Di awal musim dingin yang datang lebih cepat, para petinggi Cina berdiskusi di ruang luas berwarna merah yang didominasi potret raksasa Mao Zedong, pendiri rezim komunis Cina. Di sana ada pejabat intelijen, urusan luar negeri, ekonomi, media, pakar ASEAN, dan pakar Indonesia. Tapi ruang terasa sepi seperti hutan belantara.
Lalu, Presiden Xi Bopeng memecahkan kesunyian. “Apakah hasil pilpres Indonesia akan melestarikan status quo? Satu per satu para pejabat itu mengemukakan pendapat dengan hati-hati. Intinya, kepentingan Cina di Indonesia belum aman.
“Kalau Anies Baswedan memenangkan pertarungan, pendulum politik Indonesia akan berayun lebih ke tengah. Bahkan, landscape politik Indo-Pasifik akan berubah,” kata pakar ASEAN.
Mereka beranggapan, Anies akan meninjau ulang deal-deal bisnis bidang infrastruktur dan pertambangan Indonesia-Cina — yang oleh pakar Indonesia dianggap tidak fair — sebagaimana dulu dilakukan PM Malaysia Mahathir Mohamad.
“Dia itu nasionalis tulen, sekaligus cendekiawan ekonomi dan politik yang cerdik. Tidak mudah menghadapi dia. Lagi pula, populeritas Cina di sana merosot tajam belakangan ini akibat ketidakarifan kita memperlakukan bangsa yang sepanjang sejarahnya terdapat banyak simpul gerakan anti-Cina,” kata pakar Indonesia.
Mereka juga membahas kemungkinan berubahnya landscape politik Indo-Pasifik bila Anies memimpin Indonesia. Pembahasan dari perspektif Indonesia berjalan begini: Dari sisi geopolitik, mestinya Indonesia dengan perbedaan budaya, sejarah, dan besaran ekonomi dibanding dengan bangsa ASEAN lain berperan sebagai game changer di kawasan untuk sebesar-besar keuntungan bangsa.
Faktanya, Jakarta tak memainkan peran yang seharusnya di tengah persaingan kita bersama Rusia versus AS-sekutu di kawasan. Penyebabnya, presiden Indonesia tak punya visi tentang Indo-Pasifik. Akibatnya, kementerian luar negerinya tak punya pedoman yang otoritatif dalam menjalankan politik regional, terutama dalam hubungan dengan kita, sehingga politik luar negerinya terasa mandul.
Menterinya lebih memilih main aman. Maka kita, juga lawan kita, terpaksa mengabaikan Jakarta. “Memang aneh, negeri yang begitu besar tak memahami dirinya sendiri, apalagi memahami lingkungannya,” kata pakar Indonesia.
Bahkan, posisinya sebagai big brother ASEAN pun tergerus. Kita sudah mulai menyingkirkan peran Jakarta. Lihat, ketika krisis Myanmar kian suram, yang mengganggu keamanan, ekonomi, dan kinerja ASEAN, Indonesia hanya jadi penonton setelah sedikit usaha. Peran kita di sana justru lebih menentukan.
Kini, bisa dikata Myanmar telah menjadi “milik” kita setelah Kamboja. Dengan demikian, konsep sentralitas ASEAN di Indo-Pasifik yang dikembangkan Indonesia kehilangan makna karena, mau tak mau, Jakarta harus beradaptasi dengan kehendak kita. Ternyata mudah saja menelikung ASEAN. Sebentar lagi, berkat kemampuan ekonomi, politik, dan militer kita, cepat atau lambat seluruh ASEAN akan jatuh ke lingkungan pengaruh (sphere of influence) kita.
Untuk itu, kita harus secepatnya taklukan Indonesia lebih dulu. Kalau berhasil, teori domino akan berlaku: satu demi satu bangsa ASEAN akan luruh. Untuk tujuan itu, kita harus lebih agresif mengobral investasi mumpung rezim di sana menjadikan investasi asing sebagai sokoguru pembangunan ekonominya. Utang juga harus kita berikan sebanyak yang mereka minta.
