Tanah Melayu Yang Dirampas
Oleh: Ustadz Abrar Rifai
Singapura itu adalah tanah Melayu. Melayu itu adalah bangsa, yang jauh sudah ada sebelum negara ada. Melayu sudah ada sebelum ada Malaysia, Indonesia dan apalagi Singapura.
Bahwa sekarang Singapura dikuasai bukan oleh orang Melayu, itu adalah realitas politik yang semestinya tak boleh terjadi, jika orang Melayu mawas diri sejak semula.
Ustadz Abdul Shomad adalah orang Melayu, dilarang menginjak tanah Melayu oleh otoritas politik yang sekarang sedang menguasai tanah tersebut. Tentu ini adalah ironi!
Singapura negara seupil di seberang Johor tersebut memang belagunya gak ketulungan. Apa yang dialami UAS hanyalah satu cerita dari sekian banyak cerita serupa yang dialami oleh orang Melayu lainnya, termasuk juga orang Jawa.
Penampilan ala Melayu dan Jawa: bersarung, berkopiah dan dandanan kearifan Nusantara lainnya menjadi satu di antara yang kerap mendapat perhatian khusus dari petugas Imigrasi Singapura.
Entahlah, yang pasti banyak kawan di Malaysia yang mengingatkan saya, agar tidak bersarung dan berkoko ketika masuk Singapura.
Sampai sejauh ini, dari berkali-kali saya memasuki Singapura, baik lewat darat, laut dan udara, tak pernah mengalami kendala yang berarti. Sekedar ditanya-tanya, normatif aja. Mungkin karena saya ganteng. :)
Tapi pengalaman kawan-kawan, banyak di antara mereka yang harus masuk ruangan pemeriksaan khusus. Ditahan sekian lama dan termasuk juga akhirnya tak diijinkan masuk seperti UAS.
Biasanya imigrasi Singapura tak akan memberikan masuk orang-orang yang datang ke negara tersebut dicurigai akan bekerja, tapi tak didukung dokumen semestinya.
Termasuk juga yang berdalih melancong, tapi tak bisa memberikannya kepercayaan kepada petugas imigrasi, bahwa mereka punya uang yang cukup untuk melancong.
Yang sering banyak terjadi, para pekerja di Malaysia --biasanya PRT-- yang dibawa majikannya ke Singapura sekedar untuk memperbarui ijin tinggal. Ini jelas akan mengalami kesulitan. Baik saat masuk Singapura, ataupun ketika balik lagi ke Malaysia.
Walau penolakan Singapura bagi warga Indonesia untuk masuk negara tersebut sudah kerap terjadi, tapi apa yang dialami Ustadz Abdul Shomad jelas menjadikan perhatian tersendiri.
Sebab UAS adalah seorang pendakwah terkenal, tak hanya di Indonesia, tapi tentunya di Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam dan negara-negara berpenduduk Islam lainnya.
UAS adalah pendakwah yang tidak ada masalah secara ideologi dan seruannya. Ia beraqidah Ahlussunnah Waljamaah, sebagaimana yang dianut oleh mayoritas Islam di Nusantara --Indo, Malay, Berunai, Thailand dll--.
Ceramahnya pun selalu bicara ilmu dan panduan kebaikan bagi masyarakat. Tansah maringi pepadang bagi para jamaah yang menyesaki setiap tablighnya.
Hanya saja, UAS memang tidak disukai oleh rezim. Karena UAS tak mau diatur dan jua tak bisa ditundukkan.
Dari awal UAS memang selalu kontra dengan rezim ini. Bahkan ketika rezim ini sudah berhasil menaklukkan banyak gerakan dan berbagai tokoh, UAS tetap bergeming.
Kontra bukan berarti memusuhi. UAS hanya menyampaikan kepada ummat yang semestinya disampaikan. Bukan provokasi untuk memusuhi Pemerintah.
Tapi rezim ini menghendaki orang untuk ikut dan menyokongnya. Atau kalau tidak, sebaiknya para tokoh dan pendakwah diam, tidak usah ngomong tentang penyimpangan rezim.
Nah, UAS adalah satu di antara pendakwah yang tetap berdiri dengan kepala tegak. Izzah tetap digenggamnya. Saat banyak orang dengan suka rela atau terpaksa menyerahkan kepalanya untuk diinjak!
Maka saat UAS ditolak masuk Hongkong, ada banyak tudingan bahwa itu adalah pesanan dari Indonesia sendiri. Bukan dari negara yang bersangkutan.
Begitulah juga yang terjadi ketika UAS ditolak masuk Singapura. Pun, tak bisa dinafikan adanya pesanan pihak-pihak tertentu di Indonesia yang tidak menginginkan lelaki 45 tahun tersebut masuk Singapura, tanah Melayu yang sekarang dikuasai orang lain!
Pelajaran dari kejadian UAS, pelajaran dari Singapura dan banyak pelajaran kekalahan politik lainnya, kita harus banyak belajar.
Kita harus mawas, waspada terhadap semua manis muka orang lain, yang sepertinya baik, tapi hakekatnya bermaksud menerkam.
Datang dengan menunduk-nunduk, tapi bermaksud merampas tanah kita, kemudian menjadikan kita kacung. Sebagian lainnya mereka jadikan centeng-centeng jahat yang memusuhi bangsanya sendiri, demi memenuhi pesanan ndoro-ndoro mereka.
(*)