PKI Diberi Ruang Eksistensi, Mengapa HTI dan FPI Dipersekusi?
Oleh: Prof. Dr. Piere Suteki, SH, MHum (Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP)
I. PENGANTAR
Kontroversial. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengeluarkan kebijakan ‘tak biasa.’ Terkait seleksi penerimaan calon prajurit TNI, ia tak ingin anak keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilarang mengikutinya karena tak ada dasar hukumnya. Menurutnya, TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 hanya mengatur dua poin. Pertama, menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang. Kedua, menyatakan komunisme, leninisme, dan marxisme sebagai ajaran terlarang. Tidak ada kata underbow (organisasi sayap) segala macam. Pernyataan itu disampaikan dalam rapat di Subden Denma Mabes TNI, Jalan Merdeka Barat Nomor 2, Jakarta Pusat, Rabu (30/3/2022) dan diunggah di kanal YouTube-nya.
Sebagian kalangan memberikan apresiasi. Ada yang menilainya sebagai kebijakan progresif, antidiskriminasi, sesuai hak asasi manusia (HAM), proporsional, dan seterusnya. Meski demikian, patut dipertanyakan, apakah betul hal ini merupakan upaya untuk patuh pada hukum dan pemenuhan HAM setiap warga negara. Lantas, bagaimana dengan sejarah masa lalu nan kelam terkait upaya makar PKI terhadap negara dan ideologinya, khususnya pada tahun 1948 dan 1965?
PKI dengan ideologi komunisme yang sangat radikal telah menoreh luka lama yang sangat mendalam pada bangsa ini. Dengan ganasnya, PKI telah membantai elemen umat Islam yang terdiri dari para santri, tokoh, ulama, dan ustaz. Sementara pemerintahan negara kini terkesan hendak memoderasinya sehingga akan terlupakanlah sejarah kelam tersebut. Kebijakan Panglima TNI ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kebijakan publik keenam sepanjang era reformasi terkait upaya moderasi radikalnya komunisme di Indonesia.
Selain itu, di satu sisi, PKI sebagai organisasi terlarang seolah diberikan ruang demi eksistensi dan berekspresi, sementara di sisi lainnya, ormas Islam seperti HTI dan FPI yang dibubarkan paksa oleh rezim beberapa waktu lalu kerap dicurigai, aktivisnya dikriminalisasi, kegiatannya diawasi. Padahal yang mereka lakukan dalam rangka dakwah Islam, bukan aktivitas kriminal, tidak mengajak manusia pada anti-Tuhan, pun tanpa bertindak kekerasan. Namun mengapa cap radikal terus disematkan, bahkan disamakan hingga disebut lebih berbahaya daripada PKI. Inikah bukti keadilan yang penguasanya mengklaim sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan?
II. PERMASALAHAN
Untuk menelisik di balik kebijakan membolehkan keturunan PKI mendaftar menjadi anggota TNI, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa perlu pembatasan hak anak keturunan PKI untuk menjadi anggota TNI sehingga kebijakan Panglima TNI Andika Perkasa perlu dikritisi?
2. Apa saja kebijakan publik pemerintahan negara untuk memoderasi radikalisme dan revolusionernya PKI dengan ideologi komunisme?
3. Apakah adil kebijakan publik yang membuka ruang bagi kebangkitan PKI dengan ideologi komunisme (moderasi) sementara di pihak lain ada upaya mempersekusi ormas HTI dan FPI?
4. Bagaimana strategi kewaspadaan nasional dalam rangka mencegah perkembangan ideologi komunisme khususnya di tubuh TNI yang berpotensi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara?
III. PEMBAHASAN
A. Mewaspadai Komunisme Sebagai Bahaya Laten Bangsa
Perbincangan tentang PKI dengan komunismenya biasanya ramai menjelang detik-detik peringatan G 30 S PKI. Eskalasi perbincangan tentangnya makin hangat. Banyak pihak yang mengendus soal kebangkitan, penyusupan PKI di berbagai lini.
Mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menuding komunisme telah menyusup ke tubuh TNI dengan hilangnya patung Soeharto dkk di Markas Kostrad. Sejumlah barang yang dihilangkan, berada di Museum Dharma Bakti. Barang-barang itu berkaitan dengan penumpasan komunisme di tanah air. Beberapa di antaranya yakni diorama patung Soeharto, Sarwo Edhie, dan AH Nasution beserta tujuh pahlawan revolusi hilang (detik.com, 28/9/2022). Apakah betul hilangnya beberapa barang terkait penumpasan PKI yang dipimpin oleh Soeharto merupakan bukti TNI disusupi oleh PKI?
