Oleh: *Yusuf Blegur
Wakil presidennya jarang muncul, sekalinya tampil ngomong yang kaga karuan.
Harusnya presiden dan wakil presiden bisa berbagi tugas dalam menangani banyak pekerjaan.
Untuk itu menteri-menteri diangkat agar bisa membantu dan meringankan tuntutan pengabdian.
Bukan mengambil alih tanggungjawab, baik soal peraturan maupun semua urusan kebijakan.
Jangankan simpati, empati dan kepekaan terhadap krisis, sebagian besar pejabat tak punya kreasi, inovasi serta terobosan karena enggan dan rasa takut.
Meskipun ada Jokowi selaku pucuk pimpinan, namun kendali kekuasan negara dan pemerintahan tetap di pegang Luhut.
Penghuni istana dan sekelilingnya hanya cari aman menjadi penurut sembari nyambi penjilat, juga berpikir bagaimana harta termasuk jabatan bisa dipertahankan dan direbut.
Tak peduli negara terpapar penyakit akut dan rakyat semakin semaput, aparatur negara baik sipil dan militer sibuk saling sikut.
Saking banyaknya omongan, gaya dan tanpa kinerja, semua proyek strategis nasional jadi berantakan.
Seorang menteri arogan terlalu jauh ke depan dan kelebihan beban.
Peran dan fungsi presiden jadi ikut tersingkirkan, mengelola negara tanpa kemanusiaan dan keberadaban.
Konsep dan kegiatan pembangunan pun jadi ugal-ugalan kalau tidak mau disebut mengalami kegagalan atau kehancuran.
Sebagai pasangan presiden, bukan wapres yang sering terlihat dan mendampingi, namun Menkomarives yang selalu muncul dan paling sering disebut.
Dalam pergaulan dan tugas, menteri luar biasa dan segala urusan itu cenderung lebih mengatur dan memerintah presiden, sehingga publik melihat itu sesuatu yang tak layak dan tak patut.
Selain dinilai rakyat menjadi boneka oligarki, bagi rakyat Indonesia Jokowi dan Luhut bagaikan dua sejoli maut, dua sejoli yang bikin negara bangkrut.[suaranasional]
*Mantan Presidium GMNI