[Liputan TEMPO]
Gerombolan Siluman Perusuh di Senayan
Polisi mengejar pemicu kerusuhan dalam demonstrasi mahasiswa pada 11 April lalu. Mendompleng gerakan mahasiswa, mereka diidentifikasi sebagai massa yang sama dengan yang menganiaya akademikus Ade Armando, kemudian membakar pos polisi di Pejompongan, Jakarta Pusat.
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menyatakan gerombolan pelaku itu bukan mahasiswa. “Kami menyayangkan ada kelompok yang menunggangi penyampaian pendapat ini dan niat utamanya untuk membuat kerusuhan,” kata Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Fadil Imran, dalam konferensi pers kemarin. Menurut dia, polisi tengah menyelidiki dan menganalisis pergerakan kelompok ini.
Massa yang diduga menjadi pelaku kerusuhan, menganiaya Ade Armando, dan membakar pos polisi disebut berpakaian serbahitam pada hari unjuk rasa tersebut. Sejak siang pada puncak aksi massa yang menolak perpanjangan masa jabatan presiden itu, Tempo menyaksikan sebagian dari mereka mengawali pelemparan botol minuman. Mereka melempari tiga pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat yang menemui pengunjuk rasa di mobil komando polisi di depan gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat.
Saat barisan mahasiswa beranjak meninggalkan lokasi unjuk rasa menjelang petang, kelompok yang sama kembali melemparkan botol. Mereka juga mengejar dan mendesak mahasiswa untuk terus berdemonstrasi. Sementara itu, batu dan anak panah beterbangan ke arah polisi yang menjaga gedung DPR. Berbagai video yang beredar dan telah dikonfirmasi Tempo juga menunjukkan gerombolan pria bersetelan gelap ini yang menganiaya Ade Armando, 60 tahun.
Polisi sebelumnya mengidentifikasi kelompok berpakaian hitam-hitam ini sebagai Anarko. Nama mereka bolak-balik disebut sebagai biang kerok kerusuhan dalam berbagai demonstrasi. Terakhir, menurut polisi, mereka menyusup saat unjuk rasa menolak omnibus law pada Oktober 2020 dan membakar sejumlah halte bus Transjakarta.
Polisi bergerak seusai ricuh pada Senin lalu. Kemarin, enam orang ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan terhadap Ade Armando. Dua di antaranya telah ditangkap, yakni Tubagus asal Jonggol, Jawa Barat; serta Muhammad Bagja asal Jakarta Selatan. Keduanya merupakan pekerja swasta.
Tersangka lain yang masih diburu adalah Dhia Ul Haq, asal Jakarta Timur; Ade Purnama, asal Bogor; Abdul Latip, asal Sukabumi; dan Abdul Manaf, asal Lampung. Polda Metro Jaya menunjukkan poster wajah mereka kepada media dalam konferensi pers kemarin. “Jumlah tersangka masih terus bertambah,” kata Direktur Kriminal Khusus Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat.
Polisi, kata Tubagus Ade, menetapkan status tersangka lewat identifikasi berbasis teknologi. Petugas menganalisis video amatir dan milik media, serta lewat rekaman kamera CCTV yang tersebar di sekitar gerbang utama DPR, yang menjadi lokasi demo sekaligus penganiayaan.
Tersangka yang diidentifikasi sebagai Abdul Latip, misalnya, terlihat dalam sebuah rekaman video melayangkan satu jotosan dengan tangan kanan ke arah Ade di tengah kerumunan. Hanya satu pukulan, lalu dia berlari kembali ke arah dia datang. Dalam rekaman itu, Abdul Latip mengenakan jaket hitam, kaus merah, serta celana jins biru gelap. Ade Armando hingga kemarin masih dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat dengan diagnosis perdarahan otak.
Kehadiran massa penyusup dalam aksi Senin lalu ini dirasakan betul oleh demonstran mahasiswa. “Kami membubarkan diri dengan baik setelah orasi dan aspirasi kami diterima DPR,” kata Koordinator Media Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Luthfi Yufrizal. “Setelah itu, kelompok ini mulai memprovokasi.”