Atas tuduhan ini, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto waktu itu enggan berpolemik soal dugaan penyusupan pendukung PKI di tubuh TNI karena menurutnya hal itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Tidak bisa suatu pernyataan didasarkan hanya kepada keberadaan patung di suatu tempat. Oleh karenanya hal ini perlu diuji lebih lanjut.
Terlepas dari dugaan di atas, berbekal sejarah keji nan kelam dan kerusakan ideologinya, patut bagi bangsa ini untuk terus mewaspadai komunisme kembali. Meski sudah puluhan tahun, kisah kekejian PKI di Indonesia tak pernah memudar. Ini menjadi bukti begitu dalamnya luka yang ditorehkan pada penghuni bumi pertiwi. Namun di sisi lain, diduga para pendukungnya dengan berbagai cara tengah berupaya mengaburkan sejarah kelam PKI. Pun mencoba membangkitkan kembali paham komunisme di tengah masyarakat.
Belajar dari tragedi G 30 S PKI, betapa mengerikan implementasi ajaran komunisme. Secara nyata, paham ini memusuhi agama dan menganggapnya sebagai candu. Agama adalah musuh terbesar ideologi ini. Maka ia akan memusnahkan agama dan para pemeluknya. Penganutnya akan menyerang dan menghabisi segala hal terkait agama. Tak boleh agama hidup, karena tak ada Tuhan bagi mereka.
Pembantaian yang dilakukan PKI terhadap para ulama dan santri tahun 1948 adalah fragmen sejarah kelabu di Indonesia. Di luar negeri pun sama kondisinya. Begitu kejinya perlakuan rezim komunis China terhadap Muslim Uighur. Berbagai ancaman dan siksaan dilakukan demi menghilangkan agama (Islam) pada kehidupan mereka. Bagi kaum komunis China, Islam merupakan ancaman keberlangsungan hidupnya.
Sebagai sebuah ideologi, komunisme tak pernah mati. Pahamnya akan selalu hidup, bergerak, mencari kesempatan agar bisa tumbuh dan eksis. Meskipun hingga saat ini gerakannya belum jelas terlihat, namun gejala keberadaannya mulai nampak. Sangat mungkin ia eksis kembali jika ada peluang dan kesempatan. Maka, komunisme merupakan bahaya laten bangsa ini di samping bahaya aktual ideologi kapitalisme sekuler.
Tak berlebihan jika Sekretaris Dewan Syura PA 212, Slamet Ma’arif, mengkritik kebijakan Panglima TNI yang membolehkan keturunan PKI menjadi anggota TNI. Ia mempertanyakan jaminan keturunan PKI terbebas dari paham komunisme karena faktanya banyak anak keturunan yang terlihat membangkitkan ideologi PKI. Menurutnya, masyarakat harus sadar jika PKI tersebut ada dan bangkit, terlebih kekinian justru ada di lingkar kekuasaan. Ia menyarankan, sebaiknya TNI fokus pada tugasnya menyelesaikan permasalahan tindak terorisme di Papua (populis.id, 31/3/2022).
Selain soal “trauma mendalam,” kekhawatiran berbagai kalangan terhadap kebijakan Panglima TNI ini bisa dimengerti. Keturunan PKI tak hanya soal darah atau genetik, yang memang keradikalan komunisme tak secara otomatis terwariskan. Namun, tak ada jaminan bahwa pelaku atau pendukung PKI tidak menginfiltrasikan ajaran komunisme pada anak keturunannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, tertanam di diri sang anak hingga dewasa.
Oleh karena itu, meski diksi pelarangan anak keturuan PKI menjadi anggota TNI itu tidak ditemukan, alangkah baiknya jika keberadaannya tetap menjadi hal yang mesti diwaspadai. Tentu tak mudah begitu saja menempatkannya dalam posisi strategis di lingkar kekuasaan atau keamanan (militer).
Realitasnya, masih ada upaya pemutarbalikan atau pembelokan sejarah seperti dalam kasus “Kamus Sejarah” yang menonjolkan tokoh-tokoh PKI dan menghilangkan nama tokoh Islam seperti KH Hasyim Asy’ari. Pun patut diwaspadai komunisme gaya baru yang perwujudannya seperti adu domba antarkelompok Islam, kriminalisasi ulama, cenderung antiagama seperti islamofobia.
