Dalam sebuah atsar, Sayyiduna Ali bin Abi Thalib --radhiyallahu'anhu berkata: Tiga hal yang aku sukai:
1. Adh-dhorbu bis-Saif = mengayunkan pedang. Maksudnya berperang di jalan Allah.
2. Ash-shiyam fis-Shoif = berpuasa di musim panas.
3. Wa ikromudh-Dhoif = dan menghormati tamu.
Berperang di jalan Allah, inilah adalah definisi jihad yang sebenarnya. Adapun mereka yang memaksudkan jihad sebagai melawan hawa nafsu, bersungguh-sungguh dalam menetapi kebaikan dan lain sebagainya, boleh saja. Tidak salah.
Tapi yang pasti, jihad berarti qital, ini adalah arti yang sebenarnya. Itu terminologi Islam yang tidak ada perbedaan tentangnya. Sedang jihad berarti bersungguh-sungguh, kemudian melebar dalam berbagai bentuk kesungguhan, ini adalah arti secara etimologi.
Jihad yang berarti qital, tentu tidak bisa sembarangan. Mengebom gereja, mengebom orang yang sedang berjemur di pantai atau pusat-pusat keramaian lainnya, itu bukan jihad. Tapi itu adalah teror. Pelakunya adalah teroris yang harus dihabisi. Apapun dalihnya!
Tapi apapun itu, terlepas dari berbagai kontroversi jihad karena kelakuan orang-orang yang nengaku berjihad belakangan ini, jihad tetap adalah ajaran Islam yang tidak boleh dilepaskan dari kesatuan syariat agama ini.
Berpuasa di musim dingin, atau di kawasan dingin seperti di Batu, Malang, Puncak, Bogor, Dieng, Wonosobo dan tempat-tempat dingin lainnya, boleh saja. Tetap sah!
Tapi berpuasa di musim dingin atau tempat-tempat dingin, itu (nyaris) kita tidak akan merasakan haus sama sekali. Padahal haus ini adalah ciri khas puasa yang sebenarnya. Seakan tak ada puasa tanpa rasa haus.
Beda dengan orang-orang yang berpuasa di musim panas, atau di tempat-tempat panas, seperti Surabaya, Pontianak, Palembang dan kota-kota panas lainnya. Itu haus benar-benar terasa. Sehingga puasa pun bisa kita nikmati sepenuh rasa.
Menghormati tamu, ini adalah ajaran Islam yang begitu mulia. Sudah menjadi kebiasaan orang Arab jahiliah sebelum Islam. Pun, rasanya juga menjadi kebiasaan bangsa-bangsa lain di dunia.
Saya pernah berkunjung ke rumah seorang santri di Situbondo. Saya sebenarnya niat singgah saja, karena kebetulan lewat sepulang dari Bali. Tapi saya ditahan lama, tidak boleh pulang.
Disuruh mandi, disediakan kamar bagus dan berbagai pelayanan lainnya. Yang mengejutkan, ternyata keluarga tersebut memotong kambing. Saya tanya, apa kebetulan ada acara?
“Tidak, ini kami potong khusus untuk Ustadz. Kambing muda ini...”
Ya Allah, diri yang bukan siapa-siapa ini benar-benar tersanjung mendapatkan penghormatan yang sedemikian rupa, di rumah keluarga habaib, sadah Ba'alawi.
“Tamu itu datang membawa rejeki, pulang membawa ampunan,” begitu nasehat guru kami, Habib Muhsin bin Umar Alattas.
Dari Habib Muhsin juga saya banyak belajar menghormati tamu. Pernah beliau mau berangkat ke Pekalongan, naik bis. Waktu itu di Babul Khairat belum ada mobil, sehingga kemana-mana memang kami naik bis.
Begitu Habib Muhsin mau keluar rumah, tetiba datang tamu dari Madura. Ya sudah, beliau masuk lagi. Tamu disambut, dipersilakan masuk dan dijamu sebagaimana mestinya. Hingga berselang dua jam dari jadwal keberangkatan bis.
Tamu pulang, “Ayo Zaenab, kita berangkat,” ajak beliau kepada istrinya.
Serta merta Ummi Zaenab menyahut, “Apa Bib, bisnya sudah jalan dari tadi!”
“Kita datang aja ke sana, siapa tahu bisnya belum jalan. Ya kalau sudah jalan, kita pulang. Nanti kita beli tiket lagi untuk besok.”
Tak ada pilihan bagi Ummi Zaenab selain nurut pada suami. Sesampainya di pool bis tersebut, Subhanallah, bisnya belum berangkat. “Masih rusak, Mas,” kata seorang penumpang yang saya tanya.
Tak lama setelah Habib Muhsin naik bersama Ummi Zaenab, mesin menyala dan bis pun jalan. Orang menyebut itu adalah karomah Habib Muhsin. Tapi sebenarnya itu adalah taufiq yang Allah kurniakan kepada beliau, tersebab penghormatan beliau kepada tamu.
Maka karena itulah, saya jauh lebih suka jika kawan-kawan saya datang ke rumah, daripada menunggu di kafe atau di resto. Sebab bertamu dan memuliakan tamu, adalah kebiasaan baik peninggalan moyang kita dahulu, yang tidak boleh digeser oleh maraknya kafe-kafe dengan berbagai bentuknya.
Oleh: Ustadz Abrar Rifai
(Pengasuh Ponpes Babul Khairat Malang)