Jangan Beri Mahar Alat Shalat
Oleh: Ustadz Muhammad Nursalim
Alqur’an bicara tentang mahar itu seperti ini....
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآَتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
"Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya." [QS An-Nisa: 20]
Para mufassir sepakat bahwa qinthar (harta yang banyak) pada ayat itu adalah mahar yang diberikan saat seorang laki-laki menikahi calon istrinya.
Terkait dengan ayat ini, Ibnu Katsir memberi penjelasan dengan kisah Umar bin Khatab saat menjadi Amirul Mukminin (Khalifah). Ia naik ke mimbar seraya berpidato, bahwa janganlah para wanita itu dalam meminta mahar berlebihan, karena Rasulullah tidak pernah memberi mahar kepada istri-istrinya melebihi 12 uqiyah. Demikian pula putri beliau tidak menerima mahar lebih dari itu.
Satu uqiyah itu sama dengan 31,7 gram emas. Maka bila 12 uqiyah berarti 380,4 gram. Jika dirupiahkan dengan harga emas hari ini di mana satu gram Rp 872.000 maka 12 uqiyah itu sama dengan Rp 331.708.800 (300 juta rupiah).
Pada riwayat lain Umar membatasi mahar itu 400 dirham. Satu dirham sama dengan Rp. 73.000. Maka 400 dirham berarti Rp. 29.200.000 (29 juta rupiah).
Masih menurut Ibnu Katsir. Pidato Umar itu diprotes oleh emak-emak dari Quraisy. “Wahai Amirul Mukminin, anda membatasi mahar untuk para wanita padahal Allah telah menurunkan ayat 20 surat An-Nisa.
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآَتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
"Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya."
Logika ayat tersebut sangat menarik. Larangan meminta kembali mahar yang telah diberikan seorang laki-laki kepada calon istrinya. Pertanyaannya, Mengapa mahar yang telah diberikan ingin kembali diambil?
Pasti karena mahar tersebut sangat berharga. Saking banyaknya. Tidak mungkin kalau hanya alat sholat mantan suami ingin mengambil kembali. Untuk apa pula, sajadah dan mukena bekas diminta kembali 😀
Larangan Umar dengan membatasi mahar hanya 12 uqiyah atau 400 dirham nilainya sudah cukup besar. Padahal angka segitu masih diprotes oleh emak-emak. Karena memang Allah secara tersurat bercerita tentang mahar itu dengan kata qinthar yang maknanya harta yang sangat banyak.
Begitulah, tradisi mahar di zaman Nabi dan budaya Arab hari ini. Untuk ukuran orang Jawa itu mahal. Muhammad sebelum menjadi Nabi memberi mahar kepada Khadijah 20 ekor unta. Jika satu ekor unta seharga Rp. 50 juta berarti mahar beliau kepada istri pertamanya itu senilai 1 Milyar.
