Kisah Sultan Muhammad Alfatih melawan Dracula bukanlah fiksi, tidak pula berakhir dengan kekalahan Ottoman sebagaimana Barat mendistorsi sejarah kepahlawanan Islam ini dengan film Hollywood seperti “Dracula Untold Story”. Film 2014 itu menggambarkan Sultan Muhammad Al-Fatih sebagai sosok pemimpin otoriter yang akhirnya dikalahkan Dracula.
Muhd Nur Iman Ramli dalam bukunya berjudul Dracula vs Al-Fateh (2015) mencoba mendudukkan sejarah Kisah Sultan Muhammad Alfatih melawan Dracula dengan benar. Ia mengklaim karyanya itu sebagai fakta, berdasarkan kajian ilmiah.
Dracula adalah manusia bengis dan jahat yang akhirnya mati terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan Turki pimpinan Sultan Muhammad Al Fatih.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Desember 1476, di tepi Danau Snagov, Rumania. Kepala Dracula dipenggal, kemudian dibawa ke Konstantinopel untuk dipertunjukkan kepada rakyat Turki. Sedang badannya dikuburkan di Biara Snagov oleh para biarawan.
Lalu, siapa sejatinya Dracula itu? Drakula dalam banyak film digambarkan sebagai makhluk penghisap darah. Film yang dipertontonkan itu, hampir saja mengaburkan fakta sejarah yang sesungguhnya tentang sosok Dracula.
Nama aslinya Vlad Tepes (dibaca Tse-pesh). Dia lahir sekitar bulan Desember 1431 M di Benteng Sighisoara, Transylvania, Rumania. Ayahnya bernama Basarab (Vlad II) yang terkenal dengan sebutan Vlad Dracul, karena keanggotaannya dalam Orde Naga. Dalam bahasa Rumania, Dracul berarti naga. Sedangkan akhiran ulea artinya “anak dari”. Dari gabungan kedua kata itu, Vlad Tepes dipanggil dengan nama Vlad Draculea (dalam bahasa Inggris dibaca Dracula), yang berarti ‘anak dari sang naga’.
Pembantai Umat Islam
Penaklukkan Konstantinopel adalah raihan prestasi besar umat Islam di masa lampau. Sudah berabad-abad sejak pertama kali perang merebut kota penting ini di zaman Khalifah Muawiyah di tahun 44 Hijriah. Baru pada masa Muhammad Alfatih, kota ini berhasil dikuasai sepenuhnya di tahun sekitar 824 Hijriah.
Penaklukkan ini pun berimbas luas, hingga menyentuh daratan Eropa, termasuk Wallachia yang ada di Rumania. Menurut sejarah, Wallachia tidak pernah diserang, namun antara kedua pemimpin, Vlad II dan Sultan Al Fatih sepakat untuk membuat sebuah perjanjian. Intinya tempat ini masuk dalam kekuasaan Islam, dan Wallachia harus memberikan jizyah atau semacam pajak.
Selain soal jizyah, Sultan Al Fatih membuat sebuah kesepakatan cerdas agar daerah ini tidak bisa mudah lepas atau memberontak. Ya, sultan meminta dua anak Vlad II untuk dikirim ke Konstantinopel untuk belajar Islam. Kedua anak Vlad II ini bernama Vlad III atau Dracula dan Radu Cel Frumos.
Kedua pemuda ini pun dikirim ke Konstantinopel dan jadi orang hebat. Radu bahkan menjadi seorang Muslim yang kemudian diangkat sebagai panglima perang. Vlad III masih tetap pada agama aslinya. Bahkan ia makin membenci Islam dan Kesultanan Turki seperti yang didoktrinkan ayahnya sejak kecil.
Dracula memiliki impian, suatu ketika ia akan jadi pemimpin tertinggi di Wallachia dan ganti menyerang Islam. Siapa yang menyangka jika cita-cita ini menunjukkan titik terang. Diceritakan jika Vlad II dikudeta dan mati. Untuk mengisi kekosongan pemimpin, maka dikirimlah Vlad III atau Dracula untuk menggantikan posisi ayahnya.
Dari sinilah Dracula berkhianat. Sisa-sisa prajurit Turki yang ikut berperang bersamanya, setelah disekap berhari-hari di ruang bawah tanah, dalam keadaan telanjang bulat, diarak oleh Dracula menuju pinggir kota untuk dieksekusi.
Hyphatia Cneajna dalam bukunya yang berjudul “Dracula, Pembantai Umat Islam Dalam Perang Salib”, menceritakan beberapa penyiksaan keji yang dilakukan Dracula terhadap kaum muslimin.
Tiga ratus ribu umat Islam menjadi korban yang dibantainya dengan sangat kejam dan tidak manusiawi. Ada yang dibakar hidup-hidup, dipaku kepalanya, dan yang paling kejam adalah disula; yaitu seseorang ditusuk duburnya dengan kayu sebesar lengan tangan orang dewasa yang ujungnya ditajamkan.
Kayu sula tersebut menembus hingga ke perut, kerongkongan, dan menembus kepala melalui mulut! Lebih sadisnya lagi, tidak hanya orang dewasa yang menjadi objek kekejaman penyulaan! Hyphatia memberikan pemaparan tentang penyulaan terhadap bayi sebagai berikut:
“Bayi-bayi yang disula tak sempat menangis karena mereka kesakitan yang amat apabila ujung kayu menembus perut kecilnya. Tubuh-tubuh korban itu, meregang di kayu sula untuk menjemput ajalnya.”
Namun, meskipun darah lebih kental dari pada air, tetapi aqidah dan keyakinan yang terpatri dalam hati, menjadi kekuatan tersendiri yang menggerakkan seseorang untuk membela saudara seiman, walau harus berhadapan dengan saudara kandungnya.
Radu, adik Dracula yang memang lebih ‘alim dan rajin dari kakaknya, diangkat oleh Sulthan Muhammad Al Fatih sebagai panglima perang bersama enam puluh ribu pasukan untuk meng-qishash Dracula.
Sayangnya, Dracula telah mengendus rencana ini. Maka untuk ‘menyambut’ kedatangan pasukan Turki Utsmani, ia perintahkan pasukannya untuk ‘memburu’ orang Turki yang tersisa. Kemudian, di kanan kiri jalan yang membentang sepanjang 10 km, Dracula memajang mayat-mayat kaum muslimin yang ditawannya dalam keadaan telah disula.
Mental kaum muslimin sempat goyah dengan pemandangan mengerikan ini. Tetapi, setelah menyaksikan kegigihan Sultan yang menunjukkan jiwa seorang mujahid, semangat pasukan Islam kembali bangkit dan terbarukan. Para tentara yang dipimpin Radu, berhasil mengepung Benteng Poenari. Karena merasa terdesak, isteri Dracula memilih bunuh diri dengan terjun dari salah satu menara benteng. Adapun Dracula, ia melarikan diri ke Hongaria melalui lorong rahasia.
Nasib Dracula selanjutnya adalah mati terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan Turki pimpinan Sultan Muhammad Alfatih itu. Peristiwa itu terjadi pada bulan Desember 1476, di tepi Danau Snagov.
*Selengkapnya di Buku Dracula vs Al-Fateh
(Sumber: Sindonews)