Luthfi menyatakan tak ada satu pun mahasiswa yang terlibat dalam kericuhan di depan gedung DPR. Sebagian mahasiswa, dia melanjutkan, bahkan menolong Ade dan menyelamatkan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia itu dari kepungan pengeroyok.
Mahasiswa juga tak terpancing meski disoraki dan diprovokasi untuk kembali ke arena unjuk rasa oleh kelompok misterius tersebut. Mendukung keterangan polisi, Luthfi mendapati sebagian perusuh itu berbaju hitam. Sebagian lainnya berbaju bebas. Keberadaan mereka di lapangan terpisah dari barisan mahasiswa yang wajib mengenakan jaket almamater. BEM SI meminta polisi segera menangkap pelaku dan mengusut kasus kerusuhan ini agar tak lagi menodai gerakan mahasiswa yang menolak perpanjangan masa jabatan presiden dan Jokowi 3 periode.
TEMPO menyaksikan massa berbaju hitam—yang disebut polisi sebagai kelompok Anarko—ini pertama kali berdatangan dari sisi barat gedung DPR atau dari arah Stasiun Palmerah. Sebagian dari mereka memakai jaket hitam, mengenakan masker hitam, dan mengenakan topi hitam pula. Ketika kericuhan memanas sekitar pukul 16.00, polisi melemparkan gas air mata. Mereka berlarian ke arah jalan tol, lalu menyerang polisi lalu lintas yang tengah mengalihkan arus kendaraan. Gerombolan penyerang polisi ini sebagian berpakaian hitam-hitam, sebagian lainnya berpakaian bebas.
SEJAK 2019
Keberadaan kelompok berpakaian hitam-hitam ini terdeteksi sejak 2019 dalam demo Hari Buruh Sedunia yang berakhir ricuh di Bandung. Kepala Kepolisian RI saat itu, Jenderal Tito Karnavian, mengidentifikasi pelaku kerusuhan tersebut sebagai Anarko, kelompok anti-kapitalis yang menentang elitisme dan kekuasaan.
TEMPO juga pernah mengendus pelaku kerusuhan dengan ciri-ciri yang sama seusai unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja pada Kamis, 8 Oktober 2020.
TEMPO menelusuri insiden ini lewat kerusakan 46 halte bus Transjakarta. Kami memelototi 13 rekaman CCTV dengan total waktu 9 jam 58 menit. Video itu menyorot Halte Bundaran Hotel Indonesia, Sarinah, Tosari, dan Harmoni dari enam sudut pandang. Dokumentasi tersebut kami sinkronkan dengan keterangan sejumlah saksi dan rekaman live report Tempo.co.
Hasilnya, terdapat dua petunjuk. Pertama, kebakaran halte di ruas Jalan Sudirman-Thamrin sebagian berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan, sekitar pukul 17.00. Kedua, pelaku pembakaran di sebagian halte itu memiliki ciri-ciri sama: pemuda berusia 20-an tahun yang mengenakan atasan hitam dan bersarung tangan sebelah. Mahasiswa, motor utama dalam demonstrasi besar ini, tidak mengenal mereka, bahkan sempat berseteru sebelum dibubarkan oleh gas air mata polisi.
Meski ada kesamaan ciri-ciri, kaitan perusuh dalam berbagai demonstrasi belum bisa dipastikan karena polisi belum mengungkap siapa massa berbaju hitam-hitam tersebut. "Dari identitas bajunya, kekhasannya, ini yang masih didalami oleh rekan-rekan dari Polda Metro dan juga dari beberapa wilayah,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, kemarin.
Lembaga pembela hak asasi, seperti Lokataru, meminta polisi berhati-hati memberikan label kepada kelompok pelaku kekerasan. Sebab, labelisasi bisa menciptakan stigma negatif dan berujung pada ancaman terhadap kebebasan berpendapat bagi mereka yang menyuarakan ketimpangan ekonomi serta penyalahgunaan kekuasaan, termasuk gerakan mahasiswa.
(Sumber: Koran TEMPO, 13-04-2022)