Kalau kita berhasil menjerat Indonesia dengan utang (debt trap), klaim kita atas Laut Natuna Utara bisa jadi tak mendapat resistensi berarti. Sekarang saja Jakarta segan bermasalah dengan kita. Padahal, bargaining position mereka vis a vis kita cukup besar. “Bukankah kita akan sangat rugi bila harus juga berkonflik dengan Indonesia ketika kita butuh teman strategis menghadapi musuh?” kata pejabat urusan luar negeri.
Kita tahu, dalam menghentikan upaya ekspansi kita di Laut Cina Selatan, AS-Inggris-Australia membentuk aliansi militer bernama Quad. AS juga, bersama Jepang, Australia, dan India membentuk AUKUS. Mereka bilang, tujuan Quad dan AUKUS adalah menjaga LCS dan Indo-Pasifik tetap menjadi kawasan bebas navigasi dan inklusif. Namun, sesungguhnya mereka hendak membatasi lebensraum (living space) kita, yang sangat kita butuh dalam menjaga momentum perkembangan kita menjadi adidaya tunggal.
Pandangan AS dan sekutunya sebenarnya sejalan dengan visi Indonesia tentang sentralitas ASEAN di Indo-Pasifik. Namun, ASEAN punya jalan sendiri yang tidak konfrontatif menghadapi kita. Akibat ASEAN Way ini, dalam pembentukan Quad maupun AUKUS, Indonesia tidak dimintai pendapatnya. “Padahal, negeri ini beresiko besar bila terjadi konflik militer terbuka antara kita dan AS-sekutu,” kata pejabat militer. Kita harus bantu Rusia agar bisa memenangkan perang Ukraina karena dengan demikian rencana kita menduduki Taiwan dengan bantuan Rusia akan mudah terlaksana. Kemenangan mudah kita di Taiwan akan menggentarkan ASEAN, khususnya Indonesia, untuk berpikir seribu kali kalau mau menghalangi kehendak kita.
Mungkin sekali musuh kita telah menghubungi Jakarta untuk ikut serta dalam aliansi-aliansi itu mengingat posisi geografisnya yang sangat strategis. Namun, Jakarta menolak. Hal ini bisa difahami karena Indonesia tak mau terlihat berseberangan dengan kita.
Musuh kita hanya mau menarik ASEAN ke dalam kerja sama militer. Tentu saja ini pikiran yang bodoh. Seharusnya mereka membanjiri ASEAN dengan duit sebagaimana yang kita lakukan. Itu pun belum tentu mereka mendapatkan hasil maksimal karena mustahil ASEAN yang lemah bersedia bermusuhan dengan negara raksasa seperti kita, yang kemajuannya akan membuat ASEAN kecipratan rezeki.
Namun, keadaan akan berubah bila Anies memimpin Indonesia. “Apakah dia akan mengambil sikap anti-Cina? Apakah dia akan mengutak-atik masalah Muslim Uighur?” Tanya presiden Xi Bopeng. “Tentu saja tidak. Anies seorang yang sangat rasional, yang pandai mengubah kelemahan menjadi kekuatan,” kata ketua intelijen yang mendapat laporan dari Jakarta. Pakar Indonesia menambahkan, “Terlalu besar ruang yang dapat ia eksploitasi untuk menguatkan posisi bangsanya menghadapi kita. Dia adalah figur internasional yang punya jalinan pertemanan dengan institusi-institusi bergengsi di seluruh dunia. Ini karena pemikiran dan komitmen demokrasi dan HAM yang mendapat simpati luas.”
Mengingat ada keluhan rakyat Indonesia tentang kerja sama ekonomi dengan kita, yang dianggap terlalu menguntungkan kita, sangat mungkin Anies akan meninjau kembali. Dulu, dengan sangat berani dia menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta yang didukung penguasa karena merugikan banyak pihak.
Dia sangat mahir mengangkat martabat orang, kelompok, atau entitas, sebagaimana dia lakukan atas Kota Jakarta dan masyarakatnya. Gagasannya sambung menyambung secara tidak terduga dan selalu mempesona. “Anies seperti kepiting, kita akan selalu tidak tahu ke mana ia akan bergerak kalau disentuh. Orang seperti ini tidak mudah kita kalahkan,” kata pakar Indonesia.
