Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Banyak yang mengirimi saya tautan berita GOTO rugi Rp6 triliun berdasarkan Laporan Keuangan Triwulan I Tahun 2022 (akumulasi rugi Rp85 triliun).
Tapi saya berpikir ada sesuatu yang perlu diluruskan. Tak perlu fokus ke untung-rugi GOTO. Itu bukan pokok perkara kita. Buat apa membahas hal yang sudah jelas. Dalam Prospektus, GOTO telah deklarasi: "Perusahaan telah mencatatkan rugi bersih sejak didirikan dan perusahaan mungkin tidak dapat mencapai profitabilitas"
Bagi saya, GOTO akan terus (mungkin harus) merugi terus, dalam arti pendapatan operasional lebih sedikit dari beban. Rugi adalah bagian dari model bisnisnya. Sebab, cara mereka cari uang bukan seperti orang dagang pada umumnya. Kita musti berpikir selayaknya Venture Capitalist (VC) berpikir. Bahasa saya: model bisnis peternakan perusahaan dan balon tiup!
Ketimbang melihat angka untung-rugi, lihat jumlah entitas yang berada di bawah GOTO, yang saya hitung per laporan keuangan terakhir sebanyak 82 entitas, terdiri dari entitas yang dimiliki langsung (16), tidak langsung (54), dan lain-lain (12). Nanti saya jabarkan alasannya.
πMasalah utama kita adalah keterlibatan BUMN Telkom dan anak perusahaannya Telkomsel berupa suntikan duit investasi Rp6,3 triliun ke GOTO. Itu bermasalah karena ada afiliasi dan potensi benturan kepentingan berkaitan dengan posisi penyelenggara negara (Menteri BUMN Erick Thohir) dan Komisaris Utama sekaligus pemegang saham GOTO Garibaldi Thohir (kakaknya).
Secara ideologi dan prinsip perundang-undangan, itu menimbulkan persoalan lain. Apakah betul BUMN didirikan dengan tujuan berbisnis model VC begini? Padahal Pasal 2 ayat (1) huruf e UU BUMN berbunyi, "Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat."
❌Presiden Jokowi perlu melihat betapa jauh dan buruknya dampak akibat ocehan dia soal unicorn ketika kampanye lalu.
Tanyakan kepada pembantumu itu, Menteri BUMN, duit Rp6,3 triliun itu untuk pengusaha golongan ekonomi lemah atau para kapitalis karatan?
Katanya Nasionalis. Katanya Pancasilais. Katanya baik!
πGOTO adalah start-up. Model bisnisnya ditopang cara kerja VC. Mereka bukan mengembangkan bisnis yang ada seperti pada umumnya usaha untuk memperoleh laba dari usaha, melainkan dengan jual-beli perusahaan (melalui merger, akuisisi, konsolidasi).
Investor awal GOTO adalah venture capital. Namanya Openspace Ventures. Co-Foundernya bernama Hian Goh. Orang asing. Hingga saat ini pun 80% lebih saham GOTO dipegang orang/badan hukum asing.
VC itu mengelola dana pihak lain/prinsipal (institusi/individu kaya raya). Umur investasinya biasanya 10 tahun (GOTO baru 7 tahun). VC dapat annual fee 2% dari jumlah dana yang ditanam investor dan persentase tertentu ketika exit (misalnya IPO), bisa 20% atau lebih.
Mereka pelari sprint. Mainnya mau cepat, untung banyak. Tak perlu merintis usaha 50 tahun lebih seperti Kompas atau 136 tahun seperti Coca Cola. Bagaimana caranya?
1) aksi korporasi. Terus-menerus dilakukan aksi untuk menarik investor baru melalui right issue dsb (sekarang Telkomsel, lain kali mungkin BUMN lain); 2) kombinasi bisnis (merger, akuisisi dsb). Sebab, hanya dengan cara itulah mereka bisa melakukan valuasi terus menerus atas nilai saham mereka (balon tiup). Ada yang disebut agio saham, yakni selisih antara nilai jual dan beli suatu saham.
Standar Akuntasi yang dipakai PSAK 22 (kita tak bahas jauh, karena memusingkan).
