𝐊𝐞𝐤𝐮𝐫𝐚𝐧𝐠𝐚𝐤𝐮𝐫𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐫𝐣𝐞𝐦𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐒𝐲𝐚𝐡𝐚𝐝𝐚𝐭𝐚𝐢𝐧
Oleh: Ustadz Arsyad Syahrial
Tahu Rukun Islām yang ke-1 kan, yaitu: Syahadatain…?
Iya, Syahadatain:
"اَشْهَدُ اَنْ لَّا اِلَهَ اِلَّا ٱللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدً اعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ"
Coba, biasanya anda tahunya diterjemahkan bagaimana…?
Umumnya diterjemahkan sebagai: "Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allōh, dan saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allōh"… demikian, bukan?
Coba lihat kalau dalam Bahasa Inggris, Syahadatain di atas itu diterjemahkan sebagai: "I bear witness that no deity is worthy of worship but Allōh, the One alone without partner, and I bear witness that Muhammad is His servant and His Messenger".
Perhatikan, beda banget ya antara terjemahan Syahadat versi Bahasa Indonesia dengan versi Bahasa Inggris?
Itu memang karena terbatasnya Bahasa Indonesia tersebut…
Apa kekurangannya terjemahan Indonesia itu…?
Kekurangakuratan penerjemahan itu mengakibatkan banyak dari kaum Muslimīn di Indonesia yang jadi salah dalam memahaminya, bahkan oleh sebagian penda‘wah dari agama lain kekurangakuratan itu malah dimanipulasi untuk menanamkan syubhāt di kepala sebagian dari kaum Muslimīn…
Seharusnya, Syahadatain "اَشْهَدُ اَنْ لَّا اِلَهَ اِلَّا اَللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدً اعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ" itu diterjemahkan:
"Saya sunguh-sungguh bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan / sesembahan) yang berhak untuk di‘ibādahi dengan benar selain dari Allōh, yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan saya sungguh-sungguh bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba Allōh dan utusan pembawa risalah dari Allōh."
Karena kalau tidak, maka akan terjadi kesalahan fatal:
⑴. Apabila "saya sungguh-sungguh bersaksi" diganti hanya dengan "bersaksi", padahal "asyhadu an" itu artinya ya seperti di dalam Bahasa Inggris, "I bear witness", atau sungguh-sungguh berikrar. Sangat berbeda jauh antara "sungguh-sungguh bersaksi" (berikrar) itu dengan hanya sekadar "bersaksi".
⑵. Jika diterjemahkan hanya "tiada tuhan selain dari Allōh", padahal seharusnya adalah "tiada ilah (sesembahan) yang berhak di‘ibādahi dengan benar selain dari Allōh yang Maha Esa dan tiada serikat bagi-Nya". Maka di sini ada 2 kesalahan fatal, yaitu:
⒜. Tiada tuhan selain Allōh ﷻ itu artinya bisa jadi bahwa semua tuhan-tuhan itu apapun juga namanya, maka ia adalah "Allōh". Sehingga bisa berarti tuhan-tuhan bāthil lain yang diaku oleh pemeluk agama lain yang namanya bermacam-macam itu adalah "Allōh" juga.
⒝. Tiada tuhan selain Allōh itu akan dibantah oleh pemeluk agama lain dengan: "enak saja, ada kok tuhan-tuhan yang lain selain dari Allōh-nya orang Islām itu!"
Paham kan kenapa harus terjemahannya itu harus benar-benar tepat?
Karena jika seseorang telah sungguh-sungguh bersaksi (berikrar) bahwa tiada ilah yang berhak di‘ibādahi dengan benar selain dari Allōh yang Maha Esa yang tiada serikat bagi-Nya, sedangkan tuhan-tuhan yang lain selain dari Allōh adalah tidak benar (bāthil). Jadi pernyataannya itu sudah sangat jelas dan tak perlu klarifikasi lanjutan.
Syahadat "اَشْهَدُ اَنْ لَّا اِلَهَ اِلَّا اَللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ" itu adalah ikrar keislāman, keīmānan, dan keikhlāshan di dalam hidup.
Berikutnya, syahadat "اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدً اعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ" jika hanya diterjemahkan sebagai hanya sebagai "aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allōh", maka kesalahannya adalah:
(3). Utusan itu tak perlu 100% dita'ati. Sangat berbeda dengan ketika dipersaksikan dengan sungguh-sungguh (ikrar) bahwa Muhammad ﷺ adalah pembawa risalah (messenger) yang membawa suatu risalah (petunjuk) yang harus dita'ati dan diikuti.
Jadi seorang Muslim / Muslimah yang telah berikrar bahwa Muhammad ﷺ itu adalah hamba Allōh ﷻ, pembawa risalah dari Allōh ﷻ, maka berarti ia telah berikrar bahwa tidak akan meng‘ibādahi Allōh ﷻ selain dengan apa-apa yang telah disampaikan / ditunjukkan / diajarkan oleh Muhammad ﷺ. Itulah makna syahadat kedua, yaitu ikrar untuk ber-ittiba’ kepada Baginda Nabī Muhammad ﷺ.
Syahadatain itu adalah ikrar seseorang untuk berserah diri kepada Allōh ﷻ (berislam), berīmān kepada ketauhīdan Allōh (secara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wash-shifat), dan mengikhlāshkan hidup dan matinya untuk Allōh ﷻ semata, kemudian untuk tidak meng‘ibādahi Allōh ﷻ selain dengan apa-apa yang diajarkan oleh Baginda Nabī Muhammad ﷺ.