[Catatan Agustinus Edy Kristianto]
Pesan demo 11 April 2022 telah direduksi. Dikecilkan sebatas penjadwalan pemilu. Mahasiswa yang betul-betul menuntut perbaikan justru ditenggelamkan suaranya. Dimanipulasi gambarannya bak anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
Padahal, di dalam jantung merekalah, suara moral berdegup kencang tentang cita-cita Indonesia: Good Governance. Negara yang adil dan sejahtera. Negara yang tidak dibajak oleh elite bisnis dan politik yang serakah dan korup. Negara yang bersih dari KKN dan benturan kepentingan pejabat.
Kita kerucutkan saja. Mengapa Presiden Jokowi tak menghukum menteri-menteri yang mendorong 3 periode? Mengapa Menko Marives LBP (menkosaurus---julukan populer dari warganet) begitu kuat dan memegang banyak jabatan strategis?
Mengapa kontrol kebijakan ekonomi cenderung terkonsentrasi di satu pintu? Siapa saja yang diuntungkan dengan keadaan seperti itu? Apa kondisi yang melatari semuanya? Jika pun pemilu terjadi, apakah mungkin tidak dibajak lagi oleh kekuatan oligarki yang selama Jokowi memerintah semakin kokoh menancapkan taji, sementara masyarakat sibuk saling cibir alias terpolarisasi?
Siapa dan bagaimana 'presiden yang sesungguhnya' memerintah?
Orang banyak tahu bahwa bisnis menkosaurus berawal dari Wisma Bakrie. Sampai sekarang darahnya kuning. Ia menjabat Ketua Dewan Penasihat Golkar.
Perusahaannya PT Toba Sejahtra (ganti nama saat ini PT TBS Energi Utama, Tbk. Kode saham: TOBA). Bisnisnya batu bara.
Sejak 2015, ia menduduki jabatan strategis mulai dari Kepala Staf Kepresidenan, Menteri ESDM, Menkopolhukam, Menko Marives, belum lagi jabatan-jabatan lain seperti Koordinator PPKM, koordinator sumber daya air, dsb.
Bagaimana ia membangun kekayaan?
Pada 2016, ia tercatat mengempit 99% saham TOBA. TOBA adalah pemegang mayoritas saham Toba Bara Sejahtra sebanyak 72%. Pada November 2016, ia jual 61,79% saham Toba Bara ke sebuah entitas Singapura bernama Highland Strategic Holding Pte., Ltd. Transaksi selesai pada Januari 2017.
Mengutip Laporan Keuangan Triwulan III 2021, saat ini Highland adalah pengendali TOBA dengan kepemilikan saham 61,91%. Sementara ada entitas bernama Bintang Bara B.V menguasai 10%, dan PT Toba Sejahtra 10%. Makanya, dalam suatu wawancara, ia berkata kepemilikannya di perusahaan tinggal 10%.
Apakah kita percaya sampai di situ saja? Tentu tidak. Apakah kita usil dengan kekayaan orang? Tidak juga. Ingat, ia adalah pejabat publik dan transaksi itu terjadi ketika ia aktif sebagai penyelenggara negara.
Pertanyaannya, Highland itu siapa? Berapa nilai transaksinya? Kenapa badan hukumnya Singapura? Siapa Pemilik Manfaat sebenarnya?
Kecurigaan tentang Highland itu pernah dipersoalkan oleh lembaga internasional Global Witness. Alasannya kepemilikin bisnis oleh pejabat sangat berpotensi konflik kepentingan.
UU Minerba, Omnibus Law, perpanjangan izin batu bara adalah sejumlah contoh konteks momentum bisnis dan politiknya.
Mengejar siapa Pemilik Manfaat (Ultimate Beneficial Owner) itu bukan usil. Ada aturannya: Perpres 13/2018 yang diteken Jokowi sendiri.
Pemilik Manfaat adalah orang perseorangan yang .... intinya merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi. Menurut perpres itu, si Pemilik Manfaat tak harus dia yang mempunyai saham lebih dari 25% atau hak suara lebih dari 25%, tetapi bisa juga orang perseorangan yang "memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun, menerima manfaat dari PT, dan merupakan pemilik dana sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham PT."
Nilai transaksi antara TOBA dan Highland itu tidak terbuka untuk publik. Wall Street Journal mengacu harga saham TOBA saat itu (Rp900/lembar), sehingga nilai transaksi diperkirakan Rp1,119 triliun.
Reuters menaksir US$46 juta. Dikatakan bahwa Highland mengambil alih utang Toba Bara ke TOBA sebesar US$25,8 juta sehingga total transaksi diperkirakan US$71,8 juta.
Itu persis seperti yang tercatat di LK III 2021 TOBA bahwa Highland mengakui utang kepada TOBA US$25 juta yang harus dilunasi selama 8 tahun dengan bunga 6,25%/tahun. Makanya setiap tahun TOBA dapat income dari pembayaran bunga itu sebesar US$1 juta.
