Gelombang dan arus besar ketidakpastian sebagai suatu negara bangsa, tak pernah surut dan memudar hingga kini. Terus menyeret sembari menggerus identitas dan karakter nasional. Semangat dan keyakinan Pancasila tenggelam di kedalaman lautan kapitalis yang global. Cita-cita proklamasi berbalut UUD 1945 dan NKRI, semakin hanyut dan perlahan lenyap ditelan kerak bumi nusantara.
Negara sudah lama merdeka, tapi maknanya tak pernah terasa dan menjadi fakta. Penjajah memang sempat hengkang, namun terlanjur suka dan kembali ingin terus berkuasa.
Pribumi bumiputera semakin terlena, menyambut hangat dengan perasaan suka dan bangga meski hidup sengsara dan menderita. Mencintai orang asing dengan jamuan sumber daya alam berlimpah, sembari membangun konflik memusuhi, melukai bahkan sanggup membunuh saudaranya sendiri.
Harta dan jabatan terus diburu menjadi kebutuhan utama. Keringat, air mata dan darah menjadi alat tukar yang murah laksana cinderamata.Persatuan dan kesatuan hanya sekedar kedok dari ambisi pribadi dan kelompok. Negara yang dibajak penguasa, telah lama hadir sebagai kekuatan baru kolonialisme dan imperialisme bagi rakyatnya sendiri.
Saat propaganda nasionalisme seiring sejalan dengan kokohnya oligarki dan maraknya KKN. Tak ada lagi patriotisme, yang ada hanya strategi liberalisasi dan sekulerisasi guna merampok negara dan penaklukan kesadaran sekaligus gerakan perlawanan.
Menjadi bangsa religius namun tanpa spiritual, menggandrungi agama tapi tak Bertuhan. Indonesia tercinta begitu komitmen dan konsisten, secara nasional berkonsensus ria menjaga kemunafikan bangsa.