[PORTAL-ISLAM.ID] Melintasi batas wilayah negara merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) di alam demokrasi. Bahkan khusus di kawasan Asia Tenggara, ASEAN telah mengatur perlintasan antarorang tersebut, sehingga tidak memerlukan visa.
Begitu tegas Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah menanggapi penolakan Singapura atas kedatangan penceramah kondang Ustaz Abdul Somad (UAS).
“Negara tidak perlu menjelaskan kenapa seseorang diterima karena itu hak. Tapi negara wajib menjelaskan kenapa seseorang ditolak,” ujarnya lewat akun Twitter pribadi, Rabu (18/5/2022).
Fahri mengurai, saat UU Imigrasi 6/2011, Indonesia telah menerapkan seluruh konvensi dan aturan internasional yang menjunjung tinggi HAM dalam keimigrasian. Bahkan di beberapa pintu imigrasi memakai teknologi yang tidak perlu lagi ada pertemuan petugas dengan melintas batas.
Dalam prinsip keimigrasian modern, sambungnya, tugas penjaga perbatasan imigrasi hanya memastikan kelengkapan dokumen. Mereka tidak memeriksa ceramah atau pandangan politik orang apalagi yang disampaikan di majelis majelis keilmuan.
“Makanya perbatasan cukup pakai cap jari atau pengenal wajah,” kata mantan Wakil Ketua DPR RI itu.
Sementara dalam konsep keimigrasian kuno, pelintas batas sangat bergantung kepada penerimaan politik negara tujuan yang sangat subjektif dan tidak bisa menerapkan prinsip-prinsip umum tentang HAM tentang perjalanan dari satu titik ke titik lain.
“Itulah sebabnya kelengkapan administrasi bukan segalanya,” lanjut Fahri Hamzah.
Artinya, jika ada negara di ASEAN yang telah menyepakati perjalanan tanpa visa dan melakukan penolakan terhadap warga lain masuk, maka dia harus mengumumkan kepada semua negara tetangganya daftar orang yang mereka tolak masuk karena alasan politik. Hal ini untuk menghindari adanya insiden penolakan oleh petugas imigrasi setempat.
Jika selama ini seorang WNI diterima di negara tetangga, bahkan untuk berceramah, seperti dalam kasus UAS berceramah di Brunei dan Malaysia, artinya persoalan politik internal negara yang menolaknya perlu dijelaskan. Sebab hal itu harus menjadi pandangan bersama negara ASEAN.
“Menolak perjalanan pribadi seorang biksu Myanmar atau pendeta Singapura atau ustaz Indonesia bukanlah sebuah tindak keimigrasian yang beradab. Apalagi jika perjalanan itu murni perjalanan wisata dengann perempuan dan anak bayi di bawah 1 tahun. Ini melanggar nilai-nilai dasar ASEAN,” tutupnya.
Dalam keterangan UAS yang dikutip dari channel YouTube, dai kondang asal Pekanbaru, Riau itu mengatakan, bahwa kedatangannya ke Singapura untuk berlibur bersama istrinya Fatimah Az Zahra dan putranya yang masih bayi.
UAS juga menjelaskan kepada pihak imigrasi, bahwa ia dan keluarganya datang ke Singapura hanya untuk liburan. Bukan untuk mengisi kajian, apalagi berkaitan dengan politik.
"Saya bilang ke pihak imigrasi Singapura, bahwa saya mau jalan-jalan bukan untuk pengajian. Saya bukan mau kampanye pilpres," ujar UAS.
UAS mengungkap dirinya sempat ditahan berjam-jam secara tidak manusiawi.
[RMOL]