Walaupun begitu Nabi dalam sejumlah hadis menganjurkan kepada para wanita agar tidak membebani calon suami dengan mahar yang mahal. Sebagaimana sabda berikut:
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ
Umar bin Khatab berkata, Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-sebaik nikah adalah yang paling mudah." (HR. Abu Dawud)
Pada redaksi yang berbeda yang diriwayatkan Ahmad dari Aisyah ra. Rasulullah saw bersabda, “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya”. (HR. Ahmad)
Bahkan dalam sebuah hadis Nabi pernah menyebut, bahwa mahar itu agar diberikan walaupun hanya sebuah cincin dari besi.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أَتَتِ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ « مَا لِى فِى النِّسَاءِ مِنْ حَاجَةٍ » . فَقَالَ رَجُلٌ زَوِّجْنِيهَا . قَالَ « أَعْطِهَا ثَوْبًا » . قَالَ لاَ أَجِدُ . قَالَ « أَعْطِهَا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ » . فَاعْتَلَّ لَهُ . فَقَالَ « مَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ » . قَالَ كَذَا وَكَذَا . قَالَ « فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
Dari Sahl bin Sa’id ra berkata, ada seorang wanita mendatangi Nabi saw lalu berkata, bahwa dirinya telah menyerahkan kepada Allah dan RasulNya. Nabi bersabda, “aku tidak berminat”. Kemudian seorang laki-laki meminta agar wanita itu dinikahkan dengan dirinya. Nabi bersabda, "berilah ia mahar baju”. Laki-laki itu berkata, “saya tidak punya”. Nabi kembali bersabda, “berilah mahar meski hanya cincin dari besi”. Maka kemudian ia membawa untuknya. Nabi bersabda, “apa kamu hafal sebagian alqur’an ?”. Laki-laki itu menjawab, “begini begini”. Nabi bersabda, “Aku nikahkan wanita itu dengan kamu dengan mahar Alqur’an”. (Hr. Bukhari)
Yang perlu dimengerti dari hadis ini adalah bahwa pernikahan dengan mahar cincin dari besi itu pada akhirnya tidak terjadi, karena nabi menikahkan dua mempelai tersebut dengan mahar bacaan Alqur’an.
Pada hadis qauli Nabi menganjurkan mahar itu ringan tetapi pada hadis fi'li (prakteknya) nabi sendiri memberi mahar yang cukup kepada para istrinya, demikian pula putri-putri Nabi dinikahi para sahabat dengan mahar yang cukup.
Alqur’an, hadis maupun kitab-kitab fikih tidak ada yang menceritakan tentang mahar alat shalat. Ini adalah khas budaya muslim Indonesia khususnya jawa. Walaupun pernikahan dengan mahar alat shalat itu sah akan tetapi tidak sejalan dengan semangat Alqur’an dalam pemberian mahar.
Semangat Alqur’an dalam soal mahar adalah ingin mengkayakan wanita, dengan istilah qinthar yang maknanya adalah harta yang banyak. Ada juga ayat yang secara tidak langsung memerintahkan bahwa mahar itu tidak hanya sekedarnya. Seperti ayat berikut:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا [النساء/4]
"Wahai kaum mukmin, berinkanlah mahar kepada wanita-wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian yang menyenangkan. Jika para istri dengan sukarela memberikan sebagian mahar itu kepada kalian makanlah harta itu dengan senang hati." [QS An-Nisa: 4]
Kata nihlah pada ayat tersebut berkedudukan sebagai maf’ul li ajlih. Yaitu kata untuk menjawab, “untuk apa” suatu perbuatan dilakukan. Nah, dengan memakai teori ilmu nahwu ini maka bisa ditimbang-timbang oleh laki-laki saat memilih mahar, bahkan bisa pula ditanyakan kepada calon istri. Mahar apa yang dapat menyenangkan wanita itu.
Kira-kira lebih menyenangkan mana, uang lima juta di banding dengan alat sholat. Emas batangan 10 gram dibandingkan dengan alat sholat. Atau mobil Inova reborn dibandingkan dengan alat sholat. Bila mahar tidak menjadikan istri senang berarti tujuan dari pemberian mahar tidak tercapai.
Bahkan pada ayat tersebut, ada kalimat “Jika para istri dengan sukarela memberikan sebagian mahar itu kepada kalian makanlah harta itu dengan senang hati”.
Kenapa ada kalimat seperti ini?
Tentu karena memang maharnya itu harta yang cukup, sehingga memungkinkan istri bersedekah kepada suaminya. Jika hanya alat sholat tidak mungkin seorang istri memberikan sebagian mahar yang telah diberikan suami kepadanya. Lagian, sajadah dan mukena tidak bisa dimakan 😁
Mulai sekarang please, para laki-laki jangan memberi mahar alat sholat kepada calon istrinya. Itu terlalu murah dan tidak sesuai dengan semangat alqur’an.
Wallahu’alam.
(fb)