Sisi Gelap di Balik Kemegahan Jalan Tol
Oleh: Ruby Kay
Dua abad silam, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Willem Daendels membangun jalan raya sepanjang 1100 km dari Anyer Banten ke Panarukan Jawa Timur. Pengerjaan jalan raya Anyer - Panarukan dilakukan selama 3 tahun yaitu dari 1808 hingga 1811.
Sekitar 30.000 pekerja tewas untuk mewujudkan ambisi Daendels ini. Dalam buku sejarah SMP dulu dikatakan bahwa Daendels melakukan kerja paksa hingga menewaskan puluhan ribu rakyat Indonesia. Usut punya usut, sebenarnya pemerintah Hindia Belanda sudah mengucurkan dana ke karesidenan untuk upah dan biaya makan para pekerja. Dari karesidenan, uang itu dikucurkan kebeberapa bupati.
Nah, macetnya disini. Silau dengan materi, para bupati melakukan korupsi. Rakyat dipaksa bekerja, namun tak diberi upah. Hanya mandor (centeng alias tukang pukul) yang diberi gaji tinggi, tugasnya untuk menggebuki rakyat yang tak mau ikut kerja bakti. Maka lahirlah istilah "kerja paksa". Yang dijadikan kambing hitam atas kematian massal itu tentunya Daendels, si gubernur Hindia Belanda. Padahal puluhan ribu nyawa melayang akibat korupsi yang dilakukan oleh para bupati pribumi.
Dan ruas jalan raya yang dibangun saat masa pemerintahan Daendels itu hingga kini masih digunakan. Sekarang lebih dikenal dengan nama jalan raya pantura (pantai utara).
Beberapa hari lalu, Jokowi memamerkan pencapaiannya selama menjadi Presiden RI. Tujuh tahun menjabat, Jokowi mengklaim telah membangun jalan tol sepanjang 1900 km. Tak ada sistem kerja paksa, tak ada tragedi mati massal dalam pembangunan jalan tol tersebut. Hanya saja ketika ruas jalan tol itu sudah jadi, beberapa BUMN yang terlibat dalam konstruksi pembangunan jalan tol tadi malah terlilit hutang hingga puluhan trilyun rupiah. Tak hanya itu, nilai saham mereka dilantai bursa juga pada anjlok. Kini, ruas jalan tol yang dibangun dari hasil berhutang keluar negeri itu sudah mulai dijual satu per satu.
Jika jalan raya Daendels dirancang untuk bisa dilewati oleh semua kalangan secara gratis, jalan tol hanya ditujukan untuk rakyat yang memiliki kendaraan roda empat. Melewatinya pun mesti bayar. Sistemnya sudah enak begitu kok masih bisa merugi? Karena manajemennya amburadul, hal ini mempermudah oknum pejabat untuk melakukan korupsi.
Membangun proyek mercusuar hanya untuk gagah-gagahan itu sejatinya perkara mudah. Jika gak ada dana, pemerintah bisa berhutang ke lembaga moneter internasional atau negara luar. Dijamin berapapun nominal yang diminta akan dikucurkan oleh kreditur. Tapi ya itu, mereka pasti minta jaminan yang nilainya jauh lebih besar daripada jumlah hutang.
"Ah, sok tau lu!"
Iya, gue sok tau. Tapi dengan begitu, diri ini gak mudah ditipu oleh pencitraan semu. Sah-sah saja Jokowi memamerkan pembangunan jalan tol dimasa kepemimpinannya. Tapi masyarakat juga mesti diberi tahu realita dibalik mega proyek itu.
BUMN pada terlilit hutang, harga sahamnya jeblok, ruas jalan tol dilelang hanya untuk menutupi pinjaman. Inilah yang dinamakan proyek gali lobang tutup lobang. Bergaya borju dengan duit hasil ngutang.
(*)