[PORTAL-ISLAM.ID] Tulisan R William Liddle di koran KOMPAS hari ini (4/4/2022) bagus untuk pemahaman kita bersama. Bahwa yang ingin 3 periode itu Jokowi sendiri.
"Sesepuh Bangsa"
Oleh: R William Liddle (Profesor Emeritus Ilmu Politik, Ohio State University, AS)
Kiranya tidak tersangkal lagi: Presiden Jokowi sedang menggalang kekuatan politik agar sidang MPR diselenggarakan dan konstitusi diamendemen demi perpanjangan masa jabatannya.
Mengapa kesimpulan saya mengenai hal ini begitu pasti?
Perencanaan presiden mulai terungkap akhir Februari ketika Muhaimin Iskandar dari PKB, Airlangga Hartarto dari Partai Golkar, dan Zulkifli Hasan dari PAN mengusulkan penundaan Pemilu dan Pilpres 2024 agar kekuasaan Presiden Jokowi bisa diperpanjang.
Menurut berita CNN, tokoh pemerintah yang menghubungi pemimpin-pemimpin partai dengan permintaan tersebut adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Ketika diwawancarai Kompas TV pada 5 Maret, Jokowi sendiri mengaku bahwa ”siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan dan perpanjangan (masa jabatan presiden).”
Dalam perkataan lain, ia setuju dengan usaha Menko Luhut, para menteri, dan pemimpin-pemimpin partai yang ingin mengubah konstitusi demi perpanjangan masa jabatannya. Setelah itu, hampir setiap hari ada pernyataan dari Luhut, menteri lain, atau Jokowi sendiri yang memperkuat kesimpulan itu.
Kearifan Habibie
Bagaimana seharusnya kita menanggapi kenyataan baru yang amat mencolok mata ini? Kalau boleh saya usulkan, sebaiknya kita kembali ke kearifan atau hikmah Presiden BJ Habibie (BJH), presiden demokratis pertama dalam era Reformasi. Mengapa saya sebutkan demokratis? Beliau adalah presiden pertama dalam sejarah Indonesia merdeka yang menyerahkan nasib politiknya kepada suara rakyat.
Setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR hasil pemilu demokratis 1999, ia langsung menarik kembali (mengundurkan diri -red) pencalonannya untuk masa jabatan 1999-2004. (saat itu pemilihan presiden dilakukan oleh MPR -red)
Penarikan kembali itu dilakukan Habibie dengan penuh kesadaran atas posisi historisnya.
Pada 7 September 1998, baru beberapa bulan setelah disumpah selaku presiden ketiga RI (menggantikan Soeharto -red), ia diwawancarai oleh Forum Keadilan (FK), majalah dua-mingguan yang peliputan politiknya salah satu yang paling tepercaya waktu itu. Judul berita: ”Presiden Republik Indonesia BJ Habibie: Saya Tak Ingin Berakhir dengan Tragedi”.
Beberapa petikan
Berikut adalah beberapa petikan dari wawancara itu.
FK: Apakah dalam kondisi perekonomian begini kita mampu mengejar cita-cita masyarakat madani? [Visi religious civil society Habibie, yang mengandung nilai ”moral dan spiritual dari agama apa pun,” selain kesejahteraan dan demokrasi.]
BJH: Saya percaya bangsa kita mampu…. Sekarang tinggal membuat sistemnya, yaitu sistem perundang-undangan, peraturan, mekanisme, dan sistem pendidikan.
FK: Tapi, kan untuk mencapai semua itu harus ada stabilitas dulu….
BJH: Stabilitas terjadi dengan sendirinya jika sudah ada transparansi, demokrasi, dan kesejahteraan. Dalam hal ini pendekatan saya adalah bottom-up (dari bawah ke atas). Bukan top-down. Kalau masyarakat madani sudah terjadi, akan lahir stabilitas yang mandiri, abadi, dan tidak bergantung pada perorangan.
Orang-orang selalu mengatakan Habibie adalah presiden yang sangat lemah. Begitu toh? Kalau saya dibandingkan dengan presiden pertama dan kedua, yang sama-sama menganut pendekatan keamanan, top-down, ya jelas dong, saya tampak lemah. Tapi, dalam top-down, yang terjadi adalah sistem komando. Semua berdasarkan perintah dari atas. ”Tok! Kalau enggak, saya tangkap, lo.”
Memang, dengan cara itu, seorang pemimpin kelihatan kuat. Tapi, sebenarnya, orang yang bertindak begitu adalah lemah. Ia terlihat kuat, tapi itu semu. Oleh sebab itu, pemerintah yang top-down, yang terlihat kuat itu, selalu berakhir dengan tragedi. Awalnya dia kelihatan kuat, tapi begitu dia tidak mampu lagi menahan semuanya, maka serentak ”prak!” Dia jatuh. Kita sudah dua kali mengalami tragedi.
Peralihan dari presiden pertama ke presiden kedua terjadi tragedi. Begitu juga dari presiden kedua ke presiden ketiga. Tapi, saya tidak ingin era saya berakhir dengan tragedi.
FK: Caranya?
BJH: Saya memulai era saya dengan era Kebangkitan Demokrasi. Saya ingin mengawalinya dengan era kristalisasi masyarakat madani. Nah, katakanlah SU MPR pada Desember 1999. Saat itu, bagi saya hanya dua option, dua pilihan. Pertama, saya tidak terpilih lagi. Berarti era saya berakhir.
Option kedua, saya diminta dengan hormat untuk meneruskan kepemimpinan satu periode lagi. Berarti itu adalah masa jabatan saya yang terakhir. Setelah itu saya tidak bisa dipilih lagi. Karena saya akan memperjuangkan dan mengeluarkan ketentuan yang akan kita jadikan Ketetapan MPR bahwa tiap presiden dan wakilnya hanya boleh dua masa jabatan.
FK: Anda setuju ada pembatasan begitu?
BJH: Iya, arah kita ke situ…. Bagi saya, itu adalah awal dari suatu tradisi peralihan kekuasaan yang tidak tragis. Mengerti, toh? Tapi kalau pada Desember 1999 rakyat menghendaki saya maju lagi, berarti itu adalah periode kedua, sekaligus terakhir bagi saya. Dengan kepastian masa jabatan presiden, kalau era saya berakhir, kan enggak ada ribut-ribut lagi. Buat apa kita ribut-ribut ganti presiden?
Bahaya yang dihadapi demokrasi Indonesia kini begitu nyata dan solusinya juga begitu terang.
Bahaya bagi demokrasi
Akhirul kata, kiranya sulit menambahkan apa pun kepada tindakan serta wejangan Presiden Habibie hampir seperempat abad lalu.
Bahaya yang dihadapi demokrasi Indonesia kini begitu nyata dan solusinya juga begitu terang. Kepastian dua masa jabatan presiden dan pengadaan pemilihan nasional setiap lima tahun perlu dipertahankan.
(Sumber: Kompas)