B. Kebijakan Publik yang Memoderasi Radikalisme dan Revolusionernya PKI dengan Ideologi Komunisme
Sebagaimana beberapa kebijakan sebelumnya, keputusan Panglima TNI ini bisa dinilai sebagai upaya pelemahan radikalisme komunisme atau istilahnya moderasi komunisme dalam kebijakan publik. Moderasi merupakan pemahaman sisi berlawanan dari radikalisasi. Yaitu proses melunakkan keradikalan suatu pemikiran hingga sikap dan tindakan, melalui berbagai sarana baik narasi maupun keputusan konkret.
Sementara komunisme itu paham radikal dan revolusione. Keradikalan komunisme di Indonesia pasca kegagalan pemberontakannya pada 30 September 1965 dapat kita deteksi hendak dilunakkan melalui berbagai kebijakan publik berupa keputusan dan putusan kelembagaan negara.
Berikut lima kebijakan publik selain diizinkannya anak keturuan PKI menjadi anggota TNI yang ditengarai sebagai bentuk moderasi komunisme di Indonesia.
Pertama, upaya pencabutan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 telah dilakukan sejak Presiden Abdurrahman Wahid.
Setidaknya ada tiga alasan objektif Gus Dur. Pertama, konsep-konsep marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan perguruan tinggi. Kedua, era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara Uni Soviet di ujung babak perang dingin. Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan.
Presiden Gus Dur menerima banyak tekanan dari kelompok-kelompok penentangnya seperti MUI, PBB, dan FUII. Di sisi lain, dukungan atas ide Gus Dur mengalir terutama dari kalangan generasi muda, aktivis gerakan HAM dan lingkungan perguruan tinggi. Kontroversi ini berakhir bersamaan berakhirnya kepemimpinannya. Pada Rapat Fraksi Komisi B DPR RI, Ahad (3/8/2003), semua fraksi sepakat tidak mencabut TAP MPRS ini. Dalam Sidang Tahunan MPR 2003, Ketua MPR Amien Rais menandaskan tetap mempertahankan TAP MPRS XXV/1966, sekaligus penetapan MPR atas ketetapan MPRS yang terdahulu.
Kedua, tidak menjadikan Tap MPRS XXV/1966 sebagai pertimbangan dalam pembentukan RUU HIP pada tahun 2020.
Untuk apa sebenarnya RUU HIP dan RUU BPIP ini dibuat? Kecurigaan terbukti ketika fraksi-fraksi pengusungnya menolak dimasukkannya TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan menganut ideologi komunisme, marxisme, leninisme. Protes umat Islam menggema menolak RUU HIP karena penolakan TAP MPRS tersebut sebagai politik hukumnya.
Terakhir, inisiator RUU HIP setuju memasukan TAP MPRS tersebut dengan syarat paham lain yang mengancam dan bertentangan dengan Pancasila dicantumkan juga sebagai ideologi terlarang. Sekjen PDIP menyebut dua ideologi yang dimaksud yaitu khilafahisme dan radikalisme.
Ketiga, hak dipilih diberikan kembali berdasarkan Putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan HAM yang dijamin oleh UUD 1945. Dalam putusan akhirnya, Selasa (24/2/2003), MK menyatakan pasal tersebut tak lagi berkekuatan hukum mengikat sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti PKI juga berhak dipilih dalam Pemilu.
Nampak terjadi pelonggaran untuk konsolidasi paham komunisme sedangkan patut diduga kegiatan mereka makin berani dan terang-terangan. Adapun dissenting opinion Hakim MK Achmad Roestandi, pembatasan hak dipilih eks anggota PKI dan yang terlibat itu konstitusional. Di Indonesia, berdasarkan UUD 1945 pembatasan seperti itu bisa dilakukan oleh pembuat UU terhadap semua HAM yang tercantum dalam keseluruhan Bab XV Hak Asasi Manusia, kecuali terhadap hak-hak yang tercantum dalam pasal 28 I, yaitu: hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Pembatasan dalam Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tersebut tidak termasuk dalam salah satu hak yang disebut dalam Pasal 28 I ayat (1), maka tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Hakim Achmad Roestandi, pembatasan ini tidak bersifat permanen, tetapi situasional terkait intensitas peluang penyebaran kembali paham komunisme/marxisme-leninisme dan konsolidasi PKI. Sementara, penyebaran komunisme dan konsolidasi PKI tidak dikehendaki rakyat Indonesia, dengan tetap diberlakukannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 oleh MPR hingga saat ini.
