[PORTAL-ISLAM.ID] Tenggarong – Tanah yang akan dibangun sebagai wajah baru Ibu Kota Negara (IKN) di sebagian Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU) dan sebagiannya lagi di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar) tak selalu berjalan mulus. Meski pemerintah jauh-jauh hari sebelumnya telah menyatakan kalau lahan itu murni milik negara. Saat ini, timba gelombang penolakan dari Keluarga Besar dan Kerabat Kesultanan Kutai Ing Martadipura.
Meski sempat beberapa kali sebelumnya pernyataan ini telah dilontarkan namun, saat itu juga pemerintah melalui Gubernur Kaltim Isran Noor telah membantahnya. Kendati demikian, persoalan kepemilikan lahan ini, 6 pemangku hibah membeberkan sejumlah bukti baru atas kepemilikan lahan Kesultanan Kutai Kartanegara yang diklaim menjadi milik pemerintah.
Melalui satu anggota kuasa hukumnya, 6 Pemangku Hibah Grand Sultan, Muhammad Marwan memaparkan, pengakuan atas kepemilikan tanah milik kerabat kesultanan tertuang dalam surat Pengadilan Negeri Tenggarong yang berisikan Surat Ketua Pengadilan Daerah Tingkat II Kutai nomor: W.1.8 PCHT.10-76-A/1997.
Di situ menyebutkan, memandang sangat perlu adanya penetapan kepemilikan tanah adat keluarga besar Kesultanan Kerajaan Kutai Kartanegara/Grand Sultan sebagai jaminan perlindungan hukum bagi setiap ahli warisnya.
“Selain itu, hak kepemilikan yang sah juga tercantum di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) no: 05/lhn-1960, Pasal 20, ketentuan konversi Pasal 18 (Grand Sultant) tanggal 24-9-1960, terkait hukum adat, dikuatkan Peraturan Menteri Pertanahan dan Agraria No. 03/1962,” beber Marwan, Minggu saat dikonfirmasi.
Selain itu, Marwan juga menunjukkan beberapa bukti lainnya yang tertuang dalam Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai nomor: HUK-898/C-43/Ahr080/1973 tentang Penetapan Hak Kepemilikan Tanah Adat Keluarga Besar Grand Sultan.
Di situ menyatakan, hak kepemilikan hibah tanah adat Kesultanan Kutai serta isi kandung buminya, meliputi Muara Wahau dan sekitarnya, Bentian Besar dan sekitarnya. Hak kepemilikan tanah adat juga meliputi Sangkulirang, Bontang, Sangatta, Muara Badak, Sanga-Sanga, Anggana, Long Pahangai, Long Iram, Tabang, S.Seluwang, Samboja dan sekitarnya, serta meliputi wilayah kesultanan se-Kabupaten Tingkat II Kutai.
“Seluruh tanah itu masuk dalam hak milik keluarga Kesultanan Kutai Kartanegara,” tuturnya.
Sementara eksistensi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sudah sangat jelas secara historis. Merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 35/PUU-X/2012 tentang putusan dalam perkara pengujian Undang-Undang nomor 41/1999 tentang Kehutanan, dalam amar putusan poin 1.2, Pasal 1 angka 6, Undang-Undang nomor 41/1999 tentang Kehutanan, mengatur adanya hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Kemudian di poin 1.3, Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang nomor 41/1999 tentang Kehutanan, menyebutkan, penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Putusan itu diperkuat dalam surat edaran Menteri Kehutanan nomor: SE.1/Menhut-11/2013 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 35/PPU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2016. Termasuk dalam Undang-Undang nomor 41/1999, Pasal 5 Ayat (1) mengatur, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara, hutan adat, dan hutan hak.
“Pertanyaannya, kalau hutan adat saja diatur, mengapa yang menjadi hak Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura tidak diakui pemerintah,” kata Marwan.
“Apalagi sebelumnya Gubernur Kaltim Isran Noor mengatakan bahwa, semua tanah yang ada di lokasi IKN adalah milik negara. Padahal itu nyata-nyata adalah milik kerabat Kesultanan Kutai,” sambungnya.
Setidaknya terdapat lahan seluas 120 ribu hektare milik kerabat Kesultanan Kutai Ing Martadipura yang disebut diklaim pemerintah sebagai tanah milik negara. Lahan itu terbentang di daerah Sepaku dan Semoi, Penajam Paser Utara (PPU) serta di Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
“Semua itu merupakan tanah warisan kepada 6 pemangku hibah Grand Sultan. Masyarakat yang memegang hak pakai atas beberapa tanah milik kerabat Kesultanan,” lanjutnya.
Rencana untuk melayangkan somasi terhadap Pemerintah Kaltim pun sedang dipertimbangkan pihaknya.
“Kami sedang membuat surat terbuka (untuk menuntut kepemilikan lahan kerabat kesultanan di IKN) dari para ahli waris yang masih mempunyai hak. Nantinya, kami akan mengadakan rapat dengar pendapat dengan Pemerintah Kaltim untuk membahas persoalan ini,” ulasnya.
Marwan menambahkan, jika nantinya dari berbagai upaya persuasif yang dilakukan 6 pemangku hibah grand sultan tidak direspons secara baik oleh pemerintah pusat, khususnya Pemerintah Kaltim, maka pihaknya tidak akan sungkan-sungkan membawa persoalan klaim lahan tersebut ke ranah hukum. Dia merasa yakin dapat memenangkan perkara itu jika di bawa ke meja hukum, karena pihaknya memiliki semua bukti dan dokumen pendukung.
“Kami mempunyai semua dokumen yang dibutuhkan. Kalau memang diperlukan, kami akan membawa persoalan ini ke Pengadilan Internasional,” pungkasnya.
(Sumber: KeuanganNews)