Highland ini misterius. Siapakah orang kaya di atas LBP yang menjadi hidden buyer? Atau jangan-jangan orang TOBA juga? Atau dari Wisma B di atas? Atau lagu lama gadai saham belaka?
Berita hanya melansir bahwa Highland dimiliki oleh Watiga Trust. Cukupkah keterangan ini? Tidak. Sebab Watiga hanyalah pengelola investasi institusi/orang yang masuk kategori high net-worth individual yang berkedudukan di Arab Street, Singapura.
Pendiri Watiga adalah Matt Richards, fund manager yang fasih berbahasa Indonesia dan cukup aktif bolak-balik Indonesia-Singapura. Matt juga tercatat sebagai direktur Trikomsel.
Namun, terdapat indikasi kuat selain dengan Watiga, peran lain dijalankan oleh perusahaan investasi bernama Lynx Asia Partners, yang juga berbasis di Singapura dan mengklaim mengelola dana US$10 miliar lebih.
CEO Lynx adalah Djamal Attamimi. Managing partner Dicky Yordan. Djamal adalah Komisaris TOBA. Dicky adalah Dirut TOBA.
Untuk urusan bursa saham, ada nama Pandu Patria Syahrir sebagai Wadirut TOBA, yang juga Komisaris Bursa Efek Indonesia.
Begitulah lapisannya.
Artinya, meskipun hanya tercatat memiliki 10% saham TOBA, bisa jadi menko dimaksud masih menjadi Pemilik Manfaat TOBA (sesuai dengan ketentuan Perpres 13/2018).
Dengan demikian potensi benturan kepentingan sangat besar. Itu ditunjukkan misalnya saat ia memblok kebijakan larangan ekspor batu bara pada awal tahun ini, ketika harga batu bara dunia sedang naik.
Jika pun bukan dia, silakan buka big data, siapa orang kaya banget di atas yang bersangkutan sebagai bohir. Kita mau tahu siapa yang mengendalikan Indonesia sesungguhnya!
Perpres memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengaudit siapa Pemilik Manfaat yang harusnya dilaporkan berkala sekali setahun.
Hal itu penting diungkap, sebab terbukti Presiden Jokowi lemas-lunglai tak berdaya di hadapan mereka. Akibatnya, bisnis mereka lestari dan berkembang biak, dalam posisi yang bersangkutan sebagai pejabat aktif dan akhirnya merembet ke mana-mana yang berpotensi mengusik kepentingan negara.
Buktinya adalah portofolio Lynx Asia Partners mencantumkan perusahaan yang tidak asing di telinga kita.
TOBA, jelas.
Lalu Odin Automotive. Indonesia Battery Corporation (IBC) diberitakan akan mengakuisisi startup mobil listrik Jerman, StreetScooter.
IBC adalah holding 4 BUMN yakni Pertamina, Mind Id, PLN, Antam. IBC diberitakan akan masuk ke StreetScooter lewat Odin Automotive. Odin adalah perusahaan asal Luxemburg yang pemegang saham utamanya adalah Stefan Krause, Djamal Attamimi (komisaris TOBA), dan Matt Richards (Founder Watiga).
Investasi Lynx lainnya adalah Amartha. Ini adalah perusahaan fintek (pinjol juga sebenarnya) yang digawangi Andi Taufan Garuda, bekas staf khusus milenial Jokowi, yang kondang karena skandal surat cinta untuk para camat.
Bisnis lainnya adalah perusahaan patungan GOTO (di dalam GOTO ada Astra yang juga semangat membuat kendaraan listrik) dan TOBA bernama Electrum, yang bermitra juga dengan BUMN Pertamina dan WIKA (produsen motor listrik Gesits).
Mereka tahu peta, sebab agenda G20 didorong ke transisi energi berkelanjutan melalui pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Sebelumnya kita sudah tahu juga bahkan urusan PCR pun ada mereka, melalui PT GSI. Menkosaurus adalah Koordinator PPKM.
Di GOTO, keponakannya yang menjadi wadirut TOBA menjadi pengurus GOTO.
Rakabu Sejahtra, perusahaan mebelnya Jokowi, berpartner dengan TOBA. Kaesang adalah komisaris dan pemegang 51% saham.
Jadi, begitulah konteksnya. Intensi untuk terus mempertahankan Jokowi sebagai presiden itu nyata adanya, terlepas dari segala bantahan pihak sana.
Sebab, berkuasa itu enak dan perlu.
Kaya raya.
Berkuasa.
Dapat nama.
Dielu-elukan orang dengan tagar #sayabersama bla-bla-bla.
Logis, kan?
Itulah mengapa mereka sampai terpikir untuk mengubah konstitusi.
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)