Keempat, penerbitan SKKPH oleh Komnas HAM.
Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia atau Center for Indonesian Community Studies (CICS) menyatakan keberatan terhadap penerbitan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH) bagi orang-orang eks PKI oleh Komnas HAM (antaranews.com, 1/10/2019). CICS khawatir SKKPH nantinya dibawa ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan selanjutnya bisa menjadi jalan bagi PKI untuk kembali mendapatkan legitimasi di Indonesia.
Menurut Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965, Bedjo Untung, sampai hari ini sudah 3.000-an SKKPH diterbitkan. Melalui SKKPH, eks-PKI diakui lembaga negara sebagai korban. Berarti pelaku pemberontakan 1965 bukan PKI. Dengan begitu mereka bersih, selanjutnya bisa menuntut kompensasi, ganti rugi, rehabilitasi, dan mendesak negara minta maaf, TAP MPRS XXV 1966 dicabut, akhirnya PKI hidup lagi.
Kelima, upaya rekonsiliasi PKI sebagai "korban".
Balairung (27/7/2019) mewartakan tentang rekonsiliasi korban "pembantaian 1965". Upaya rekonsiliasi antara pihak "korban" pemberontakan PKI terus dilakukan. Namun dari pihak pendukung rekonsiliasi, ada dua kelompok yang cukup sulit menerima upaya rekonsiliasi seperti angkatan bersenjata dan beberapa kelompok keagamaan.
Ada yang berpandangan, rekonsiliasi itu mustahil dilakukan bahkan dikatakan penyelesaian kasus penumpasan PKI 1965-1966 adalah pekerjaan pelik hingga saat ini. Penumpasan itu terjadi tidak dapat dipisahkan dari makar PKI khususnya pada tahun 1956. Rekonsiliasi yang mengklaim PKI adalah korban, bukan pelaku makar tampaknya akan sulit terwujud bahkan membuka luka lama berupa dendam politik yang tidak berkesudahan. Sejarah membuktikan bahwa makar PKI telah merenggut ribuan jiwa, sebuah fakta yang sulit dipungkiri. Jadi, masih perlukah rekonsiliasi?
Demikianlah berbagai kebijakan publik yang dinilai sebagai upaya moderasi radikalisme dan revolusionernya PKI dengan ideologi komunismenya. Jika hal semacam ini terus terjadi dan tidak mendapat perlawanan dari elemen masyarakat, khususnya umat Islam, sangat mungkin sejarah kelam PKI akan terhapus dari bumi pertiwi. Selanjutnya para pendukungnya kian berani mengeksiskan diri melalui berbagai jalur yang telah diakses termasuk lewat kekuasaan.
C. PKI Diberi Ruang Eksistensi, Ormas Islam HTI dan FPI Dipersekusi
Dari berbagai kebijakan publik yang memoderasi keradikalan ideologi komunisme dan PKI sebagaimana disebutkan di bagian sebelumnya, nampak bahwa pelaku dan pendukung PKI seolah diberi ruang untuk kembali bangkit dan eksis. Apa jadinya jika di masa pemerintahan Gus Dur, TAP MPRS tentang PKI sebagai partai terlarang dan larangan menyebarkan komunisme, marxisme, leninisme berhasil dicabut? Apa jadinya bila RUU HIP dan RUU HIP disahkan sementara tidak menggunakan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 sebagai politik hukumnya?
Dan kini, anak keturunan PKI dinyatakan bebas menjadi anggota TNI. Padahal TNI sebagai penjaga kedaulatan bangsa dan negara harus menjadi garda terdepan dalam menghadapi ancaman dan serangan ideologi berbahaya seperti komunisme. Sejak dahulu pun TNI berada di garis depan dalam menumpas PKI. Tidakkah ada kekhawatiran jika kebijakan Panglima TNI itu justru akan merapuhkan ketahanan TNI dan berpotensi memecah tubuh TNI?
