NU Kultural Wajib Ber-PKB, NU Struktural "Sakkarepmu!"

NU Kultural Wajib Ber-PKB, NU Struktural "Sakkarepmu!"

Oleh: KH Imam Jazuli Lc MA*

Sudah semakin jelas sikap Ketua Umum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf (GY) terhadap PKB, apalagi setelah pernyataannya viral, bahwa NU tidak akan menjadi alat politik partai manapun termasuk PKB. Sepintas, pernyataan ini nampak bijak, tetapi menurut penulis, kurang tepat.

Karenanya penulis berbeda pemikiran dengan GY tentang sikap tersebut, sehingga punya kesimpulan NU kultural (jamaah) wajib PKB dan NU struktural (jamiyah) sakkarepmu!. Ini beberapa alasan kenapa jamaah dan jamiah NU harus ber-PKB.

Pertama, ketika menyebut “NU”, terutama dalam hal politik, seringkali orang memisahkan dua hal: yaitu jamaah NU dan jamiyah NU. Padahal jika saja memahami dengan seksama Surat Tugas PBNU Nomor 925/A.II/03/6/1998 tanggal 27 Shofar 1419/22 Juni 1998. Maka kita akan mudah paham dan mengetahui alur berpikir para Kiai NU, kenapa jamiyah dan jamaah NU harus ber-PKB.

Jamaah NU adalah sebutan lain dari warga NU, atau sering juga disebut dengan nahdliyin (orang NU). Sedangkan jam'iyah NU adalah organisasi NU dengan segenap struktur kepengurusannya, norma-norma yang mengaturnya, termasuk cita-cita, visi, dan idealismenya.

Surat di atas sudah jelas dan terang benderang bahwa jamaah dan jamiah NU sudah seharusnya satu gerbong ber-PKB, dan tak ada alasan lain, bahwa struktural NU harus memisahkan diri dari PKB.

Jika alasannya adalah normatif, yaitu berlindung dibalik kedok khittah NU 1926, maka dengan hadirnya surat tersebut, resmi ada reinterpretasi. Berulangkali penulis menyampaikan bahwa khittah itu tepat pada masanya, yaitu 1984.

Kalau kita katakan NU kembali ke khittah dengan tafsir tidak terlibat secara aktif dalam politik, itu konteknya memang dahulu NU tidak punya partai. Wajar kalau NU hanya bicara politik kebangsaan. Tapi saat ini NU punya partai dan jelas partainya adalah PKB. Maka, kontekstualisasi khittah ini harus dilihat dengan keberadaan PKB.

Karena itu menjadi aneh jika struktural NU melepaskan kesadaran dan amanah ini sehingga penulis menyimpulkan "sakkarepmu!" Jika memilih di luar jalur yang berbeda dengan kultural (jamaah) NU.

Kedua, selama ini PKB bisa menjadi suatu kekuatan politik yang tangguh, dan benar-benar mengerti segala macam masalah yang dihadapi warga NU, memahami apa kebutuhan warga NU, dan mampu memperjuangkan aspirasi warga NU secara efektif. Itulah mandat dari NU untuk PKB. Mandat tersebut benar-benar sudah dijalankan.

Beberapa kontribusi PKB yang nyata terhadap NU di antaranya, Hari Santri Nasional, Undang-Undang Pesantren, Dana Abadi Pesantren, dan anggota-anggota dewan PKB secara nasional iuran bulanan membantu operasional dan program NU struktural (PCNU-PWNU), khususnya di daerah. Tidak ada partai lain yang melakukan lebih dari PKB.

Ketiga, bahwa nyata PKB memperjuangkan kepentingan warga NU, maka sudah semestinya PKB harus didukung, karena PKB bisa menjadi wadah aspirasi dan mampu memperjuangkan kepentingan-kepentingan warga NU secara efektif.

Keempat, NU merupakan organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. Namun, NU memiliki irisan dengan politik karena pernah menjadi partai dan ikut Pemilu tahun 1955 dan 1971. Tahun 1973 bergabung dengan PPP dan ikut Pemilu tahun 1977 dan 1987.

Kelima, sejatinya, NU tidak dapat terlepas dari politik. Karena politik merupakan perintah agama. Mengutip pernyataan Kiai Hasib Wahab Jombang, Islam dan politik ibarat dua mata uang logam. Meskipun dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Uang logam disebut uang dan bernilai jika keduanya ada. Begitu pula NU dan politik.

Keenam, karena begitu dekatnya hubungan NU dan politik, maka ketika reformasi bergulir tahun 1998, NU terseret (kembali) dalam kegiatan politik praktis dengan ikut serta mendirikan PKB. Saat mendirikan PKB 23 Juli 1998, Gus Dur masih aktif sebagai Ketua Umum PBNU. Demikian pula para kiai dan tokoh-tokoh berpengaruh seperti Kiai Ilyas Ruchiyat, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus), dan Kiai Muchit Muzadi.

Ketujuh, PKB merupakan partai yang didirikan oleh Gus Dur bersama kiai-kiai NU, sehingga hubungan keduanya layaknya orang tua dengan anak yang tetap terbangun dengan baik. Ini fakta sejarah, maka idealnya semua warga NU berada di PKB. 

Wallahu'alam Bishawab.

*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

(Sumber: Disway)
Baca juga :