Catatan Kritis untuk Ketum PBNU: Mendekatkan Agama pada Politik, Bukan Sebaliknya
Oleh: KH Imam Jazuli, L.c., M.A.
SUATU pernyataan yang problematis dilontarkan oleh Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf di ”Forum on Common Values among Religious Followers” di Riyadh, Arab Saudi. Kompas mengutip pernyataan Gus Yahya (GY), kompetisi antar pemeluk agama yang berujung memperalat agama sebagai senjata politik merebut kekuasaan.
Kompas juga mengutip jalan keluar yang GY anggap masuk di akal, yaitu mengubah pola pikir yang dapat merusak harmoni sosial. Pola pilkir yang memustahilkan berbagai kelompok berbeda hidup berdampingan. Hal itu dapat tercapai apabila nilai-nilai bersama dijadikan pegangan untuk tujuan dialog dan kerja sama (Kompas, 13-5-2022).
Sepintas lalu mantik (logika) dalam narasi GY di atas terlihat bijaksana, yaitu dengan menjauhkan agama dari politik, maka tidak ada alasan bagi pemeluk agama untuk menungganginya, kemudian sebagai ganti pijakan hidup bersama adalah nilai-nilai humanis yang disepakati bersama, sehingga dialog dan kerja sama mungkin dibangun. Sebaliknya, jika agama dijadikan patokan, mustahil berbagai kelompok agama berbeda hidup berdampingan.
Mantik berbau humanis-sekuler semacam itu tentu bukan cermin dari humanisme religius Islam. Dalam Islam, misalnya, digambarkan hubungan antar sesama umat muslim seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama lain; atau, hubungan muslim dan kafir dzimmi begitu dekat seperti dua jari, sehingga menyakiti kafir dzimmi sama halnya menyakiti Rasulullah SAW. Jika ada konflik, Islam meminta untuk mendamaikannya.
GY membicarakan konsep perdamaian di pentas internasional dengan basis nilai-nilai sekuler. Ingin menjauhkan agama dari politik dengan asumsi bahwa agama akan diperalat untuk merebut kekuasaan. Asumsi tersebut tidak sejalan dengan asumsi bersama bahwa agama adalah sumber kedamaian dan perdamaian. Apabila agama hadir, maka bukan saja dimensi politik, melainkan juga dimensi-dimensi lain seperti ekonomi, budaya, sains teknologi, dan lainnya yang akan menjadi alat perdamaian.
Sejarah Islam sendiri adalah sejarah relasi agama dan politik. Rasulullah SAW dan Khulafaurasyidin merupakan teladan bagaimana agama dan politik dijalankan bersamaan. Para ulama juga mendokumentasikan banyak pemikiran politik Islam. Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniah adalah satu di antara sekian kitab politik-agama yang populer di masanya, dan masih banyak dikaji hari ini. GY tampak berada di posisi yang bersebrangan dengan itu semua.
Penulis juga tidak mengingkari ada sebagian kecil intelektual muslim yang ingin memisahkan agama dari politik. Jika GY mengambil posisi itu sebagai pilihan personal dirinya, maka hal tersebut lumrah dan lazim. Namun, sebagai representasi warga NU, apalagi institusi NU, maka tidak ada sejarah NU lahir lepas dari politik, baik sejak awal berdirinya, bermetamorfosis menjadi parpol, membentuk khitah tahun ’84, hingga mendirikan PKB.
Jika pun GY bicara dalam konteks internasional, bukan lokal, memisahkan agama dari politik juga bukan solusi. Terlebih melihat peristiwa mutakhir yang menjurus pada perang dunia ketiga, antara Ukraina dan Rusia. Uni Eropa dan Amerika Serikat yang berada di balik Ukraina maupun China yang mendukung Rusia, mereka adalah dalang perang global hari ini. Kenyataannya, konflik mereka tidak berasaskan nilai-nilai religius. Tetapi, sepenuhnya kekuasaan ekonomi politik.
Dalam konteks Timur Tengah, konflik berkepanjangan antara Arab Saudi, Iran, dan Israel juga bukan konflik agama. Persaingan antara Arab Saudi dan Iran adalah persaingan dominasi di kawasan, sedangkan Israel hadir sebagai kolonial yang diperangi hanya jika tidak menguntungkan bagi pihak yang berseteru. Selagi membawa untung secara ekonomis, kerja sama dibangun dengan mesra, tak heran kita kenal term ”normalisasi” dengan Israel. GY pun tidak relevan bicara pemisahan agama dari politik dalam konteks ini.
GY berpikiran sekuler saat melihat variabel agama dalam politik sebagai biang kerok konflik antar kelompok berbeda. Seandainya agama betul-betul masalah bagi kemanusiaan, negara yang melarang agama dan menjadikan humanisme universal sebagai pijakannya adalah negara paling ideal di dunia ini. Kita tidak akan pernah melihat negara-negara Eropa sebagai representasi terhadap cita-cita imajinatif GY tersebut.
Hemat penulis, upaya kita bersama untuk melawan politisasi agama yang menjurus pada konflik, perang, perpecahan kelompok adalah dengan membalik logikanya, yaitu melakukan politisasi agama yang menjurus pada perdamaian, harmonis, dan kehidupan rukun guyub. Itulah yang sudah dilakukan kita semua di negeri ini, Indonesia. Ketika muncul kelompok yang menyelewengkan agama menjadi inspirasi kekerasan, kita memunculkan agama yang berwajah sejuk dan damai. Nyatanya, kita berhasil hidup di bawah naungan Pancasila tanpa harus terganggu oleh identitas sebagai muslim.
Dengan mendekatkan pemikiran agama yang sejati pada politik, kita dapat mengusir pemikiran palsu dalam politik. Inilah yang semestinya GY sampaikan baik sebagai pembicara di forum internasional maupun sebagai pandangan personal, mengingat ia sebagai ketua ormas Islam terbesar di Indonesia. Alhasil, untuk keluar dari konflik global yang menggerus kemanusiaan ini, agama sejati harus didekatkan pada politisi untuk mengusir polusi agama dalam politik. Dengan begitu, sekularisme tidak perlu dipromosikan oleh tokoh ormas Islam terbesar itu sendiri.
Wallahu a’lam bisshawab.
*KH Imam Jazuli, L.c., M.A. Pengasuh Ponpes Bina Insan Mulia Cirebon Jawa Barat