Berbanding terbalik dengan upaya memoderasi keradikalan komunisme. Pemerintah justru gencar meradikalkan ormas Islam yang pada dasarnya tidak melakukan tindakan kekerasan, seperti HTI dan FPI yang telah dibubarkan paksa beberapa waktu lalu. Hingga kini, eks HTI dan FPI masih sering dipersekusi dan tak lepas dari sematan kelompok radikal yang harus diwaspadai.
Sebagaimana pesan Menag Yaqut Cholil Qoumas kepada GP Ansor dalam Konferensi Besar XXV GP Ansor di Kalimantan Selatan, Rabu (30/3/2022), agar tidak membiarkan pemerintah sendirian menghadapi eks anggota HTI dan FPI yang masih berkeliaran di bawah tanah dan meminta GP Ansor merumuskan cara-cara menghadapinya (cnnindonesia.com, 30/3/2022).
Rezim berkuasa nampak mendorong masyarakat untuk menjadikan HTI dan FPI sebagai common enemy (musuh bersama). Berikut pola tindakan yang dilakukan terhadap HTI dan FPI:
Pertama, organisasinya dibubarkan dan terus diawasi.
HTI dibubarkan pada 19/7/2017 melalui Kemenkumham mencabut status Badan Hukum HTI berdasarkan SK Menkumham No. AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan keputusan Menkumham No. AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI. Sebagai tindak lanjut Perppu No. 2 Tahun 2017 yang mengubah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Adapun FPI dibubarkan melalui SKB Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung RI, Kapolri dan Kepala BNPT tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI, Rabu (30/12/2020). Pendakwah kedua “ormas terlarang” ini pun dilarang tampil di stasiun televisi berdasarkan SE KPI Nomor 2 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadhan. Selain itu, eks HTI dan FPI juga dilarang ikut Pemilu. Rekening pribadi dan organisasi FPI juga dibekukan.
Kedua, aktivisnya dikriminalisasi hingga dipersekusi.
Beberapa aktivis dan simpatisan HTI di kampus dipecat dari jabatannya, telah beberapa kali beredar data ilegal penceramah/ustaz radikal berisi nama-nama eks pengurus, anggota, dan simpatisan HTI. Selain itu, salah satu eks HTI di Kalsel hingga hari ini masih ditahan dengan tuduhan menyebarkan ajaran HTI padahal sebelumnya telah dibebaskan.
Eks FPI diperlakukan lebih keji lagi. Pimpinannya divonis empat tahun penjara dijerat pasal berlapis, enam laskar FPI diduga kuat dibunuh secara unlawfull killing namun dua terdakwa pelakunya dibebaskan, dan mantan Sekjen FPI ditahan dengan tuduhan terorisme.
Ketiga, idenya dimonsterisasi.
Bahkan dalam diskusi dengan Radio Elshinta (30/9/2021), Jenderal Dudung melontarkan narasi bahwa tak hanya PKI yang harus diwaspadai, justru bahaya ekstrem kanan (radikalisme) lebih aktual. Terlebih isu khilafah yang belakangan kian ramai ada di masyarakat. Padahal khilafah adalah ajaran Islam, sebutan bagi sistem pemerintahan Islam yang bersumber pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.
Jika realitasnya seperti ini, ketidakadilan telah nyata dipertontonkan. Padahal FPI dan HTI “hanya” menjalankan titah Tuhannya untuk mendakwahkan Islam ke tengah masyarakat. Itu pun tanpa jalan kekerasan. Lantas di manakah kesalahannya?
Mereka tidak korupsi alias maling uang rakyat, tidak melakukan aktivitas makar atau separatisme berikut membunuh tentara, guru, dan tenaga kesehatan, seperti KKB di Papua. Pun bukan mafia penyebab harga minyak goreng melambung dan mencekik rakyat. Namun mengapa diperlakukan sewenang-wenang oleh rezim? Ormas Islam yang berdakwah Islam di negeri mayoritas berpenduduk Muslim, namun dipersekusi oleh penguasa Muslim. Sungguh, ironi di atas ironi.
D. Strategi Kewaspadaan Nasional demi Mencegah Perkembangan Ideologi Komunisme Khususnya di Tubuh TNI yang Berpotensi Membahayakan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah mengabaikan sejarahnya. Moshe Dayan, seorang ahli strategi militer Israel bahkan menyatakan bahwa suatu bangsa tidak akan bisa bangkit kembali ketika (1) Tidak peduli dengan sejarahnya; (2) Tidak memiliki perencanaan yang matang dan detail melainkan spontanitas dan tidak detail; (3) Tidak memiliki literasi tinggi (malas baca). Bangsa ini pun telah mengalami pahit getirnya kehidupan akibat sering melupakan sejarah, tidak mengambil pelajaran darinya, dan membiarkan sejarah pilu terus berulang.