Tak percaya? Lihat Keterbukaan Informasi GOTO di bursa. Kemarin (31 Mei 2022) saja terjadi 7 transaksi: PT Roda Bangun Selaras mengakuisisi PT Semangat Gerak Tangkas; PT Semangat Bambu Runcing mengakuisisi PT Semangat Empat Lima; PT Tokopedia mengakuisisi PT Jagad Inter Data; PT Dompet Karya Anak Bangsa setor modal tambahan ke PT Moka Teknologi Indonesia; dsb.
Intinya, apa yang mau dicapai adalah kesan bahwa ini perusahaan wah, asetnya banyak, valuasinya selangit, prospeknya menjanjikan, urat nadi perekonomian nasional. Jualan kecap.
Mereka mau bikin 1 + 2 = 4. Perusahaan A nilainya 1 ditambah perusahaan B nilainya 2 tidak sama dengan 3 karena ada nilai lebih (1). Ini yang disebut sinergi (makanya lihat saja Dirut Telkom ngomong 'konsisten' soal sinergi terus). Dengan metode yang namanya Purchase Price Allocation (PPA) untuk mengukur nilai wajar (dalam kasus GOTO, penilainya adalah PT Ernst and Young Indonesia). Itulah mengapa muncul aset yang namanya GOODWILL, selisih antara harga beli dan nilai total aset dan kewajiban.
Itulah kenapa di Prospektus GOTO ditulis total aset Rp148,2 triliun. Dua aset terbesar adalah Goodwill (Rp93,8 triliun) dan aset tak berwujud (merek, hubungan pelanggan, software) sebesar Rp13,5 triliun. Klaimnya, Goodwill itu berasal dari akuisisi Tokopedia. Dari sini saya berpikir simpel seperti seorang kurator berpikir. Kalau GOTO pailit, harta apa yang bisa diambil? Itulah mengapa, saya tak terlalu pedulikan hitungan aset GOTO. Yang konkret saja, gedung kantor bisakah diambil? Jangan-jangan mereka cuma sewa.
Saya tetap berpegang pada hitungan saya bahwa duit Telkomsel Rp6,3 triliun hanya dihargai 3% saham GOTO. Nilai perusahaan GOTO sudah naik 262 kali lipat ketika duit itu masuk. Pertanyaannya adalah memang GOTO punya apa dihargai segitu? Karena, pada 17 Mei 2021, ketika duit Telkomsel masuk, tercatat posisi terakhir modal disetornya cuma Rp800-an miliar (fresh money, duit yang benar-benar konkret).
Seorang kenalan menghubungi saya via WA soal ini, berkata bahwa hitungan saya kurang akurat. Menurut dia, seharusnya saya tidak hanya memasukkan modal disetor tapi juga tambahan modal disetor. (Per 31 Juli 2021 di Prospektus tercatat Rp179 triliun).
Ya, saya tahu arahnya. Mau heran, tapi ini start-up. Saya tetap pada hitungan ini, karena lebih menggambarkan duit riil yang masuk.
+ 89,125 Lembar porsi Telkomsel
/ 3,215,782 Total lembar saham GOTO per 31 Juli 2021
---------------
+ 0.03
* 100
---------------
+ 3 %
Berarti berapa harga per lembarnya?
+6,300,000,000,000 IDR
/ 89,125 Lembar
---------------
+ 70,687,237 IDR [Cocok dengan yang tercantum di Laporan Keuangan TLKM 2021 bahwa Telkomsel beli di harga US$5.049/saham]
Jika 3% adalah Rp6,3 triliun, berapa nilai 100% GOTO?
+6,300,000,000,000
* 100
---------------
+630,000,000,000,000
/ 3
---------------
+210,000,000,000,000 IDR
Berapa modal Gojek ketika itu dan berapa kali lipat kenaikan nilainya?
+210,000,000,000,000
/800,693,290,000 Modal disetor per Mei 2021
---------------
+ 262.27 kali lipat
Saya tidak mau berpusing-pusing hitungan GOTO. Tambahan modal disetor itu, menurut saya, bukan duit riil tapi berasal dari utak-atik valuasi dari aksi korporasi internal mereka sendiri. Lihat saja Laporan Keuangan GOTO terbaru (Maret 2022) mencantumkan tambahan modal disetor Rp225 triliun. Mana duitnya? Sementara modal disetornya cuma Rp1,14 triliun alias 18% dari duit Telkomsel Rp6,3 triliun.
