[PORTAL-ISLAM.ID] Sejak era Orde Baru (1990), Indonesia sudah dinyatakan sebagai negeri yang bebas penyakit PMK (Penyakit Mulut dan Kuku).
PMK merupakan penyakit menular pada hewan (tidak menular ke manusia).
Untuk mempertahankan kondisi bebas PMK ini berbagai upaya sudah dilakukan Indonesia sejak dulu, misalnya adanya prosedur karantina hewan dan juga kebijakan tidak melakukan impor hewan atau daging dari negara yang belum bebas PMK.
Sampai tibalah masa pemerintahan Pak Joko yang tiba-tiba membuat kebijakan impor hewan/ daging bahkan dari negara-negara yang belum dinyatakan bebas PMK seperti India.
Kebijakan ini sudah diprotes banyak pihak saat itu, khawatir penyakit PMK kembali masuk ke Indonesia.
Tapi pemerintahan Pak Joko bersikukuh dan beralasan bahwa meski kita impor dari negara yang belum bebas PMK, tapi asal ternaknya dipastikan berasal dari daerah (yang diklaim) bebas PMK di negara tersebut.
Saya masih ingat penjelasan pejabat soal ini di TV, “India kan luas bla bla bla...”.
Kini kasus PMK tiba-tiba muncul di Indonesia, yakni Jawa Timur dan Aceh. Belum jelas bagaimana penyakit ini bisa masuk ke Indonesia.
Jika tak ditangani dengan sigap, ini berpotensi menjadi wabah baru bagi ternak.
Wabah untuk manusia (Covid-19), sudah menurun, jangan sampai dilanjutkan dengan wabah untuk hewan.
(Ibnu Zaini Atmasan)
RI Bebas PMK sejak 1990-an, Wabah Kembali Muncul Diduga gara-gara Impor Daging dan Ternak Meningkat
Kementerian Pertanian (Kementan) telah menetapkan dua daerah yang dilanda wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan yaitu Kabupaten Aceh dan Kabupaten di Jawa Timur.
Untuk Kabupaten Aceh, ada dua daerahnya yang terpapar yaitu Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur. Sementara Jawa Timur terdiri dari Gresik, Sidoarjo, Lamongan, dan Mojokerto.
Menanggapi hal ini Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, Indonesia sebenarnya sejak tahun 1990-an sudah bebas PMK setelah berusaha dengan keras selama puluhan tahun untuk mengatasi wabah PMK.
Wabah PMK ini muncul kembali diduga berasal dari luar Indonesia mengingat virus ini tidak mampu bertahan lama.
"Virus PMK ini muncul diduga karena impor daging, sapi dan ternak lainnya dari luar yang meningkat dari negara-negara yang masih ada zonasinya wabah PMK," kata Henry dalam siaran resminya, Kamis (12/5/2022).
Henry memaparkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) memang terjadi kenaikan impor sapi. Pada 2021 impor daging sapi sebesar 274. 000 ton, jumlah itu naik 22,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 223.000 ton.
“Nilai impor daging sapi pun naik menjadi 948,37 juta dollar AS atau sekitar Rp 13,64 triliun pada 2021. Jumlah ini naik 35,83 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 698,18 juta dollar AS," katanya.
Gara-gara impor?
Henry menuturkan kebijakan impor ini ini didukung oleh Undang-Undang (UU) No.41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
“SPI bersama yang tergabung dalam Komite Perlindungan Perdagangan Peternakan dan Kesehatan Hewan (KP3 KESWAN) menang dalam judicial review UU No.18/2009, tapi kemudian lahir UU No.41 /2014 berdasarkan zonasi, terus di-judicial review lagi oleh kawan-kawan seperti dari Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) dan lainnya, tapi kalah,” keluhnya.
“UU No.41/2014 ini semakin memperluas kebijakan importasi ternak di tengah ketergantungan pada impor ternak dan produk ternak yang sudah tinggi. Pemberlakuan sistem zona tersebut merugikan hak masyarakat untuk hidup sehat, sejahtera, aman, dan nyaman dari bahaya penyakit menular dari hewan ataupun produk hewan yang dibawa karena proses impor dari zona yang tidak aman,” sambungnya.
Padahal menurut Henry, seharusnya pemerintah melindungi peternakan di Indonesia sejalan dengan janji pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk membangun kedaulatan pangan di Indonesia, yang menargetkan Indonesia menjadi negara yang swasembada untuk daging.
(KOMPAS)
Akademisi UB Duga Wabah PMK Berasal dari Luar Negeri
MALANG - Wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) tengah melanda sejumlah daerah di Jawa Timur. Akademisi Universitas Brawijaya (UB) menduga, virus ini berasal dari hewan ternak atau bahan pangan hewan dari luar Indonesia.