Komunisme yang pernah mengejawantah ke dalam PKI telah terbukti melakukan makar, namun moderasi demi moderasi terhadapnya melalui kebijakan publik makin terasa. Jika kita tidak waspada, pasti ideologi yang jelas bertentangan dengan sebagian besar anak bangsa Indonesia ini akan bangkit kembali melalui kebijakan publik yang makin menguatkan posisinya.
Berikut ini beberapa strategi kewaspadaan nasional demi mencegah perkembangan ideologi komunisme khususnya di tubuh TNI yang berpotensi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara:
1. Membina masyarakat dengan iman dan takwa kepada Allah SWT atau meningkatkan aspek religiusitas. Inilah pondasi utama sekaligus filter bagi masyarakat untuk menyaring mana ideologi (paham) rusak dan mana yang baik.
2. Memahamkan masyarakat, khususnya kepada para tokoh upaya tentang kontra opini terhadap pengembangan komunisme, kewaspadaan menghadapi cara-cara komunisme, dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya latennya.
3. Ajaran komunisme, marxisme, leninisme, secara formal telah dilarang melalui TAP MPRS No. XXV Tahun 1966, namun secara substansi belum terjabarkan ke dalam peraturan perundang-undangan pada semua aspek kehidupan. Untuk itu seyogyanya:
a) Substansi larangan tersebut perlu segera dimasukkan dalam seluruh peraturan perundang-undangan dengan disertai sanksi tegas agar mampu mencegah secara konstitusional berkembangnya gerakan bernuansa komunisme;
b) Untuk mencegah adanya dugaan pelanggaran HAM, maka pengkajian akademik tentang komunisme harus diatur jelas dan ada lembaga yang mempertanggungjawabkannya.
4. Meningkatkan ketahanan masyarakat melalui berbagai upaya:
a) Peningkatan kesadaran berpartisipasi dalam pembangunan;
b) Pemberdayaan masyarakat khususnya pada warga miskin, mewujudkan lapangan kerja baru, dan menata sistem pengupahan ketenagakerjaan;
c) Menerapkan sistem atau kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat berbasis pemerataan dan keadilan distribusi kekayaan.
5. Meningkatkan kinerja aparatur pemerintah melalui peningkatan moralitas dan profesionalisme dengan mengedepankan unsur pelayanan dan keadilan.
6. Terus menjalankan fungsi pengawasan. Upaya peningkatan kemampuan intelejen aparatur negara dan pemantauan terhadap gerakan bernuansa komunisme lebih ditingkatkan.
7. Khususnya bagi lembaga TNI, hendaknya:
a) Melakukan rekrutmen ketat terhadap calon anggotanya. Hal ini sebagai bentuk kewaspadaan akan menyusupnya paham komunisme dalam tubuh TNI. Salah satunya dengan meniadalan kebolehan anak keturunan PKI menjadi anggota TNI;
b) Internal TNI harus memiliki kesamaan dan kesepahaman dalam menentukan parameter/syarat penerimaan anggota TNI terkait PKI atau paham komunisme. Sebelum terjadi kesepahaman, tidak melempar narasi apapun ke publik agar tak menjadi polemik.
Demikian beberapa strategi kewaspadaan nasional untuk mencegah masuk dan berkembangnya paham atau ideologi komunisme di tengah masyarakat, khususnya dalam tubuh TNI. Semua elemen masyarakat harus bersinergi agar ideologi rusak ini tak lagi hadir di negeri mayoritas berpenduduk Muslim ini.
IV. PENUTUP
Dari penjelasan di atas, kami mengajukan kesimpulan sebagai berikut:
1. Tak ada jaminan bahwa pelaku atau pendukung PKI tidak menginfiltrasikan ajaran komunisme pada anak keturunannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, tertanam di diri sang anak hingga dewasa.
Meski diksi pelarangan anak keturuan PKI menjadi anggota TNI itu tidak ditemukan, alangkah baiknya jika keberadaannya tetap menjadi hal yang mesti diwaspadai. Tentu tak mudah begitu saja menempatkannya dalam posisi strategis di lingkar kekuasaan atau keamanan (militer).
