Ayah Saya Bukan Orang Alim
“Abah saya bukan orang alim, kakek saya bukan orang alim,” kata Habib Bahar Bin Smith... “Abah saya bukan wali, kakek saya bukan wali!”
Entah, hati saya bergetar mendengar cuplikan pernyataan habib muda yang saat ini mendekam di penjara tersebut. (*video di bawah)
Dalam video berdurasi kurang dari lima menit itu, HBS menceritakan, ayahnya yang bernama Ali, bukanlah orang alim, apalagi wali. Begitu juga kakeknya yang bernama Abdurrahman, pun bukan orang alim, bukan wali.
Habib Bahar memulai semuanya dari nol, dari hanya empat orang yang ia ajar. Melazimkan bacaan Ratib Alattas, Ratib Al Haddad, baca Maulid dan lain sebagainya. Hingga kemudian ribuan orang selalu membanjiri setiap ceramah beliau.
Begitu juga pondok pesantren yang dibina Habib Bahar, berawal dari gubuk-gubuk bambu, yang ia buat sendiri bersama beberapa orang yang membantunya.
Habib Bahar menegaskan bahwa ia tidak pernah mau menerima bantuan dari pejabat atau Pemerintah, tersebab tidak ingin bantuan tersebut menjadikan dirinya nanti tidak kritis lagi.
Habib Bahar ini fenomenal, serangannya kepada Pemerintah memang begitu garang. Tidak sekedar menyinggung-nyinggung seperti kebanyakan para penceramah. Tapi HBS langsung tunjuk hidung dan terus terang.
Saya termasuk orang yang tidak suka dengan gaya ceramahnya. Pemilihan diksi, serangan-serangan yang begitu ganas, memang mau tidak mau pasti memekakkan telinga orang-orang yang dimaksud.
Tapi sebenarnya di balik kegarangannya, Habib Bahar adalah pribadi yang menarik. Perhatian pada orang-orang yang tak berdaya di lingkungannya. Bersikap baik kepada kawan dan tawadhu kepada orang alim, terlebih kepada guru-gurunya.
Sampai sekarang saya belum pernah berbincang apapun secara langsung dengan Habib Bahar. Karena sebelumnya saya memang tidak tertarik. Padahal pernah ia duduk persis di samping kanan saya, pada satu ijtima di Jakarta.
Tapi setelah saya lebih sering mengikuti banyak hal tentang Habib Bahar, menyimak saat ia berbincang dengan Refly Harun dan Karni Ilyas, saya jadi berubah sikap.
Habib Bahar mengalir apa adanya, tanpa framing, menyajikan narasi tanpa dirangka-rangkai, ceplas-ceplos tapi tepat.
Pun saat dia merujuk pada berbagai kitab, dia tidak gagap dalam membuat kutipan. Menunjukkan bahwa yang bersangkutan memang santri. Bukan sekedar berpenampilan santri.
Teman-teman Habib Bahar yang saya kenal, pun banyak memberikan kesaksian akan kebaikan Habib Bahar. Hanya saja memang dia keras, tanpa kompromi.
Kalau sudah mau berkelahi, susah dihalau. Bahkan menurut cerita seorang kawan, pernah di penjara, seorang sipir memaksanya untuk pakai celana pendek.
Habib Bahar tidak mau, sebab hal tersebut jelas membuka aurat. Tapi sipir tersebut terus maksa. Habib Bahar emosi, ditonjoklah sipir itu.
(Ustadz Abrar Rifai)
[VIDEO]