Satu setengah periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo menghasilkan banyak persoalan pelik. Korupsi merajalela, ekonomi ambruk, hukum tebang pilih, rakyat terbelah, oligarki menguat, kemiskinan bertambah, utang melampaui nalar.
Reformasi menemui anti klimaks menyusul ambruknya demokrasi. Sementara itu sejumlah menteri hanyut dalam persiapan pemilihan presiden 2024. Rakyat semakin terabaikan. Situasi ini membuat mahasiswa tidak memiliki opsi lain selain kembali memekikkan aspirasi rakyat di jalan-jalan kota atau dari toa mobil komando.
Sekali lagi, mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat tergerak menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Narasi besar ini diusung dalam aksi-aksi yang diadakan beberapa hari terakhir, buah Konsolidasi Nasional Rakyat Indonesia yang digagas di Cibubur. Bersama buruh, petani, nelayan, akademisi, dan aktivis 98, mahasiswa menggelar demo pada 19 dan 20 Mei 2022.
Sebanyak 17 tuntutan rakyat disuarakan. Beberapa di antaranya menyoroti maraknya praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) di jajaran pemerintahan Presiden Joko Widodo, mahalnya harga kebutuhan pokok, pembatalan Undang-Undang (UU) Omnibus Law, UU Ibukota Negara Baru, Presiden tiga periode atau perpanjangan masa jabatan melalui penundaan Pemilu, dan lain-lain.
Suara mahasiswa tepat mewakili kegelisahan masyarakat. Maka tak heran bila tuntutan intelektual muda ini beririsan dengan pendapat Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Terhadap isu yang sama, khususnya terkait presiden tiga periode, perpanjangan masa jabatan, atau penundaan Pemilu, DPD juga menolak.
Penolakan ini saya bacakan pada Sidang Paripurna DPD RI 18 Mei 2022, dalam kapasitas sebagai anggota DPD dari Sulsel, sekaligus sebagai Ketua Kelompok DPD di MPR RI.
Aksi nasional 19-20 Mei juga mengangkat isu kesejahteraan guru Honorer. Para peserta aksi menuntut agar ribuan guru honorer diberikan haknya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka juga meminta agar rekrutmen guru dan pegawai honorer dilakukan secara transparan dan tidak berbau KKN.
Isu ini pun senada dengan keinginan DPD RI. Jauh sebelumnya, DPD telah mengirimkan 10 rekomendasi Panitia Khusus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer (Pansus GTKH) yang saya pimpin.
Salah satunya adalah mengangkat guru honorer berusia 40 tahun ke atas menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa melalui tes. Namun, hingga saat ini presiden belum merespon hasil kerja maraton selama 6 bulan Pansus GTKH tersebut.
Untungnya, mahasiswa dan elemen rakyat kembali mengangkat isu ini setelah tertimbun begitu banyak tumpukan persoalan bangsa. Itu menandakan bahwa fokus gerakan mahasiswa tepat mewakili problem rakyat.
Maka mereka harus didukung dan diberi ruang, agar demokrasi tetap tegak. Kita semua wajib menjaga nyala api reformasi.
Sayangnya, gerakan moral mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat sepi pemberitaan. Mungkin situasi ini tak lepas dari kepentingan politik pemilik media yang sebagian adalah pelaku politik juga. Atau mungkin ada tangan-tangan kekuasaan bermain di sana. Entahlah.
Yang jelas, berita yang disajikan tampaknya gagal mengangkat esensi tuntutan mahasiswa dan elemen rakyat. Padahal, justru inilah yang penting, agar menjadi cermin bagi pemerintah untuk berbenah. Yang ramai disorot justru aksi-aksi rusuh yang terjadi. Kita tahu, musabab rusuh dapat terjadi karena banyak faktor.
Ruang sunyi pemberitaan itu bukan pertanda mahasiswa jalan sendiri. Sejumlah guru besar dari berbagai universitas, dosen, tokoh masyarakat dan purnawirawan TNI mendukung gerakan moral mereka.
Elemen buruh dan emak-emak tidak ketinggalan. Mereka yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) menggelar aksi di depan Gedung DPR, 19 mei 2022.
Tuntutannya tidak tanggung-tanggung. Mereka mendesak Presiden Jokowi mundur dari jabatannya karena dinilai gagal mengelola negara. Tuntutan ini lahir dari akumulasi kekecewaan terhadap berbagai persoalan rakyat yang gagal diselesaikan.
Tuntutan Jokowi mundur bahkan menggema di kota asal Jokowi, Solo, Jawa tengah. Tuntutan ini disampaikan Aliansi Pemuda Indonesia saat melakukan aksi demonstrasi di Bundaran Gladag. Jokowi dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan bangsa.
Pemakzulan Presiden melalui jalur konstitusi memang dimungkinkan. Pun demikian dengan pemakzulan di luar jalur, yakni ekstra konstitusi. Sejarah pergantian pemimpin negeri ini menunjukkan kemungkinan itu ada.
Namun kita tentu tidak menghendaki situasi chaos. Sebagaimana seruan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, kita semua berkewajiban menjaga konstitusi, menjaga Pemerintahan Jokowi sampai 2024.
Namun, yang paling bisa menjaga semuanya adalah presiden sendiri, dengan menunjukkan kualitasnya menyelesaikan persoalan bangsa dan tuntutan rakyat. Kalau tidak, jangan salahkan rakyat bila terus meneriakkan agar presiden mundur.
Konon, sebelum ada tuntutan mundur dari masyarakat, Jokowi pernah berniat mundur. Bahkan sudah membuat surat pengunduran diri. Namun, Menteri koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta Jokowi membatalkan niat itu.
Artikel ini ditulis oleh Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI.