Ya Allah, tulisan Saudara Mahfud MD ini bermasalah secara paradigmatik, karena menganggap setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dan berhenti turun wahyu Al Qur'an, maknanya Syariah Islam dalam bernegara seperti yang dijalankan nabi juga berhenti dan haram dijalankan pada periode berikutnya.
Saya menggambarkan sederhana saja, misalnya: sholat dijalankan oleh nabi dan para sahabat karena ada perintah Allah SWT melalui Al Qur'an, dan teknis pelaksanaannya dalam As Sunnah. Pertanyaannya apakah sholat haram dijalankan setelah nabi meninggal dan Al Qur'an tidak diturunkan lagi ?!?!? Inilah bahayanya paradigma dari MMD.
Al Qur'an dan As Sunnah itu masih menjadi sumber hukum Islam walau Al Qur'an sudah tidak turun lagi dan Nabi sudah meninggal. Termasuk dalam membangun sistem kenegaraan, kita pun bersumber dari Al Qur'an dan As Sunnah. Disamping juga sumber dari Ijma' Sahabat dan Qiyas.
Ijtihad seperti yang disampaikan MMD itu ngawur karena menganggap asal berpendapat itu bisa disebut ijtihad.
Padahal ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan suatu hukum, termasuk diantaranya adalah dengan metode qiyas syar'iyyah. Jadi tak sebatas berpendapat bisa disebut ijtihad.
Kaidah tarkait "tidak sempurna suatu kewajiban tanpa sesuatu maka sesuatu tersebut menjadi wajib" dipahami secara serampangan oleh MMD. Seharusnya kaidah ini dipahami dalam konteks kewajiban menjalankan syariah Islam secara kaffah. Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan untuk menjalankan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Pertanyaannya menggunakan metode apa agar syariah Islam dapat dilaksanakan secara kaffah? Disinilah Khilafah menjadi menjadi kewajiban untuk memastikan agar syariah Islam dapat dilaksanakan secara kaffah.
(Oleh: Agung Wisnu)