Realitasnya, masih ada upaya pemutarbalikan atau pembelokan sejarah seperti dalam kasus “Kamus Sejarah” yang menonjolkan tokoh-tokoh PKI dan menghilangkan nama tokoh Islam seperti KH Hasyim Asy’ari. Pun patut diwaspadai komunisme gaya baru yang perwujudannya seperti adu domba antarkelompok Islam, kriminalisasi ulama, cenderung antiagama seperti islamofobia.
2. Keputusan Panglima TNI ini bisa dinilai sebagai upaya pelemahan radikalisme komunisme atau istilahnya moderasi komunisme dalam kebijakan publik. Moderasi merupakan pemahaman sisi berlawanan dari radikalisasi. Yaitu proses melunakkan keradikalan suatu pemikiran hingga sikap dan tindakan, melalui berbagai sarana baik narasi maupun keputusan konkret. Keradikalan komunisme di Indonesia dapat kita deteksi hendak dilunakkan melalui berbagai kebijakan publik berupa keputusan dan putusan kelembagaan negara.
Kebijakan publik selain diizinkannya anak keturuan PKI menjadi anggota TNI yang ditengarai sebagai bentuk moderasi komunisme di Indonesia yaitu: upaya pencabutan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 telah dilakukan sejak Presiden Abdurrahman Wahid, tidak menjadikan Tap MPRS XXV/1966 sebagai pertimbangan dalam pembentukan RUU HIP tahun 2020, hak dipilih diberikan kembali berdasarkan Putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003, penerbitan SKKPH oleh Komnas HAM, serta upaya rekonsiliasi PKI sebagai "korban".
3. Dari berbagai kebijakan publik yang memoderasi keradikalan ideologi komunisme dan PKI sebagaimana disebutkan di bagian sebelumnya, nampak bahwa pelaku dan pendukung PKI seolah diberi ruang untuk kembali bangkit dan eksis. Berbanding terbalik dengan upaya memoderasi keradikalan komunisme. Pemerintah justru gencar meradikalkan ormas Islam yang pada dasarnya tidak melakukan tindakan kekerasan, seperti HTI dan FPI yang hingga kini masih sering dipersekusi dan tak lepas dari sematan kelompok radikal yang harus diwaspadai.
Rezim berkuasa nampak mendorong masyarakat untuk menjadikan HTI dan FPI sebagai common enemy (musuh bersama). Pola tindakan yang dilakukan terhadap HTI dan FPI: organisasinya dibubarkan dan terus diawasi, aktivisnya dikriminalisasi hingga dipersekusi, dan idenya dimonsterisasi. Ketidakadilan telah nyata dipertontonkan. Padahal FPI dan HTI “hanya” menjalankan titah Tuhannya untuk mendakwahkan Islam ke tengah masyarakat. Itu pun tanpa jalan kekerasan. Lantas di manakah kesalahannya? Ormas Islam yang berdakwah Islam di negeri mayoritas berpenduduk Muslim, namun dipersekusi oleh penguasa Muslim. Sungguh, ironi di atas ironi.
4. Strategi kewaspadaan nasional demi mencegah perkembangan ideologi komunisme khususnya di tubuh TNI yang berpotensi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara antara lain: membina masyarakat dengan iman dan takwa kepada Allah SWT, memahamkan masyarakat khususnya kepada para tokoh upaya kontra opini terhadap pengembangan komunisme, kewaspadaan menghadapi cara-cara komunisme, dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya latennya. Selain itu menjabarkan secara substansi larangan ajaran komunisme, marxisme, leninisme, ke dalam peraturan perundang-undangan. Pun meningkatkan ketahanan masyarakat melalui berbagai upaya, meningkatkan kinerja aparatur pemerintah melalui peningkatan moralitas dan profesionalisme, serta terus menjalankan fungsi pengawasan.
Khusus bagi lembaga TNI, hendaknya melakukan rekrutmen ketat terhadap calon anggotanya serta internal TNI harus memiliki kesamaan dan kesepahaman dalam menentukan parameter/syarat penerimaan anggota TNI terkait PKI atau paham komunisme. Semua elemen masyarakat harus bersinergi agar ideologi rusak ini tak lagi hadir di negeri mayoritas berpenduduk Muslim ini.(*)