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Brawijaya Dyah Ayu Oktavianie mengatakan sebenarnya Indonesia sudah dinyatakan terbebas dari PMK sejak tahun 1990-an.
Wabah yang terjadi saat ini, lanjut Dyah, kemungkinan berasal dari lalu lintas hewan ternak atau bahan pangan asal hewan yang berasal dari luar Indonesia.
"Maka dari itu saat ini pemerintah memberlakukan pembatasan wilayah khususnya lalu lintas hewan ternak pada daerah wabah, agar tidak semakin meluas wabah PMK yang terjadi sejak akhir April lalu," kata Dyah kepada wartawan, Kamis (12/5/2022).
Menurut Dyah, bagi ternak sapi yang saat ini sudah terindikasi terkena PMK, dapat diberikan vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh, terapi symptomatis, dan antibiotik untuk mengatasi infeksi sekunder.
"Virus tersebut menyerang hewan ternak yang mempunyai daya tahan tubuh rendah, dan pada sapi-sapi muda bisa berakibat kematian. Sehingga angka mortalitas pada sapi muda atau pedet cukup tinggi," tuturnya.
(Detikcom)
Cerita Peternak Sapi Gresik: Wabah PMK seperti Pukulan Telak Jelang Idul Adha...
GRESIK - Pemerintah terus mengupayakan agar wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) yang ditemukan di Jawa Timur (Jatim) tak meluas, salah satunya dengan mencegah keluar-masuk hewan ternak dari luar daerah. Hal itu jadi pukulan telak bagi peternak sapi jelang Idul Adha 2022.
Selain khawatir wabah PMK meluas, peternak juga bersiap kehilangan pendapatan ratusan juta rupiah dari perdagangan hewan kurban jelang Idul Adha 2022.
Ahmad Astadi Priyanto (25), salah seorang peternak sapi yang ada di Desa Gredek, Kecamatan Duduksampeyan, Gresik, Jawa Timur, mengatakan, PMK yang melanda saat ini seperti pukulan telak bagi peternak.
Ia menyayangkan wabah tersebut merebak saat tidak lama lagi bakal Hari Raya Idul Adha, di mana sapi akan banyak dicari orang untuk hewan kurban.
"Saya sekarang ada enam ekor sapi di kandang yang siap jual, dengan kapasitas kandang bisa sampai 10 ekor sapi. Ini saya sebenarnya niat mau kulakan (membeli/pengadaan), tapi saya batalkan seiring imbauan dari pemerintah," ujar Yayan, sapaan Ahmad Astadi Priyanto, yang ditemui Kompas.com saat sosialisasi wabah PMK di desanya, Kamis (12/5/2022).
Bersiap lupakan penjualan ratusan juta rupiah
Yayan mengaku, ternak sapi yang dilakukan oleh keluarganya sudah lama. Namun, tujuh tahun belakangan, Yayan dan keluarga menjalankan bisnis penggemukan sapi. Di mana Yayan membeli sapi dari luar desa atau bahkan luar kota, untuk dilakukan penggemukan dan dijual sebagai hewan kurban saat Idul Adha.
"Setiap Idul Adha saya biasa jualan sapi itu sampai dapat ratusan juta. Biasanya sembilan sampai 10 ekor, kalau satu ekor biasanya Rp 20 juta, tinggal dikalikan saja, Mas," ucap Yayan.
Seiring dengan imbauan pemerintah untuk mencegah penularan PMK, Yayan pun saat ini menahan diri untuk tidak mendatangkan dan membeli sapi dari luar desa maupun luar kota.
"Kalau tahun-tahun sebelumnya saya biasa cari sapi di Balongpanggang hingga Tuban, terus sapi saya gemukkan dulu sebelum dijual. Tapi dengan ini (adanya PMK) ya mau bagaimana lagi, khawatir menular juga, sebab sekarang sudah ada enam sapi di kandang. Jadi saya tidak jadi kulakan sapi dulu," kata Yayan.
Sapi kena PMK, jika sampai mati, mau bagaimana lagi...
Berbeda dengan Yayan, Jaelani (53) peternak sapi lain yang ada di Desa Gredek mengaku masih menantikan upaya yang akan dilakukan oleh pihak terkait dalam penanganan sapi yang terjangkit PMK. Terlebih, satu ekor sapi peliharaan Jaelani saat ini sedang terjangkit penyakit mirip tanda PMK.
"Ada sapi pedhet saya itu sudah tiga hari nafsu makannya tidak seperti biasa, badannya terlihat lemas, namun tidak sampai berlendir mulutnya. Biar dilihat Pak Mantri dulu, kalau memang PMK semoga bisa kembali normal seperti sebelumnya. Tapi kalau nanti sampai mati meski sudah dirawat, ya mau bagaimana lagi," ucap Jaelani.
(KOMPAS)