Catatan di LK GOTO tentang akun "tambahan modal disetor" menyebutkan angka itu adalah selisih antara pembayaran aktual pemegang saham dengan nilai nominal saham; dampak nilai wajar atas akuisis entitas anak dsb (lihat lampiran). Artinya, gak ada duit riilnya. Cuma konsekuensi dari perhitungan valuasi karena aksi merger dsb oleh penilai yang mereka pilih sendiri. Gak konkret duit, kasarnya begitu. Yang justru konkret, fresh money, adalah duit Rp6,3 triliun Telkomsel. Diawali dengan status utang kemudian dianggap lunas karena telah dikonversi menjadi saham.
Kembali ke pokok, berarti masalahnya adalah: pada Mei 2021, ketika Menteri BUMN dijabat oleh Erick Thohir dan Komisaris Utama GOTO adalah kakaknya, Boy Thohir, Telkomsel keluar duit Rp6,3 triliun untuk berinvestasi di perusahaan yang sejak didirikan 6 tahun sebelumnya selalu dan tengah merugi akumulasi Rp65,2 triliun dan mungkin tidak bisa mencapai profitabilitas di masa depan; namun demikian, ketika Telkomsel masuk, nilai GOTO dihargai 262 kali lipat dari modal sesungguhnya, sehingga Rp6,3 triliun itu cuma setara 3%; yang mana sebagian dari dana itu sebesar Rp1,7 triliun dipakai untuk pembelian kembali (buyback) saham investor lama, yang artinya ada pihak yang diuntungkan. Titik.
Yang perlu ditindak oleh otoritas dan penegak hukum adalah menelusuri unsur pidana (nepotisme, afiliasi dan benturan kepentingan/ketentuan pasar modal, tipikor) dalam transaksi antara Telkomsel-GOTO; memeriksa para pihak untuk membuktikan perbuatan pidana (Menteri BUMN, Komut GOTO dll); menggali keterangan saksi; menyita dokumen, notulensi dsb.
Sebab, yang perlu kita garis tebal, duit Rp6,3 triliun dari BUMN itu seharusnya tidak sampai ke tangan para pemodal/VC GOTO (81% asing) untuk dikapitalisasi sebagai bagian dari strategi mereka ambil untung dari kenaikan nilai saham yang terjadi terus menerus seiring aksi korporasi mereka. Uang itu seharusnya untuk pengusaha golongan lemah, koperasi, dan masyarakat!
Jika kita tak ambil peduli dan Presiden Jokowi membatu begini, 3 tahun lagi (tepat ketika umur investasi GOTO 10 tahun), kita akan menghadapi masalah besar. Sementara VC melenggang karena sudah dapat 2% annual fee dari penggalangan dana + success fee dari IPO. Pemodal prinsipal dapat cuan besar dari kenaikan nilai perusahaan selama 10 tahun.
Telkomsel ditinggal sendirian dan menikmati harga saham yang anjlok karena ditinggal investor lain sehingga pilihannya top up atau Telkom menyisihkan laba terus-terusan untuk menutup kerugian karena Telkomsel terkonsolidasi Telkom. Menteri BUMN pensiun dan bersama kakaknya melanjutkan bisnis begini-beginian lagi, karena naif juga kalau dia bisa terpilih dalam Pemilu 2024. Founders GOTO kebingungan melanjutkan operasional karena suntikan kurang. Mitra ojol dan merchant gelagapan karena semakin dibebani berbagai biaya sebab GOTO butuh dana operasional agar tetap hidup. IHSG goyang karena terlanjur menempatkan bobot yang terlalu besar bagi GOTO dan memicu kepanikan.
Itu skenario terburuknya. Itu terjadi karena hulu masalahnya adalah lemahnya seorang pemimpin di hadapan ketua tim kampanyenya yang ia pilih sebagai Menteri BUMN dan terus ia pertahankan meskipun skandal begitu telanjang, tanpa ada proses hukum.
Diamnya Jokowi bukan emas. Diamnya Jokowi adalah bom waktu bagi Indonesia.
Berbahaya!
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)
*sumber: fb penulis