabut kewarganegaraannya. Setelah dibebaskan, ia mengungsi ke Irak dan Iran sebelum mendapat suaka di Inggris pada 2005.
Selain di media sosial, Al Habib memproduksi berita khusus Syiah di televisi dan surat kabar yang menyasar pembaca global. Dia juga telah menerbitkan serangkaian buku yang menunjuk tokoh-tokoh Islam, seperti Abu Bakar dan Aisyah, sebagai cikal bakal terorisme modern.
Meski merepresentasikan kelompok Syiah, para ulama Iran--basis utama Syiah--menganggap Al Habib sebagai orang yang berbahaya. Sebab, pemikirannya bisa menyulut konflik besar antara Sunni dan Syiah.
Perwakilan komunitas Islam Sunni di Inggris menyatakan punya alasan kuat untuk mencurigai agenda tersembunyi Al Habib saat menulis untuk film The Lady of Heaven. Imam masjid terkemuka di London Barat, Imam Numaan, menyebut Al Habib punya rekam jejak buruk yang panjang. "Kami beranggapan kebebasan berbicara itu penting, tapi ada batasnya. Film ini dibuat oleh kelompok radikal Syiah, jadi sudah sepatutnya tidak ditayangkan," kata Numaan.
Produser eksekutif The Lady of Heaven, Malik Shlibak, membantah tuduhan penistaan agama, juga adu domba Sunni dan Syiah. Shlibak sejak awal menyadari karyanya terkait dengan tokoh Islam--agama yang dianut dua miliar jiwa. Dia mengklaim tidak bermaksud menyinggung mereka.
Shlibak kecewa dengan keputusan Cineworld menyudahi penayangan The Lady of Heaven. Dia mengatakan menerima sejumlah ancaman pembunuhan setelah film itu beredar. Namun dia mengaku tak takut. "Karena saya sudah lima tahun terlibat proyek semacam ini," ujarnya.
Di lain pihak, keputusan Cineworld mencabut The Lady of Heaven disesalkan. Sebab, film merupakan karya seni dan media menuangkan kebebasan berpendapat.
Menteri Kesehatan Inggris Sajid Javid mengkritik Cineworld yang membatalkan penayangan sinema itu dengan alasan keamanan penonton dan staf. Praktik itu, dia melanjutkan, merusak iklim kebebasan berekspresi. "Anda mungkin tidak menyukai apa yang mereka katakan, tapi mereka juga punya hak untuk mengatakannya," kata pria muslim keturunan Pakistan itu.
Javid menegaskan tidak ada undang-undang penistaan agama di Inggris. Sebaliknya, yang ada adalah kebebasan berbicara dan berekspresi. "Dan itu adalah nilai fundamental," ujarnya.
Kisruh The Lady of Heaven membuat pemerintah Inggris memecat imam muslim, Qari Asim, dari jabatan penasihat pemerintah untuk urusan Islamofobia. Asim dianggap ikut memancing gelombang protes dan penolakan sinema itu.
Surat pemecatan dilayangkan Sabtu pekan lalu.
"Keterlibatannya dalam kampanye untuk membatasi kebebasan berekspresi tak sesuai dengan perannya sebagai penasihat pemerintah," demikian pernyataan dalam surat pemecatannya tersebut.
(Sumber: Koran Tempo, 14/6/2022)