Tiada kata terlambat, saya mengucapkan selamat Idul Fitri untuk yang merayakan.
Dua pekan tak mengunggah tulisan karena memang rehat sejenak. Saya pikir itu bagus buat menyegarkan diri. Tak banyak menengok medsos.
Saya lihat sekilas perkembangan begitu cepat. Suasana jelang pemilu mulai terasa hangat.
Banyak yang mulai tampil dan bersolek. Banyak yang mulai saling menjatuhkan. Banyak yang mulai sebar isu-isu. Bahkan saya dengar ada satu tim khusus yang membuntuti salah satu kandidat capres hanya untuk menjepret---kabarnya---ia bertato, untuk kemudian dipakai untuk bahan serangan.
Pertama, penting bagi saya untuk bicara positioning.
👉Di mana saya berdiri dalam konstelasi pemilu? Siapa yang saya dukung, siapa yang saya tonjok? Apa yang mau saya capai? Jabatan apa yang saya incar? Seberapa banyak kapital yang mau saya himpun untuk saya pribadi? Seberapa besar ukuran popularitas yang mau saya capai dengan indikator seberapa banyak follower di akun saya yang bisa saya kapitalisasi untuk kepentingan saya (ada yang sebut saya selebkritikus)?
Jika itu rentetan pertanyaan Anda, berarti kita tinggal kelas. Kita menggunakan ukuran yang sama sesatnya dengan ukuran para pejabat/orang yang kita kritik selama ini. Kita masih berpikir bahwa demokrasi adalah kedok untuk menyembunyikan ambisi kita akan kekuasaan dan uang. Kita masih munafik. Kita bakal terus lemah dan mudah diadu domba.
Pada akhirnya, kita akan menjalani pemilu berbiaya triliunan rupiah untuk mendapatkan pemimpin yang kualitasnya rendah sebagai cerminan betapa rendah juga mutu kita sebagai pribadi dan warga negara.
❌Saya tak ada urusan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Anda boleh cek sendiri di lapangan atau silakan kasak-kusuk terbatas.
❗Yang justru penting adalah tak berhenti mengedukasi diri kita sendiri baik sebagai pribadi maupun warga negara. Kita membuat diri kita layak terlebih dahulu sebagai prasyarat untuk mendapatkan pemimpin yang lebih baik dari sekarang. Tanpa itu, hanya kegaduhan yang dilahirkan, sementara pemimpin yang didapat tetap saja sekualitas barang curah.
Pemimpin macam itu adalah pemimpin seolah-olah. Terlihat sederhana tapi memperkaya diri, keluarga, dan kawanannya. Terlihat membela rakyat tapi bertujuan hanya pencitraan.
Indonesia tak berubah banyak. Sawit tetap di tangan grup itu-itu juga, batu bara pun sama, proyek BUMN dia-dia juga. Kita dapat pejabat yang serakahnya luar biasa, menguasai hulu ke hilir jabatan penting birokrasi sembari tetap memegang bisnis pribadi.
Pejabat yang tidak tahu malu. Korupsi, iya; gaji, fasilitas, THR, dsb, masih terima juga; nama pun ingin tetap harum.
Untuk posting 'perdana' ini, saya tak mention orang per orang. Kita bicara prinsip dulu. Orang yang memegang nilai dan prinsip niscaya sulit terombang-ambing di lautan politik yang ganas seperti sekarang. Ia akan selalu cahaya di mana pun berada.
Kita perlu ingat bahwa siapa pun yang memenangkan pemilu, dia akan memerintah. Pemerintah adalah pusat kekuasaan. Kekuasaan harus diawasi dan dibombardir kritik. Jika tidak, ia korup. Jika korup, merugikan kita dan anak-cucu.
Kita bakal terus belajar untuk menaikkan level ke suatu titik di mana emosi dan kesan tidak menjadi pertimbangan utama dalam memilih penyelenggara negara. Kita akan belajar melihat fakta dan korelasi logisnya. Kita akan belajar melihat dunia apa adanya sehingga bisa menghalau narasi-narasi yang mengaburkan nurani.
Sebab, kita bisa menutup mata untuk tidak melihat apa yang tidak ingin kita lihat; tapi kita tidak bisa menutup hati untuk merasakan apa yang tidak ingin kita rasakan.
Kita tidak akan terlalu lugu dan bodoh lagi untuk diam melihat fakta BUMN Telkomsel kasih triliunan rupiah ke GOTO yang ambles harganya seperti sekarang. Kita tidak akan terlalu lugu dan bodoh untuk diam melihat Rp5,6 triliun diberikan ke segelintir perusahaan swasta digital mitra Prakerja. Kita tidak akan terlalu lugu dan bodoh untuk diam melihat bahwa pemimpin dan pembantunya tak berdaya di hadapan mafia segala macam. Mereka pun masih duduk manis di jabatannya sampai sekarang---Menteri Perdagangan, contohnya!
Dan, banyak lagi kejanggalan pengelolaan negara yang sesungguhnya merugikan masyarakat, yang sering kita bicarakan di dinding ini.
Sebab para tauke dan politisi busuk akan terus melestarikan situasi di mana masyarakat tetap di level yang serendah mungkin agar mereka bebas beroperasi tanpa dibuntuti. Mereka ingin mempertahankan status kemapanan dengan selama mungkin menjadikan masyarakat terkurung dalam ilusi dan kebodohan.
Itu yang kita lawan!
Salam.
12/5/2022
(Agustinus Edy Kristianto)