LASKAR-LASKAR PELINDUNG KYIV
- Ukraina membentuk milisi-milisi untuk menghadapi serangan Rusia.
- Para milisi dipersenjatai oleh Angkatan Bersenjata Ukraina dan bertugas menjaga kota.
- Resimen Azov, yang dituduh sebagai kelompok ultra-nasional, memperkuat barisan milisi.
PERAWAKAN Aztyom bak raksasa. Berkepala plontos dan berjanggut tipis, badannya menjulang hampir dua meter. Di pundak kanan, ia memanggul senapan laras panjang lengkap dengan keker. Selain membawa senjata, Aztyom selalu mengenakan rompi antipeluru ke mana pun ia pergi selama perang Rusia-Ukraina. Terselip pisau lipat dan bordiran golongan darah AB+ di rompi anggota milisi Ukraina itu.
Aztyom lahir di Moskow, Rusia, pada 1990. Ia aktif menjadi anggota Resimen Azov, salah satu unit di bawah komando Garda Nasional Ukraina, sejak 2018. Di tanah kelahirannya, Aztyom mengaku ditekan pemerintah karena lantang memprotes kebijakan Presiden Rusia Vladimir Putin yang melancarkan agresi militer ke Ukraina. Ia menghadapi sejumlah dakwaan melawan rezim. “Saya kabur ke Ukraina sehari sebelum ditangkap,” ujarnya di Kyiv pada Senin, 11 April lalu.
Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari lalu membuat kiprah Resimen Azov mencuat kembali. Beberapa saat sebelum melancarkan serangan penuh ke sejumlah kota di Ukraina, Putin berpidato bahwa Rusia berupaya melakukan demiliterisasi dan memberangus gerakan Nazi yang tumbuh di Ukraina. Yang dimaksud Kremlin adalah eksistensi Azov, kelompok milisi sayap kanan yang dianggap berhaluan ultra-nasionalis.
Berdiri pada 2014, ketika Rusia menganeksasi Krimea, Resimen Azov diklaim sebagai grup relawan yang berjuang untuk mempertahankan wilayah Ukraina dari serangan Rusia. Pada 2016, Azov memisahkan sayap politik dan militernya. Palagan Azov berada di sisi timur Ukraina, termasuk wilayah Mariupol pada perang tahun ini.
Menurut Aztyom, tuduhan Putin terhadap Azov mengada-ada. Semangat nasionalisme yang diusung Azov tidak seperti Partai Nazi pimpinan diktator Adolf Hitler. “Kami memaknai nasionalisme sebagai tindakan patriotik yang bertempur mati-matian untuk mempertahankan kedaulatan,” ucap anggota Divisi Badai di Resimen Azov ini.
Aztyom menilai bahwa menghubungkan antara operasi Resimen Azov dan gerakan anti-semitisme merupakan hal yang aneh. Apalagi bila Rusia mengaitkannya dengan latar belakang Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy sebagai keturunan Yahudi. Aztyom mengaku tak pernah mempersoalkan isu tersebut.
Bekas aktivis ini malah menilai Putin terlalu ikut campur urusan domestik negara lain dengan menyerang Ukraina, sementara masih banyak warga Rusia yang hidup miskin. “Dia akan dicatat sebagai penjahat perang,” kata Aztyom, yang yakin Ukraina bakal memenangi pertempuran dengan Rusia.
Perang dengan Rusia juga mengundang warga sipil berbondong-bondong menjadi anggota pasukan teritorial. Salah satunya Said Ismahilov. Sebelumnya, pria 43 tahun ini adalah ulama dan mengajar mata kuliah sejarah dan filsafat Islam di Ukrainian Islamic University. Dua bulan sebelum Rusia menyerbu Ukraina, Ismahilov sudah menjadi milisi pertahanan kawasan di Distrik Svyetyskya. “Sejak 24 Februari lalu, saya bukan hanya ulama, tapi juga anggota pasukan teritorial,” katanya.
Ismahilov berdinas di Kota Irpin dan Bucha. Menyandang senapan Kalashnikov tipe AK-100, ia menyisir dua kota yang porak-parik diterjang misil Rusia. Ketika dua wilayah itu sudah dikuasai militer Ukraina, Ismahilov berpatroli ke permukiman dan apartemen. Ia melihat pintu-pintu rumah sudah rusak dan barang elektronik di rumah penduduk raib. Di Irpin, ia ditugasi mengevakuasi sekitar 20 orang yang terjebak pertempuran. Misi itu sukses dan tak ada warga sipil yang tertembak.
👉Selengkapnya di Majalah TEMPO edisi terbaru