“Besarnya dukungan yang dia peroleh dari musuh kita akan meningkatkan bargaining position Indonesia. Mungkin kita harus melepaskan klaim kita atas Laut Natuna Utara untuk meneguhkan pertemanan kita dengan Indonesia,” kata pejabat urusan luar negeri. Kita juga terpaksa harus bersedia berunding ulang dengan dia mengenai konsesi-konsesi tambang dan proyek infrastruktur karena desakannya untuk itu akan sangat populer. Dan kita tak dapat menekannya secara ekonomi karena mudah saja dia mengganti posisi kita dengan negara lain.
“Ingat, tambang-tambang nikel di berbagai daerah di Indonesia yang telah kita kuasai juga diminati banyak negara. Bukankah nikel, bahan utama baterei, adalah komoditas masa depan ketika dunia berkokitmen segera meninggalkan bahan bakar fosil? Kata pejabat ekonomi.
Menurutnya, Anies akan mengeksploitasi ketidakadilan dalam perjanjian-perjanjian investasi yang banyak menyerap tenaga kerja kita, padahal pengangguran di negeri itu cukup tinggi.
“Mengenai Uighur?”. Menurut pejabat urusan luar negeri, kita memang punya teman ormas Islam terbesar di sana yang mungkin akan membentengi posisi kita di sana. Toh juga, dunia Islam mendiamkannya. Jadi, mestinya ruang Anies untuk bermanuver terkait itu ini terbatas. Namun, pemimpin ormas besar itu telah berganti yang mungkin akan mengambil jarak dengan kita demi mengakomodasi aspirasi AS dan sekutu. Juga untuk memainkan peran pengimbang di antara ormas lain dalam negeri yang kritis terhadap kita.
Dan, sekali lagi, kita tak dapat memperkirakan langkah apa yang akan diambil Anies. Yang jelas, kalau dia terpilih, narasi Islamfobia yang dipakai pendahulunya untuk membungkam lawan akan dihentikan. Dan landscape Islam di Indonesia juga akan berubah.
“Tentu saja dia bukan seorang Islamis yang mempromosikan politik Islam. Andai saja dia melakukan itu, pemerintahannya langsung kolaps,” kata ketua intelijen. Yang akan dilakukan Anies adalah mempersatukan bangsa yang terbelah. Untuk itu, kaum Muslim konservatif yang selama ini ditindas akan dikemvalikankan hak-haknya yang sama dengan warga negara lain. Ini konsekuensi dari komitmennya yang kuat pada pluralisme, demokrasi, dan HAM, serta demi konsolidasi sumber daya bangsa yang sangat dibutuhkan untuk melangkah maju.
Dengan demikian, mungkin saja Anies akan memadukan energi Islam dan nasionalisme sekuler, yang sesungguhnya merupakan jati diri bangsa, yang dapat dikapitalisasi untuk menjadikan Indonesia sebagai game changer di kawasan. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Australia, India, dan AS beserta sekutunya sudah lama menginginkan Indonesia menjadi salah satu pemain utama yang mengubah permainan, paling tidak mengubah perilaku kita.
Posisi Indonesia memang unik, yang selama ini tak dapat dikapitalisasi secara maksimal oleh pemimpin Indonesia. Dengan posisi ini, kita khawatir Anies akan mendesakkan kepentingan-kepentingan bangsanya kepada kita, dengan konsesi terukur, yang akan sulit ditolak. Kita tak berharap Anies akan mengecam perlakuan kita terhadap Uighur karena dia pun ingin Indonesia mendapat manfaat dari kemajuan kita.
Tapi isu ini, yang oleh Komisi Tinggi HAM PBB dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, akan menjadi kerikil dalam penguatan hubungan kita dengan Indonesia. Alhasil, secara keseluruhan, hubungan kita dengan Indonesia tak akan sama lagi. Indonesia di bawah Anies akan tampil bertenaga sebagai bangsa pejuang yang bangga pada dirinya.
Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)