Ketika kemarin Pak Jokowi memperbandingkan harga BBM di Indonesia dengan di Singapura dan di Jerman, saya langsung ngakak.
Begitulah Pak Jokowi. Blak-blakan dan apa adanya. Dan kali ini saya yakin ketika beliau mengucapkan hal tersebut, semua murni dari pemikiran beliau yang memang sekedarnya dan ala kadarnya.
Membandingkan harga BBM di Indonesia dengan Singapura tentu saja adalah hal konyol (Aduh, maaf. Hampir saja hurup "y" tergantikan hurup "t". Dasar Handphone saya udah jadul).
Berapa penghasilan atau katakanlah Upah rata-rata orang di Singapura?
TKW kita saja disana upah minimumnya rata-rata 7 jutaan. Bandingkan dengan upah PRT di Negara kita. Masih ada yang 700 ribuan perbulan. Berarti 10 kali lipat rakyat Singapura lebih sejahtera.
Untuk Pekerja di Kategori Profesional, gaji di Singapura minimal 40 jutaan. Sedangkan di Negara kita "take home pay-nya" masih banyak di kisaran 4-8 jutaan.
Kalau dihitung dari Pendapatan Perkapita, PDB Singapura itu 935 jutaan. Bandingkan dengan Indonesia yang baru 60 jutaan. Bayangkan bagaimana makmurnya rakyat Singapura.
Lalu bagaimana caranya memperbandingkan harga Bensin di Singapura dengan di Indonesia?
Kalau saja Upah Minimum di Negara kita 40 jutaan rupiah perbulan, maka harga bensin 50 ribu rupiah perliter juga tidak ada masalah.
Jadi memperbandingkan harga Bensin di Indonesia dengan di Singapura memang tidak salah. Tapi itu tandanya pemikiran dan logika kita ala kadarnya (klo gak mau dikatakan g*bl*k).
Belum lagi mengingat Singapura tidak memiliki sumber minyak sama sekali. Berbeda dengan Negara kita. Ada Aceh, Sumut, Riau, Palembang, Jawa Timur dan Kaltim yang banyak sumber minyaknya.
Lucunya, Negara kita malah mengimpor minyak dari Singapura!
Kok bisa?
Jadi Singapura mengimpor minyak mentah dari Indonesia. Kemudian minyak mentah dari Indonesia diolah di kilang-kilang Minyak milik Singapura. Kemudian Indonesia membeli minyaknya yang sudah diolah oleh Singapura....
Saya jadi teringat cerita lama.
Seorang Makelar dari Kampung membawa setandan pisang ke Kota. Sampai di Kota, Pisang yang setandan itu dia jual ke Warung Pisang Goreng. Harga setandan Pisang mentah 30 ribu rupiah.
Dengan uang 30 ribu rupiah, si Makelar dari Kampung akan membeli Pisang Goreng 30 ribu rupiah. Harganya 2 ribu perpotongnya. Dapat 15 potong Pisang Goreng. Nanti di Kampung pisang itu akan dia jual kembali ke Petani Pisang dengan harga 3 ribu perpotongnya. Lumayan, si Makelar dapat untung 15 ribu rupiah.
Sementara si Pemilik Warung Pisang mengolah Pisang setandan jadi 100 potong Pisang Goreng. Dijual 2 ribu perpotongnya. Dapat dua ratus ribu. Dikurang modal beli pisang mentah dan minyak goreng, dapat untung bersih 150 ribu per satu tandan. Wajar kalau si Pemilik Warung Pisang hidupnya sejahtera. Punya mobil. Jadi angkuh dan berani menolak Ulama dari Kampung.
Pertanyaannya, kenapa orang Kampung pemilik Kebun Pisang tidak mengolah sendiri Pisangnya jadi Pisang Goreng?
Kalau menurut Kepala Kampung, susah bikin Warungnya. Tekhnologi menggoreng pisang sangat sulit dipelajari. Lebih mudah dan konon lebih "murah" dengan menjual mentahnya saja ke Singapura, eh ke Kota.
Lagian kasihan dong Pemilik Warung Pisang di Kota. Sudah keluar modal bikin Penggorengan, mosok tidak disupply bahannya?
Sesama Tetangga kan harus saling membantu. Walaupun si Tentangga seringnya kurang ajar. Melindungi Penjahat dan Koruptor dari Kampung. Sombong dan angkuh karena merasa lebih makmur.
"Kalau rakyat sendiri ngga kasihan, bang?"
"Ngga. Rakyat Indonesia, eh rakyat Kampung sudah terbiasa hidup menderita. Sedangkan rakyat Singapura eh...rakyat Kota tidak terbiasa hidup sengsara. Makanya yang kita ekspor bukan minyak. Tapi TKW dan TKI untuk memanjakan hidup mereka."
"Ah alasan aja itu bang!"
"Lha, iya. Karena sebenarnya kalau kita bikin Kilang Minyak maka komisi 15 triliun saya bisa hilang..., ha..ha..ha..."
Daripada bikin IKN kenapa ngga bikin Kilang Minyak aja Pak Wi?
(By Azwar Siregar)